Jumat, 12 April 2013

MANAJEMEN PASIEN DENGAN GANGGUAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT

MANAJEMEN PASIEN DENGAN GANGGUAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT Konsep Kunci Tekanan osmotic secara umum tergantung hanya pada jumlah partikel terlarut yang tidak berdifusi. Hal ini dikarenakan rata-rata energi kinetik dari partikel dalam larutan adalah sama, bagaimanapun massanya. Potasium adalah faktor yang paling penting untuk menentukan tekanan osmotik intraseluler, sedangkan sodium adalah faktor yang paling penting untuk menetukan tekanan osmotik ekstraseluler. Pertukaran cairan antara ruangan ekstraseluler dan intraseluler diatur oleh kekuatan osmotik yang diciptakan dari perbedaan konsentrasi zat terlarut yang tidak berdifusi. Manifestasi serius dari hiponatremi secara umum dihubungkan dengan konsentrasi plasma sodium < 120 mEq/L. Perbaikan yang sangat cepat dari hiponatremi telah diasosiasikan dengan lesi demielinisasi di pons (mielinosis central pontine), yang menghasilkan sekuel neurologikal permanen yang serius. Bahaya yang terbesar dari peningkatan volume ekstraseluler adalah melemahnya pertukaran gas karena edema intersisial pulmoner, edema alveolar, atau penimbunan besar cairan pleura atau ascitic. Penggantian potassium klorida intravena seharusnya biasanya menjadi cadangan untuk pasien-pasien dengan atau memiliki faktor risiko untuk manifestasi-manifestasi serius kelemahan jantung atau otot. Karena potensinya yang mematikan, hiperkalsemia yang melebihi 6 mEq/L harus selalu diobati. Hiperkalsemia simptomatik membutuhkan pengobatan yang cepat. Terapi awal yang paling efektif adalah rehidrasi diikuti dengan diuresis cepat (pengeluaran urin 200-300 ml/jam) dengan penatalaksanaan infuse saline intravena dan diuretic loop untuk mempercepat pengeluaran kalsium. Hipokalsemi simptomatik adalah kedaruratan medis dan harus diobati segera dengan kalsium klorida intravena (3-5 mL dari larutan 10%) atau kalsium glukonat (10-20ml dari larutan 10%). Beberapa pasien dengan hipophosphatemi mungkin membutuhkan ventilasi mekanik postoperasi Hipomagnesemia yang jelas dapat menyebabkan respiratory arrest. Hipomagnesemia seharusnya diperbaiki sebelum prosedur-prosedur elektif karena potensinya yang dapat menyebabkan cardiac aritmia. Gangguan cairan dan elektrolit sangat umum pada periode perioperatif. Sejumlah besar cairan intravena sering dibutuhkan untuk mengkoreksi defisit cairan dan kompensasi uuntuk hilangnya darah selama operasi. Anestesiolog oleh karena itu harus memilii pemahaman yang jelas fisiologis normal cairan dan elektrolit. Gangguan mayor pada keseimbangan cairan dan elektrolit secara cepat mengubah fungsi-fungsi cardiovaskuler, neurologis, dan neuromuskuler. Bab ini membahas kompareten-kompartemen cairan tubuh dan susunan air dan elektrolit secara umum, terapinya, dan implikasi anestesinya. Kelainan asam-basa dan terapi cairan intravena akan dibahas pada bagian yang lain. NOMENKLATUR DARI LARUTAN Sistem international unit tidak dapat diterima secara universal dalam praktek klinis, dan banyak penamaan yang lebih tua yang masih umum digunakan. Sebagai akibatnya, misalnya, jumlah larutan dapat ditunjukkan dalam gram, mole, atau yang ekuivalen. Konsentrasi dari larutan dapat ditunjukkan sebagai kuantitas larutan per volum atau kuantitas larutan per berat larutan. MOLARITAS, MOLALITAS DAN EKUIVALENSI Satu mol substansi setara dengan 6.02 x 1023 molekul. Berat dari kuantitas ini dalam gram biasanya sama dengan berat gram-molekular. Molaritas adalah standar unit SI dari suatu konsentrasi yang menunjukkan jumlah molekul tiap liter larutan. Molalitas adalah penamaan alternative yang menunjukkan molekul tiap kilogram larutan. Ekuivalensi juga sering digunakan untuk substansi yang ekuivalen dengan jumlah ion dalam larutan yang artinya jumlah molekul yang dilipatgandakan oleh valensinya. Meskipun demikian, 1 M larutan MgCl2 setara dengan 2 ekuivalens dari magnesium per liter dan 2 ekuivalen dari klorida per liter. OSMOLARITAS, OSMOLALITAS DAN TONISITAS Osmosis adalah pergerakan cairan melintasi membrane semipermeable sebagai akibat dari perbedaan konsentrasi larutan undifusable antara dua sisi. Tekanan osmotik adalah tekanan yang terjadi pada sisi dengan lebih banyak larutan untuk mencegah pergerakan cairan melintasi membrane yang dapat mengencerkan larutan tersebut. Tekanan osmotic secara umum bergantung hanya pada jumlah partikel dalam larutan yang tidak dapat berdifusi. Hal ini dikarenakan energy kinetic rata-rata dari partikel dalam larutan ini tidak diperhitungkan. Satu osmole setara denagn 1 mol substansi nondissociable. Untuk substansi yang berionisasi, tiap mole adalah n Osm, dimana n adalah jumlah ion yang dihasilkan. Dengan demikian, 1 mol dari substansi yang terionisasi seperti NaCl yang larut dalam larutan seharusnya menghasilkan 2 Osm; pada kenyataannya interaksi ion anata kation dan anoin berkurang akivitas efektifnya pada tiap NaCl menjadi hanya sebanyak 75% yang terionisasi. Perbedaan 1 mOsm/L antara dua larutan menghasilkan tekanan osmotic 19,3 mmHg. Osmolaritas larutan setara jumlah osmole per liter larutan, sedangkan osmolalitasnya setara dengan jumlah osmole per kilogram larutan. Tonisitas adalah terminologi yang biasa digunakan secara bergantian dengan osmolaritas dean osmolalitas. Lebih tepatnya, tonisitas menunjuk kepada efek yang dimiliki suatu larutan dalam volume sel. Larutan isotonic tidak mempunyai efek volume sel, sedangkan larutan hipotonik dan hipertonik meningkatkan dan menurunkan volume sel. KOMPARTEMEN CAIRAN Laki-laki dewasa secara umum kira-kira terdiri dari 60% air perkilogram; dan perempuan sebanyak 50%. Air ini dibagi dalam dua kompartemen cairan utama yang dipisahkan oleh membran sel; cairan intraseluler (ICF) dan cairan ekstraseluler (ECF). Lebih jauh lagi cairan ini dapat dibagi lagi menjadi kompartemen intavaskuler dan interstisial. Kompartemen interstisial meliputi seluruh cairan yang berada diluar sel dan diluar endotel vaskuler. Kontribusi masing-masing kompartemen terhadap total body water (TBW) dan berat badan dapat dilihar pada Tabel 28-1. Volume caiarn dalam suatu kompartemen ditentukan oleh komposisi terlarut dan konsentrasinya ( Tabel 28-2). Perbedaan konsentrasi terlarut secara umum karena karakteristik barier fisik yang memisahkan kompartemen tersebut. Dorongan osmotic dibentuk oleh larutan yang terjebak yang mengatur distribusi cairan diantara kompartemen dan lebih khusus lagi masing-masing volume kompartemen. CAIRAN INTRASELULER Membran terluar sel memegang peranan penting dalam mengatur volume intarseluler dan komposisinya. Suatu membrane yang terikat ATP-dependent memompa Na+ digantikan dengan K+ dengan perbandingan 3:2. Karena membrane sela relative tidak dapat dilewati sodium dan untuk sedikit kelebiha n ion potassium, potassium terkonsentrasi intraseluler sedangkan sodium terkonsentrasi ekstraseluler. Sebagai akibatnya potassium adalah penentu tekanan osmotic intraseluler yang paling utama sedangkan sodium adalah penentu tekanan osmotic ekstraseluler yang paling utama. Membran sel yang tidak dapat dilewati oleh protein menyebabkan tingginya konsentrasi protein intraseluler. Tabel 28-1. Kompartemen cairan tubuh (berdasar berat rata-rata pria 70 kg) Kompartemen cairan % body weight Total body water % Volume cairan (L) Intraseluler 40 67 28 Ekstraseluler Interstitial 15 25 10,5 Intravaskuler 5 8 3,5 TOTAL 60 100 42 Protein adalah larutan non diffuse (anion), perubahan ratio 3 Na ke 2 K oleh pompa membran sel penting dalam mempertahankan hiperosmolaritas relative intraseluler. Berbeda dengan Na-K ATP ase yang menyebabkan progresivitas pembengkakan sel selama iskemia atau hipoksia. CAIRAN EKTRASELULER Fungsi cairan ekstraseluler adalah menyediakannutrisi dan elektrolit serta media bagi sisa pembuangan sel. Pemeliharaan volume ekstraseluler khusunya sirkulasi komponen adalah hal yang penting, contohnya sodium adalah kation terpenting dan berfungsi mempertahankan tekanan osmotic dan volume. Perubahan dalam volume ekstraseluler berkaitan dengan kadar sodium tubuh. Fungsi lain seperti ekskresi sodium renal, dan kehilangan ekstrarenal sodium. ( lihat bawah ) Cairan Interstitial Cairan interstitial berada dalam ikatan kimia dengan proteoglikan interseluler, berbentuk gel. Tekanan cairan interstitial negative sekitar – 5 mmhg. Peningkatan volume cairan interstitial juga dibarengi dengan meningkatnya tekanan interstitial menjadi positif, saat hal ini terjadi cairan bebas pada gel meningkat cepat dan secara klinis terlihat sebagai edema. Karena hanya sedikit kuantitas plasma protein yang mampu melewati celah kapiler, kandungan protein dalam cairan interstitial relative rendah ( 2 g/dL ). Protein memasuki celah interstitial kembali ke system vaskuler melalui system limfatik. Tabel 28-2. Komposisi Cairan Kompartemen Ekstraseluler BM gram Intraseluler Intravaskuler Interstitial sodium 23,0 10 145 142 Potasium 39,1 140 4 4 calcium 40,1 <1 3 3 Magnesium 24,3 50 2 2 Chloride Bicarbonate Phosporus Protein(g/dL) PO4-3= 95 g 35,5 61,0 31,0 4 10 75 16 105 24 - 7 11o 28 2 2 — Gambar 28-1. Hubungan antara volume darah dan volume ekstraseluler Cairan Intravaskuler Cairan intraseluler dibatasi dari celah intravaskuler dengan endothelium vaskuler . Elektrolit ( ion kecil ) melewati plasma dan interstitial menghasilkan komposisi elektrolit yang identik. Bagaimanapun juga, jembatan intraseluler antara sel endothelial menghambat transport plasma protein di luar kompartemen cairan interstitial. Sebagai akibatnya protein plasma terutama albumin yang merupakan satu-satunya solusio aktif dalam cairan yang mengalami pertukaran tidak normal antara cairan plasma dan interstitial. Peningkatan dalam volume ekstraseluler dinyatakan secara proporsional pada cairan intravaskuler dan interstitial. Saat tekanan interstitial menjadi positif, diikuti dengan peningkatan ekspansi cairan ekstraseluler dalam kompartemen cairan interstitial. Yang kita kenal sebagai edema. PERTUKARAN DI ANTARA CAIRAN KOMPATEMEN Difusi adalah pergerakan acak dari molekul karena energi kinetic yang mereka punya dan pertukaran solution diantara kompartemen. Kecepatan difusi zat melewati membrane tergantung dari : Permeabilitas zat melalui membrane Perbedaan konsentrasi antara dua zat Perbedaan tekanan antara masing-masing sisi karena tekanan memperbesar energi kinetic. Potensial elektrik melalui membrane yang bermuatan Difusi Melalui Membrane Sel Difusi antara cairan interstitial dan cairan intraseluler dpat tberlangsung dalam beberapa mekanisme Lansung melalui lipid bilayer dari membrane sel Melalui chanel protein dalam membrane Melalui ikatan reversible pada protein karier yang dapat melewati membrane ( difusi terfasilitasi ) Oksigen, CO2, air dan molekul lemak memasuki membrane sel secara langsung. Kation seperti Na, K dan Ca sulit memasuki membrane karena potensial voltase transmembran ( positif di luar ) disebabkan karena pompa Na-K. Kation ini hanya dapat berdifusi melalui protein chanel spesifik. Aliran melalui chanel ini tergantung dari voltase membrane dan ikatan ligands ( seperti asetilkolin) pada reseptor membran. Glukosa dan asam amino berdifusi dengan bantuan protein karier . Perubahan cairan antara intraseluler dan celah interstitial diatur oleh tekana osmotic yang dihasilkan oleh perbedaan cairan non difus . Perubahan relative osmolaritas antara intraseluler dan interstitial menghasilkan pergerakan air bersih dari hipoosmolar ke kompartemen hiperosmolar. Difusi Melalui Endothel Kapiler Ketebalan kapiler endothel sekitar 0,6 mikron, terdiri dari single layer sel endothelial dengan dasar membrane. Celah intraseluler lebarnya 6-7 nm, terpisah satu sama lain dari lapisan lain. Oksigen, Co2, air dan lipid soluble dapat menembus langsung melalui kedua sisi membrane endothelial sel. Hanya molekul dengan berat molekul rendah seperti sodium, klorida, potassium dan glukosa mudah melewati celah interseluler. Zat dengan berat molekul besar seperti plasma protein sulit menembus celah endhotelial ( kecuali pada hati dan paru-paru dimana celahnya lebih lebar ). Pertukaran cairan melewati kapiler berbeda dengan melewati membrane sel yang diatur oleh perbedaan tekanan hidrostatik untuk menahan tekanan osmotic ( gambar 28-2). Tekanan ini berlaku pasa arteri maupun vena kapiler. Sebagai hasilnya ada tendensi bagi cairanuntuk keluar dari kapiler arteri dan menuju ujung kapiler vena. Besarnya dari kekuatan ini berbeda antara jaringan. Tekanan kapiler arteri ditentukan oleh tonus sfingter pre kapiler. Kapiler-kapiler ini memerlukan tekanan yang tinggi seperti glomerulus yang mempunyai tonus sfingter prekapiler rendah, dimana tekanan rendah kapiler normal otot mempunyai tonus sfingter prekapiler yang tinggi. Normalnya, 10 % dari cairan yang disaring direabsorbsi kembali melalui kapiler. Yang tidak direabsorbsi ( sekitar 2mL/min) memasuki cairan interstitial dan kembali melalui system limfatik menuju kompartemen intravaskuler. Gambar 28-2. Pertukaran cairan kapiler. Angka-angka dalam gambar ini adalah dalam mmHg dan mengindikasikan gradien tekanan untuk masing-masing tekanan. ‘Net’ menunjukkan tekanan pada kedua ujung kapiler. 13 mmHg pada arteri, dan 7 mmHg pada ujung kapiler vena. GANGGUAN KESEIMBANGAN CAIRAN Tubuh manusia saat lahir mengandung sekitar 75% air dari berat badan. Selama 1 bulan nilai ini berkurang menjadi 65% dan saat dewasa sekitar 605 untuk pria dan 50% untuk wanita. Komposisi lemak yang banyak pada wanita mengurangi komposisi air. Untuk alasan yang sama obesitas dan usia lanjut mengurangi komposisi air. KESEIMBANGAN AIR NORMAL Rata-rata intake air pada usia dewasa sekitar 2500mL, dimana termasuk 300mL dihasilkan dari metabolisme zat-zat dalam tubuh. Kehilangan air tiap harinya sekitar 2500mL, 1500mL dalam urin, 400mL pada respirasi evaporasi , 400mL evaporasi kulit, 100mL pada keringat, dan 100mL di feses. Kehilangan cairan melalui evaporasinsangat penting dalam termoregulasi sebab normalnya menghasilkan 20-25% dari hilangnya panas. Baik osmolalitas ECF dan ICF meregulasi kadar air normal pada jaringan. Perubahan dalam isi cairan dan volume sel dapat mengakibatkan gangguan fungsi, terutama pada otak. Lihat bawah HUBUNGAN KONSENTRASI SODIUM PLASMA, OSMOLALITAS EKSTRASELULER DAN OSMOLALITAS INTRASELULER Omolalitas ECF sebanding dengan semua jumlah konsentrasi plasma solution terlarut kadar Na dan anion lain 90%, Osmolalitas plasma = 2 x konsentrasi sodium plasma ICF dan ECF berada pada keseimbangan osmotic, konsentrasi sodium plasma (Na) plasma merfleksikan osmolalitas total tubuh : Osmolalitas Total Tubuh = solution ekstraseluler + intraseluler solution TBW Sodium dan potassium adalah komponen utama ekstra dan intraseluler = ( Na ekstraseluler x 2) + (K intraseluler x 2 ) TBW Kombinasi dua pendekatan diatas = (Na)plasma ≈ Na ektraseluler + K intraseluler TBW Memakai prinsip ini, efek isotonic, hipertonik dan hipotonik, cairan dalam kompartemen dan osmolalitasnya dapat dikalkulasi ( table 28-3). Pentingnya potassium intraseluler mudah terlihat dari perhitungan ini. Kehilangan sodium signifikan menyebabkan hiponatremia. Pada keadaan patologis, glukosa dan urea dapat mempengaruhi osmolalitas ekstraseluler. Perhitungan osmolalitas plasmayang akiurat dilihat dari rumus berikut = Osmolalitas plasma (mOsm/lg) = (Na) x 2 = BUN/2,8 + glukosa/18 Dimana (na) dalam mEq/L dan kadar urea darah (BUN) dan glukosa mg/dL. Urea adalh inefektif osmole karena permeable terhadap membrane sel dan biasa dihilangkan pada rumus berikut Osmolalitas efektif plasma = (Na) x 2 + glukosa/18 Osmolaritas plasma bervariasi antara 280 dan 290 mOsm/L. Konsentrasi sodium berkurang sekitar 1 mEq/L untuk setiap 62mg/dL meningkatkan konsentrasi glukosa. Ketidaksesuaian antara pengukuran dengan kalkulasi osmolalitas dianggap sebagai gap osmolal. Osmolal gap yang signifikan menandakan tingginya konsentrasi abnormal konsentrasi molekul plasma seperti etanol, mannitol, methanol, etilen glikol atau isopropyl alcohol . Osmolal gaps mungkin terdapat juga pada pasien dengan gangguan gagal ginjal kronik ( retensi zat kecil), pasien ketoasidosis9 akibat tingginya kadasr benda keton), jumlah glisin berlebih ( selama reseksi transuretra prostate). Terakhir, osmolal gaps mungkin terdapat pada pasien dengan hiperlipidemia atau hiperproteinemia. Protein dari bagian lemak mempengaruhi konsentrasi volum plasma, meski plasma(Na) menurun, (Na) di air ( osmolalitas true plasma) terlihat normal. Fase air plasma normalnya hanya 93 % dari volumenya, Sisanya 7% terdiri dari plasma lipid dan protein. KONTROL OSMOLALITAS PLASMA Osmolalitas plasma diatur oleh osmoreseptor di hipotalamus. Hormon khusus ini mengatur ADH dan rasa haus. Osmolalitas plasma juga dipelihara oleh intake air dan ekskresi air. Sekresi Anti Diuretik Hormon Neuron nucleus supraoptic dan paraventrikuler sensitive terhadap osmolalitas ekstraseluler. Saat ECF osmolalitas meningkat, sel ini mengempis dan mengeluarkan ADH ( arginin vaspressin) dari pituitary posterior. ADH meningkat ditandai dengan meningkatnya reabsorbsi air pada tubulus colektifus renal (liahat bab 31) yang mengurangu osmolalitas plasma kembali ke normal lagi. Sebaliknya penurunan ekstraseluler osmolalitas menyebabkan osmoreseptor membengkak dan menekan produksi ADH. Penurunan sekresi ADH menyebabkan diuresis air, yang meningkatkan osmolalitas plasma ke normal. Puncak diuresis terjadi sekali sirkulasi ADH termetabolisasi (90-120 min). Dengan supresi ADH, ginjal dapat mengekskresi 10—20L air per hari (lihat bawah) Pelepasan Non osmotic ADH Baroreseptor larotid dan atrial reseptor dapat menstimulasi pelepasan ADH 5-10% penurunan volume darah. Stimuli nonosmotik lain termasuk diantaranya sakit, stress emosional dan hipoksia. Haus Osmoreseptor pada lateral preoptik area hipotalamus sangat sensitive terhadap perubahan osmolalitas ekstraseluler. Aktifitas dari hal ini dengan meningkatnya osmolalitas ECF menyebabkan haus dan merangsang untuk minum. Sebaliknya hipoosmolal mensupresi rasa haus. Haus adalah mekanisme pertahanan dari hiperosmolalitas dan hipernatremia, karena hal itu satu-satunya mekanisme yang meningkatakan intake air. Untungnya mekanisme haus ini hanya ada pada orang yang berkemampuan untuk minum. HIPEROSMOLALITAS DAN HIPERNATREMIA Hiperosmolalitas terjadi saat total solution tubuh meningkat relative dari TBw dan biasanya tidak dikaitkan dengan hipernatremi (Na) > 145 mEq/L. Hiperosmolalitas tanpa hipernatremi mugkin terlihat selama hiperglikemi atau mengikuti akumulasi abnormal zat aktif osmotic di plasma. Selanjutnya 2 zat, plasma sodium konsentrasi mungkin menurun sedang air ditarik dari intraseluler ke ekstraseluler. Tiap 100mg/dL meningkatkan plasma glikosa konsentrasi, sodium plasma menurun sekitar 1,6mEq/L. Hipernatremi selalu merupakan hasil dari kehilangan air dan ekses sodium ( kehilangan cairan hipotonis) atau retensi kuantitas besar dari sodium. Meski saat konsentrasi renal terganggu, haus normal dlam mencegah hipernatremi. Hipernatremi terlihat pada pasien debilitasi yang tidak mampu minum, sangat tua, sangat muda, dan pasien dengan gangguan kesadaran. Pasien dengan hipernatremia mungkin mempunyai kadar rendah, normal, tinggi total sodium tubuh.(table 28-4) Hipernatremia dan Kadar Total Sodium Tubuh yang rendah Pasien ini kehilangan sodium dan air, namun kehilangan air adalh akibat kehilangan sodium. Hipotonik dapat diakibatkan renal ( diuresis osmotic) atau ekstra renal ( diare atau berkeringat). Pada kasus yang lain, pasien biasanya menunjukkan tanda hipovolemia (lihat bab 29). Sodium urin lebih dari 20mEq/L dengan kehilangan dari ginjal kurang dari 10meq/L dengan kehilangan ekstrarenal. Table 28-3. Efek Perbedaan cairan Ekstraseluler dan Intraseluler1 Normal Total body solute = 280 mOsm/kg x 42 kg = 11,760 mOsm Intraseluler solute = 280 mOsm/kg x 25 kg = 7000 mOsm Ekstraseluler = 280 mOsm/kg x 17 kg = 4760 mOsm Ekstraseluler sodium concentration = 280 + 2 = 140 mEq/L Intraseluler Ekstraseluler Osmolalitas 280 280 Volume (L) 25 17 New water gain 0 0 Isotonik Load : 2L dari Nacl Total body solute = 280 mOsm/kg x 44 kg = 12,320 mOsm Intraseluler solute = 280 mOsm/kg x 25 kg = 7000 mOsm Ekstraseluler solute = 280mOsm/kg x 19 kg = 5320 mOsm Intraseluler Ekstraseluler Osmolalitas 280 280 Volume (L) 25 19 New water gain 0 2 Free water ( hipotonik) load : 2 L water New body water = 42 + 2 = 44 kg New body osmolality = 11,760 mOsm + 44 kg = 267 mOsm/kg New intraseluler volume= 7000 mOsm + 267 mOsm /kg = 26,2 kg New ekstraseluler sodium concentration = 267 + 2 = 133 mEq/L Intraseluler Ekstraseluler Osmolalitas 267,0 267,0 Volume (L) 26,2 17,8 New water gain +1,2 +0,8 Net effect : Cairan didistribusikan diantara kedua kompartemen Hipertonik load : 600 mEq NaCl ( no water ) Total body solute = 11,760 + 600 = 12,360 mOsm/kg New Body osmolality = 12,360 mOsm/kg + 42 kg = 294 mOsm New ekstraseluler solute= 600 + 4760 = 5360 mOsm New ekstraseluler vol = 5360 mosm + 294 mOsm/kg = 18,2 kg New intraseluler vol = 42 – 18,2 = 23,8 New ekstraseluler sodium concentration = 294 + 2 = 147 mEq/L Intraseluler Ekstraseluler Osmolalitas 294,0 294,0 Volume (L) 23,8 18,2 New water gain - 1,2 + 1,2 Net effect : Pergerakan air intraseluler ke ekstraseluler 1Berdasarkan berat pria dewasa 70 kg Tabel 28-4. Penyebab Hipernatremia Haus berlebihan Koma Hipernatremi essensial Diuresisi Solute Diuresis osmotic : ketoacidosis, nonketotis hiperosmolar koma, manitol administration Excessive Water Losses Renal : Neurogenik diabetes insipidus Nefrogenik diabetes insipidus Ekstrarenal Berkeringat Combined Disorders Koma dengan hypertonic nasogastric feeding Hipernatremi dan Kadar Total Sodium Tubuh yang Normal Kelompok pasien ini umumnya memiliki manifest tanda-tanda hilangnya cairan tanpa hipovolemi yang jelas kecuali kalau cairan hilang dalam jumlah yang besar. Kadar total sodium tubuh umumnya normal. Hilangnya cairan secara normal dapat melalui kulit, traktus respiratorius, atau ginjal. Kadang-kadang hipernatremi yang sementara teramati bersama-sama dengan pergerakan cairan kedalam sel setelah olahraga, kejang, atau rhabdomiolisis, Penyebab yang paling umum hipernatremi dengan kadar total sodium tubuh yang normal adalah diabetes insipidus (pada individu yang sadar). Diabetes insipidus memiliki karakteristik kelemahan yang jelas pada kemapuan konsentrasi ginjal yang diakibatkan penurunan sekresi ADH (diabetes insipidus sentral) atau kegagalan tubulus ginjal untuk berespon normal pada ADH yang beredar (nefrogenik diabetes insipidus). Jarang, hipernatrami esensiil mungkin ditemui pada pasien dengan kelainan sistem saraf central. Pasien-pasien ini tampaknya memiliki reset osmoreceptor yang berfungsi pada osmolaritas yang meninggi. Diabetes Insipidus Sentral Lesi pada atau disekitar hipotalamus dan hipofisis sering menghasilkan diabetes insipidus. Diabetes indipidus sering kali berkembang dengan mati batang otak. Diabetes insipidus yang sementara (transien) umumnya juga dapat dilihat setelah prosedur bedah saraf dan cedera kepala. Diagnosis dibentuk oleh sejarah polidipsi, poliuria (seringkali > 6L/hari), dan ketiadaan hiperglikemi, pada keadaan perioperatif, diagnosis diabetes insipidus dibentuk oleh poliuri yang jelas tanpa glukosuri dan osmolaritas urin uang lebih rendah daripada osmolaritas plasma. Ketiadaan rasa haus pada pasien diabetes insipidus yang tidak sadar depat menyebabkan hilangnya cairan yang jelas dan secara cepat menyebabkan hipovolemi. Diagnosis dari diabetes insipidus sentral dikonfirmasi oleh adanya peningkatan osmolaritas urin setelah pemberian ADH eksogen. Aqueous(encer) vasopressin (5 U subcutan tiap 4 jam) adalah pilihan terapi untuk diabetes insipidus sentral yang akut. Vasopresin dalam minyak (0,3 mL intramuskuler tiap hari) bertahan lebih lama tetapi lebih sering menyebabkan intoksikasi air. Desmopresin (DDAVP), analog sintetik dari ADH dengan lama kerja 12-24 jam, tersedia dalam preparat intranasal (5-10mg tiap hari atau dua kali sehari) dapat digunakan dalam keadaan ambolatori dan perioperatif. Nefrogenik Diabetes Insipidus Nefrogenik diabetes insipidus dapat kongenital tetapi lebih umum merupakan sekunder dari kelainan-kelainan yang lain. Ini termasuk penyakit ginjal kronis, beebrapa kelainan elektrolit (hipokalemi dan hiperkalsemi), dan variasi kelainan-kelainan yang lain (penyakit sickle cell, hiperproteinemia). Nefrogenik diabetes insipidus dapat juga merupakan kelainan sekunder dari efeksamping dari beberapa obat (amphotericin B, lithium, democlocycline, ifosfamide, mannitol). Sekresi ADH semua pasien diatas adalah normal tetapi ginjal gagal berespon terhadap ADH. Oleh karena itu kemampuan menkonsentrasikan urin menjadi lemah. Mekanismenya mungkin penurunan respon terhadap ADH beredar atau gangguan terhadap mekanisme countercurrent ginjal. Diagnosis dikonfirmasikan dengan gagalnya ginjal untuk memproduksi urin hipertonik setelah pemberian ADH eksogen. Pengobatan umumnya diarahkan pada penyakit yang mendasarinya dan memastikan masukan cairan yang cukup. Penurunan volume oleh diuretic thiazid dapat secara paradox menurunkan pengeluaran urin dengan mengurangi aliran air ke tubulus kolektivus. Pembatasan sodium dan protein sama-sama dapat menurunkan pengeluaran urin. Hipernatremi dan Kadar Total Sodium Tubuh yang Meningkat Kondisi ini umumnya merupakan hasil dari pemberian sejumlah besar cairan saline hipertonis (3% NaCl atau 7,5% NaHCO3). Pasien dengan hiperaldosteron primer dan sindrom cushing mungkin juga memiliki peningkatan kecil konsentrasi serum sodium bersamaan dengan tanda-tanda peningkatan retensi sodium. Manifestasi Klinis Hipernatremi Manifestasi neurologi predominan pada pasien dengan hipernatremi dan umumnya merupakan hasil dari dehidrasi seluler. Gelisah, Letargi, hiperreflek dapat berlanjut menjadi kejang, koma, dan akhirnya kematian. Simptom-simptom berkorelasi lebih dekat dengan pergerakan cairan keluar dari sel otak daripada level absolut hipernatremi. Penurunan cepat volume otak dapat menyebabkan vena cerebral ruptur dan mengakibatkan perdarahan intracerebri local atau subaraknoid. Kejang dan kerusakan neurologis yang serius umum terjadi, khususnya pada anak-anak dengan hipernatremi akut ketika plasma [Na+] melebihi 158 mEq/L. Hipernatremi kronik umumnya ditoleransi lebih baik daripada bentuk yang akut. Setelah 24-48 jam, osmolaritas intraseluler mulai meningkat sebagai hasil dari peningkatan konsentrasi inositol intraseluler dan asam amino (glutamine dan taurin). Saat konsentrasi cairan intraseluler meningkat, kadar cairan neuron perlahan-lahan kembali ke normal. Pengobatan Hipernatremi Pengobatan hipernatremi ditujukan pada mengembalikan osmolaritas plasma menjadi normal serta memperbaiki maslah-masalah yang mendasari. Kekurangan cairan harus secara umum dikoreksi diatas 48 jam dengan cairan hipotonik seperti dekstrose 5% pada air (lihat bawah). Abnormalitas volume ekstraseluler juga harus dikoreksi (gambar 28-3). Pasien hipernatremi dengan penurunan kadar sodium total tubuh harus diberikan cairan isotonik untuk mengembalikan volume plasma ke nilai normal dahulu daripada pengelolaan terapi cairan hipotonik. Pasien hipernatremi dengan peningkatan sodium total tubuh harus dikelola dengan loop diuretik intravena dekstrosa 5% intravena dalam cairan. Pengelolaan diabetes insipidus didiskusikan diatas. Koreksi yang cepat dan mendadak hipernatremi dapat berakibat kejang, edema otak, kerusakan neurologis permanen, bahkan kematian. perubahan osmaolalitas Na+ bisa ditemukan selama terapi, umumnya, konsentrasi sodium plasma seharusnya tidak berkurang lebih cepat dari 0,5 mEq/L/jam. Contoh Laki-laki BB 70 kg ditemukan memiliki kadar plasma[Na+] 160 mEq/L. Defisiensi cairan apakah ini? jika suatu asumsi mengatakan hipernatremi hanya berasal dari kehilangan air, dan omolalitas total tubuh tidak berubah, Sehingga berdasarkan asumsi pasien ini memiliki [Na+] normal 140 mEq/L dan kandungan TBW 60% dari berat badan : TBW normal x 140 = TBW sekarang x [Na+]plasma atau (70 x 0,6) x 140 = TBW sekarang x 160 Hasil perhitungan: TBW sekarang = 3,67L defisiensi cairan = TBW normal – TBW sekarang atau (70 x 0.6) – 36,7 = 5,3L Untuk mengganti defisiensi yang terjadi lebih dari 48 jam, diperlukan pemberian dextrosa 5% dalam air lewat intravena sekitar 5300 ml lebih dalam 48 jam, atau 110 mL/jam. catat bahwa metode ini ditolak oleh berbagai kondisi defisiensi cairan isotonik, yang jika terjadi harus digantikan dengan cairan isotonik. Pertimbangan Anestesi menurut penelitian yang dilakukan pada hewan, hipernatremi meningkatkan konsentrasi minimal alveolar dalam inhalasi anestesi, tetapi secara klinis nyata berhubungan erat dengan defisiensi cairan. Hipovolemi akibat vasodilatasi atau depresi jantung dari pengaruh obat anestesi dapat menyebabkan hipotensi dan hipoperfusi jaringan. Penurunan volume distribusi obat menbutuhkan penurunan dosis, terutama untuk obat intravena, dimana penurunan cardiac output meningkatkan uptake anestesi inhalasi. Pilihan pembedahan harus ditunda pada pasien dengan hipernatremi signifikan (>150 mEq/L) sampai penyebab diketahui dan hipernatremi dikoreksi. Baik kekurangan air dan cairan isotonik kedua-duanya harus dikoreksi dulu sebelum pembedahan. HIPOOSMOLALITAS DAN HIPONATREMI Hiposmolalitas selalu berkaitan erat dengan hiponatremi ([Na+]<130 mEq/L) Tabel 28-5. Penyebab pseudohiponatremi Hiponatremi dengan osmolalitas plasma normal Asymptomatic Hiperlipidemi nyata Hiperproteinemi nyata Symptomatic Absorbsi glycine nyata selama operasi trans uretrhal Hiponatremi dengan peningkatan osmolalitas plasma Hiperglikemi Pemberian manitol Tabel 28-5 merupakan daftar peristiwa yang jarang dimana hiponatremi tidak harus memberikan gambaran hiposomolalitas (pseudohiponatremi).Pengukuran rutin osmolalitas plasma pada pasien hiponatremi dapat segera menyingkirkan curiga pseudohiponatremi. Gambaran tetap retensi air akibat hiponatremi dari peningkatan TBW absolute atau kehilangan sodium dari kelebihan air. Kapasitas normal ginjal untuk meproduksi urine dilusi dengan osmolalitas serendah 40 mOsm/kg(berat jenis 1,001) mampu mengekskresikan air lebih dari 10 L per hari jika diperlukan. Karena cadangan yang luar biasa ini, hampir selalu menghasilkan defek pada kapasitas dilusi urin (osmolalitas urin < 10 mOsm/kg atau berat jenis >1,003). Merupakan peristiwa yang jarang hiponatremi tanpa kapasitas dilusi ginjal yang abnormal (osmolalitas urin <100 mOsm/kg) berhubungan secara umum dengan polidipsia primer atau “reset” osmoreseptor, dua kondisi tersebut dapat dibedakan dengan restriksi air. Secara klinis, penggolongan hiponatremi terbaik diklasifikasikan berdasarkan kandungan total sodium dalam tubuh (tabel 28-6). Hiponatremi terkait dengan reseksi prostat transuretral di bahas pada bab 33. Hiponatremi dan kadar total sodium tubuh rendah Kehilangan air dan sodium secara progressif dengan cepat menimbulkan deplesi volume ekstraseluler. Seperti defisit volume intravaskuler yang mencapai 5-10%, sekresi ADH nonosmotik teraktivasi. Dengan deplesi volume lebih lanjut, stimulus bagi ADH nonosmotik dibebaskan untuk mengatasi kondisi hiponatremi yang disebabkan oleh supresi ADH. Pemeliharaan volume sirkulasi diutamakan dengan konsekuensi mengorbankan osmolalitas plasma. Kehilangan cairan yang menyebabkan hipernatremi dapat berasal dari renal atau ekstra renal. Kehilangan dari renal paling sering dikaitkan dengan penggunaan diuretik thiazide yang menyebabkan kadar [Na+] urin lebih besar dari 20 mEq/L. Kehilangan dari ekstra renal khususnya gastrointestinal dengan produksi [Na+]urin biasanya kurang dari 10mEq/L. Pengecualian khusus pada hiponatremi karena muntah, yang dapat memberikan gambaran [Na+] urin >29mEq/L. Pada kasus ini, bikarbonaturia dari alkalosis metabolik yang diikuti eksresi Na+ dengan HCO3 untuk memelihara kondisi netral elektrolit urin; konsentrasi chloride urin bisanya kurang dari 10mEq/L. Tabel 28-6. Klasifikasi hiponatremi hipoosmolal Penurunan kandungan total sodium Renal Diuretik defisiensi mineralkortikoid nephropati kehilangan garam Osmotik diuresis (glukosa,manitol) Asidosis tubulu rena; Ekstrarenal Muntah Diare Kehilangan lewat kulit(luka bakar,keringat) “third spacing” Kandungan total sodium normal Polidipsi primer syndrome of inappropriate anti diuretic hormon secretion/SIADHS Defisiensi glukokortikoid Hipotiroidisme Pengaruh obat Kandungan total sodium meningkat Congestif Heart Failure sirosis Sindroma nefrotik Hiponatremi & Peningkatan kadar total sodium tubuh kelainan berupa edema khas disebabkan oleh peningkatan kadar total sodium tubuh dan TBW. Ketika peningkatan air melebihi peningkatan sodium, terjadi hiponatremi. Kelainan edema termasuk congestif heart failure, sirosis, gagal ginjal, dan sindroma nefrotik. Hiponatremi dalam kasus ini sebagai akibat dari penurunan kemampuan eksresi air bebas oleh ginjal dan secara umum tergantung dengan derajat keparahan penyakit. Mekanisme patofisiologi termasuk pengeluaran ADH nonosmotik dan pengurangan transpor cairan ke segmen tipis distal pada nephron (lihat bab 31). sirkulasi volume darah efektif berkurang. Hiponatremi dengan kadar total serum tubuh normal Hiponatremi tanpa edema atau hipovolemia mungkin dapat ditemukan dengan insuffisiensi hormon glukokortikoid, hipotiroidisme, terapi obat (chlorpropamide dan cyclophosphamide) dan sindrom kelainan sekeresi hormon antidiuretik(syndrome of inappropriate anti diuretic hormon secretion/SIADHS). Hiponatremi karena hipofungsi adrenal mungkin berkaitan dengan sekresi ADH bersama corticotropin releasing factor(CRF).Pada pasien dengan HIV AIDS sering terjadi hiponatremi yang mungkin berhubungan dengan infeksi adrenal oleh citomegalovirus atau mikrobakteria lain. Diagnosis SIADHS perlu menyingkirkan penyebab hiponatremi lainnya dan tanpa hipovolemi, edema, dan penyakit ginjal, korteks adrenal, atau penyakit tiroid. berbagai bentuk tumor ganas, penyakit paru, dan kelainan neurologis sering dikaitkan dengan SIADHS. Pada kebanyakan kasus, konsentrasi ADH plasma tidak meningkat tetapi relatif menekan secara indaekuat derajat hipoosmalalitas plasma; osmolalitas urine biasanya >100mOsm/kg dan konsentrasi sodium urin >40mEq/L. Manifestasi Klinik Hiponatremi Gejala hiponatremi terutama pada neurologi dan berbagai akibat dari peningkatan air intraseluler. Derajatnya secara umum berkaitan dengan cepatnya perkembangan osmolalitas ekstraseluler. Pasien dengan hiponatremia ringan-sedang ([Na+] >25mEq/L) seringkali tanpa gejala(asimptomatik). Gejala awal khas dan tidak spesifik mungkin dapat terjadi anorexia, nausea, dan lemah lesu. Edema serebral progressif menunjukkan letargi, bingung, kejang, koma, dan akhirnya kematian. Manifestasi hiponatremi yang serius secara umum tergantung konsentrasi sodium plasma <120mEq/L. Dibandingkan dengan pria, wanita premenopause menunjukkan resiko defisit neurologik dan kerusakan yang lebih besar akibat hiponatremi. Pasien dengan hiponatremi kronik yang berkembang lambat secara umum kurang menunjukkan simptom. Kompensasi perlahan dari kehilangan kandungan intraseluer (terutama K+ , Na+, dan asam amino) menunjukkan pengembalian volume sel menjadi normal. Simptom neurologi dari pasien dengan hiponatremi kronik mungkin lebih berkaitan erat dengan perubahan membran potensial sel (karena kadar [Na+] ekstraseluer yang rendah) daripada perubahan volume sel. Pengelolaan Hiponatremi Sama seperti hipernatremi, pengelolaan hiponatremi (gambar 28-4) secara tepat dengan koreksi kelainan yang mendasari maupun koreksi pada [Na+] plasma. Saline isotonik secara umum merupakan ‘treatment of choice’ untuk pasien hiponatremi dengan penurunan kandungan total sodium tubuh. Ketika defisit cairan ekstraseluler dapat dikoreksi, secara spontan diuresis air akan mengmbalikan kadar plasma[Na+] menjadi normal. Sebaliknya, restriksi air adalah pilihan pengobatan utama untuk pasien hiponatremi dengan kadar sodium tubuh meningkat atau normal. Terapi spesifik lain seperti penggantian hormon pada pasien tiroid dan hipofungsi adrenal dan tindakan dengan tujuan untuk meningkatkan cardiac output pada pasien dengan gagal jantung juga dapat menjadi indikasi. Demeclocyclin, obat ADH antagonis bekerja di tubulus renal telah terbukti sangat membantu untuk restriksi air pada pengelolaan pasien dengan SIADH. Hiponatremi sipmtomatik akut memerlukan pengelolaan cepat. Pada kasus seperti, koreksi [Na+] plasma menjadi > 125mEq/L biasanya cukup untuk meredakan simptom. Jumlah NaCl yang diperlukan untuk meningkatkan plasma[Na+] ke nilai yang diinginkan, pada defisiensi Na, dapat dihitung dengan rumus di bawah ini: Na+ deficit = TBW x ( [Na+] yang diinginkan - [Na+] sekarang) Koreksi hiponatremi yang sangat mendadak berkaitan erat dengan “demyclinating lession” pada pons (central pontine myelinolisis), mengakibatkan kerusakan neurologis lanjut dan permanen. Kecepatan koreksi hipernatremi harus disesuaikan derajat simptom. Langkah koreksi di bawah ini telah direkomendasikan: dengan gejala ringan, 0,5 mEq/L/jam atau kurang; untuk simptom sedang, 1,5 mEq/L/jam atau kurang. Contoh Wanita 60 kg letargi memiliki plasma[Na+] 118mEq/L. Berapa banyak NaCl yang harus diberikan utnuk meningkatkan plasma [Na+] menjadi 130mEq/L? [Na+] deficit = TBW x (130-118) TBW pada wanita kira-kira 50% dari berat badan [Na+] deficit = 80 x 0,5 x (130-118) = 480 mEq karena saline normal(isotonik) mengandung 154 mEq/L, pasien harus mendapatkan 480mEq + 154 mEq/L, atau 3,12 L dari normal saline. Untuk angka koreksi 0,5 mEq/L/jam, jumlah saline harus diberikan lebih dari 24 jam (130mL/jam). Untuk diperhatikan bahwa perhitungan ini tidak dapat digunakan pada perhitungan bersama kondisi defisiensi cairan isotonik, yang jika terjadi, juga harus diganti. Koreksi hiponatremi yang lebih cepat lagi dapat dicapai dengan memberikan loop diuretik untuk menginduksi diuresis air selama penggantian kehilangan Na+ dengan saline isotonik. Koreksi cepat yang lebih mantap lagi dapat dicapai dengan pemberian saline hipertonik (3%NaCl) intravena. Salin hipertonik mungkin dapat diindikasikan pada pasien yang simptomnya nyata dengan Na+ kurang dari 110mEq/L. NaCl 3% harus diberikan dengan hati-hati karena dapat menimbulkan edem pulmo, hipokalemi, asidosis metabolik hiperchloremik, dan hipotensi transien; Perdarahan berkaitan dengan perpanjangan trombin time dan aktivasi partial tromboplastin time. Pertimbangan Anestesi Hiponatremia merupakan manifestasi yag sering muncul dari gangguan serius yang mendasari dan membutuhkan evaluasi yang baik pada fase preoperatif. Konsentrasi sodium plasma diatas 130 mEq/L merupakan batas aman yang umum untuk pasien yang akan mendapatkan anestesi general. Sodium plasma harus dikoreksi diatas 130 mEq/L untuk semua prosedur elektif, walaupun tidak ada gejala. Konsentrasi yang rendah, dapat menghasilkan edema serebral yang signifkan dapat bermanifestasi pada fase intraoperatif sebagai penurunan pada konsentrasi alveolar atau pada fase postoperatif sebagai agitasi, konfusi, atau somnolen. Pasien yang menjalani reseksi transuretra dari prostat dapat mengabsorbsi jumlah yang signifikan dari irigasi cairan (sebanyak 20 ml/menit) dan berisiko tinggi untuk perkembangan yang cepat yang ditemukan pada intoksikasi air akut. GANGGUAN KESEIMBANGAN NATRIUM Volume cairan ekstraselular berhubungan langsung dengan kandungan natrium total tubuh. Variasi ECF(extra cellular fluid) akibat dari perubahan kandungan total sodium tubuh. Keseimbangan sodium positif meningkatkan volume ECF, sebaliknya keseimbangan sodium negatif menurunkan ECF. Penting untuk ditekankan kembali bahwa konsentrasi Na+ (plasma) ekstraseluler lebih menunjukkan keseimbangan cairan daripada kandungan total sodium tubuh. Keseimbangan Sodium Normal Keseimbangan sodium bersih sama dengan total sodium intake (rata rata dewasa 170mEq/d) dikurangi eksresi sodium oleh renal dan kehilangan sodium ekstrarenal.( satu gram sodium menghasilkan 43mEq ion Na+ , dimana satu gram sodium chloride menghasilkan 17mEq ion Na+ . Kemampuan ginjal untuk mengubah-ubah eksresi Na+ urin dari 1mEq/L sampai lebih dari 100mEq/L memberikan peranan penting pada keseimbangan sodium(lihat bab 31). Regulasi Keseimbangan Sodium Dan volume Cairan Ekstraseluler Karena terdapat hubungan antara volume ECF dan kandungan total sodium tubuh, regulasi saling mengikat satu sama lain. Regulasi dicapai dengan sensor yang mendeteksi perubahan pada komponen yang paling penting dari ECF, yang dinamakan volume intravaskuler yang “efektif”. Yang terakhir berhubungan lebih erat dengan kecepatan perfusi pada kapiler renalis daripada dengan volume cairan (plasma) intravaskuler yang terukur. Sebenarnya, kelainan yang manifestasinya berupa pembengkakan/edematous seperti gagal jantung, sirosis, dan gagal ginjal, volume intravaskuler “efektif” dapat tidak terpengaruh oleh volume plasma yang terukur, volume ECF, dan bahkan cardiac output. Volume cairan ekstraseluler dan kandungan total Sodium pada tubuh akhirnya akan dikontrol oleh pengaturan yang sesuai dari ekskresi Na+ oleh ginjal. Pada keadaan di mana tidak ada penyakit ginjal,terapi diuretik, dan renal iskemi, konsentrasi Na+ pada urin merefleksikan volume intravaskuler “efektif”. Konsentrasi Na+ yang rendah pada urin (< 10 mEq/L) secara umum menunjukkan/mengindikasikan voume cairan intravaskuler “efektif” yang rendah dan mencerminkan retensi sekunder Na+ oleh ginjal. Mekanisme Kontrol Bermacam-macam mekanisme memainkan peranan dalam mengatur volume ECF dan keseimbangan sodium yang pada keadaan normal saling melengkapi satu sama lain, tapi dapat berfungsi secara benar-benar mandiri satu sama lain. Sebagai tambahan, untuk mengubah ekskresi Na+ oleh ginjal, beberapa mekanisme juga menghasilkan respons kompensasi hemodinamik yang lebih cepat ketika volume intravaskuler “efektif” mengalami pengurangan. A. Sensor Volume Reseptor volume yang terpenting pada tubuh adalah baroreseptor. Karena tekanan darah adalah produk dari cardiac output dan tahanan vaskuler perifer (lihat bab 19), perubahan yang signifikan pada cairan intravaskuler (preload) tidak hanya mempengaruhi cardiac output tapi juga secara sementara mempengaruhi tekanan darah arterial. Dengan demikian, baroreseptor pada sinus caroticus dan renal arteriole aferen (aparatus juxtaglomerular) secara tidak langsung berfungsi sebagai sensor dari volume intravaskuler. Perubahan tekanan darah pada sinus caroticus memodulasi aktivitas sistem saraf simpatik dan sekresi ADH non osmotik, sedangkan perubahan pada renal arteriole aferen memodulasi sistem renin-angiotensin-aldosteron. Reseptor regangan (stretch receptor) di kedua atria juga mampu merasakan perubahan pada volume intravaskuler; derajat dari distensi atrial memodulasi pengeluaran Atrial Natriuretic Hormone dan ADH. B. Efektor Perubahan Volume Terlepas dari mekanisme di atas, efektor dari perubahan volume pada akhirnya akan mengubah ekskresi Na+ melalui urin. Penurunan volume intravaskuler “efektif” akan meningkatkan eksresi Na+ melalui urin. Mekanisme tersebut meliputi: 1. Renin-angiotensin-aldosteron. Sekresi renin meningkatkan pembentukan angiotensin II yang kemudian akan meningkatkan sekresi aldosteron dan mempunyai beberapa efek langsung dalam meningkatkan reabsorpsi Na+ di tubulus proksimal ginjal. Angiotensin II juga merupakan vasokonstriktor langsung yang poten dan memperkuat kerja dari norepinefrin. Sekresi aldosteron akan meningkatkan reabsorpsi Na+ di nefron bagian distal (lihat bab 31) dan merupakan determinan utama untuk ekskresi Na+ melalui urin. 2. Atrial Natriuretic Peptide (ANP). Peptida ini normalnya dihasilkan oleh sel-sel atrium baik kanan maupun kiri yang diikuti dengan distensi atrium. Atrial Natruretic Peptide menunjukkan 2 fungsi utama : menyebabkan vasodilatasi arteri dan meningkatkan eksresi air dan sodium pada urin di tubulus kolektivus renalis. Dilatasi arteriol aferen yang dipicu oleh Na+ dan konstriksi arteriol eferen juga dapat meningkatkan GFR (Glomerular Filtration Rate). Efek lain yang telah dilaporkan adalah inhibisi sekresi renin dan aldosteron serta efek antagonis pada ADH. 3. Brain Natriuretic Peptide (BNP). ANP, BNP, dan C-type Natriuretic Peptide adalah susunan peptida-peptida yang terkait secara struktural. BNP dihasilkan oleh ventrikel sebagai respons dari peningkatan volume ventrikuler dan jika ventrikel mengalami overdistensi. BNP biasanya berjumlah 20% dari ANP, tapi selama episode akut dari gagal jantung kongestif (Congestive Heart Failure), produksi BNP dapat jauh melebihi jumlah ANP. Jumlah BNP dapat diukur secara klinis dan bentuk rekombinan dari BNP, Nesiritide (Natrecor), telah tersedia untuk mengobati Acute Decompensated Congestive Heart Failure. 4. Tekanan Natriuretic. Bahkan kenaikan yang kecil pada tekanan darah dapat mengakibatkan kenaikan yang relatif besar pada ekskresi Na+ melalui urin. Tekanan diuresis menunjukkan independensi nya terhadap pengaruh mekanisme humoral maupun neural yang diketahui. 5. Aktivitas Sistem Saraf Simpatis. Peningkatan aktivitas simpatis meningkatkan reabsorpsi Na+ pada tubulus proksimal renalis, menghasilkan retensi Na+ dan mengakibatkan vasokontriksi renalis, yang akan menyebabkan penurunan RBF (Renal Blood Flow). Sebaliknya, stimulasi dari reseptor regangan pada atrium kiri menghasilkan penurunan pengaruh simpatis pada ginjal dan dan peningkatan RBF/Renal Blood Flow (Cardiorenal Reflex), dan, dapat terjadi, Glomerular Filtration Rate (GFR). 6. Glomerular Filtration Rate dan Konsentasi Sodium dalam Plasma. Jumlah Na+ yang disaring di ginjal secara langsung disesuaikan dengan produk dari GFR dan konsentrasi Na+ dalam plasma. Karena GFR pada umumnya menyesuaikan diri secara langsung dengan volume intravaskuler, ekspansi volume intravaskuler dapat meningkatkan ekskresi Na+. 7. Keseimbangan Tubuloglomerular. Walaupun terdapat variasi yang luas pada jumlah Na+ yang disaring oleh nefron, reabsorpsi Na+ di tubulus proksimal renalis normalnya dikontrol dalam batas yang sempit. Faktor-faktor yang dianggap bertanggungjawab terhadap keseimbangan tubuloglomerular, termasuk kecepatan dari Renal Tubular Flow dan perubahan pada tekanan hidrostatik kapiler peritubuler dan tekanan onkotik. Perubahan reabsorpsi Na+ di tubulus proksimal dapat mengakibatkan efek yang nyata/jelas pada ekskresi Na+. 8. Antidiuretic Hormone (ADH). Walaupun sekresi ADH mempunyai efek yang kecil pada ekskresi Na+, sekresi nonosmotik pada hormon ini dapat memainkan peran yang penting dalam mempertahankan volume ekstraseluler, dengan penurunan yang sedang sampai besar pada volume intravaskuler “efektif”. Osmoregulasi Ekstraseluler versus Regulasi Volume Osmoregulasi melindungi perbandingan bahan terlarut dan air tetap dalam keadaan yang normal, sedangkan regulasi volume ekstraseluler menjaga kadar bahan terlarut dan air tetap. Perbedaan antara dua mekanisme tersebut dirangkum dalam tabel 28.7. Seperti telah dinyatakan sebelumnya, regulasi volume pada umumnya mendahului terjadinya proses osmoregulasi. Tabel 28-7. Regulasi volume Osmoregulasi Fungsi Mengontrol volume ekstraseluler Mengontrol osmolalitas ekstraseluler Mekanisme Ekskresi renal Na+ yang bervariasi Intake air yang bervariasi. Ekskresi air melalui renal yang bervariasi. Sensor Arteriole eferen renalis Baroreseptor karotis Reseptor regangan di atrium Osmoreseptor Hipothalamus Efektor Renin-angiotensin-aldosteron Sistem saraf simpatis Keseimbangan Tubuloglomerular Tekanan Natriuretic Renalis Atrial Natriuretic Peptide Antidiuretic Hormone Brain Natriuretic Peptide Rasa haus Antidiuretic Hormone Implikasi Anestesi Masalah yang berkaitan dengan perubahan keseimbangan sodium dihasilkan dari manifestasinya maupun kelainan yang menyertai. Gangguan keseimbangan sodium muncul sebagai hipovolemia (defisit sodium), atau hipervolemia (kelebihan sodium). Kedua gangguan tersebut membutuhkan koreksi yang lebih dahulu berupa pilihan tindakan bedah (elektif).Fungsi jantung, hati, dan ginjal sebaiknya juga dievaluasi secara hati-hati pada keadaan kelebihan sodium (sodium excess) yang biasanya bermanifestasi menjadi edema jaringan. Pasien yang berada dalam keadaan hipovolemik biasanya sensitif terhadap vasodilatasi dan efek inotropik negatif dari anestesi volatil, barbiturat, dan agen yang berhubungan dengan histamin release (morphin, meperidin, curare, atracurium). Dosis yang diperlukan untuk obat-obat lain juga harus dikurangi untuk mengkompensasi penurunan volume distribusinya. Pasien dengan hipovolemik sensitif terutama kepada blokade simpatis dari anestesi spinal atau epidural.Jika suatu agen anestesi harus diberikan untuk melengkapi koreksi keadaan hipovolemia, ketamin mungkin merupakan obat pilihan untuk general anestesi; etomidate dapat digunakan sebagai alternatif pengganti. Secara umum, hipovolemia sebaiknya dikoreksi pada fase preoperatif dengan menggunakan diuretik. Ketidaknormalan pada fungsi jantung, hati, dan ginjal sebaiknya juga dikoreksi jika memungkinkan. Bahaya yang paling utama dari peningkatan volume ekstraseluler tidak sesuai dengan pertukaran gas dalam kaitannya dengan edema pulmoner interstistial, edema alveolar, atau cairan pleura yang berlebihan. GANGGUAN KESEIMBANGAN POTASSIUM Potassium memainkan peranan yang penting dalam elektrofisiologi membran sel maupun sintesis karbohidrat dan protein. Potensial membran sel saat istirahat pada umumnya tergantung pada perbandingan dari konsentrasi Potassium intraseluler dan ekstrasesluler. Konsentrasi potassium intraseluler diperkirakan 140 mEq/L sedangkan konsentrasi potassium ekstraseluler normalnya sekitar 4 mEq/L. Walaupun regulasi dari [K+] intraseluler baru diketahui secara terbatas, [K+] ekstraseluler pada umumnya menggambarkan keseimbangan antara pemasukkan dan ekskresi dari potassium. Di bawah kondisi tertentu (lihat bawah), redistribusi dari K+ antara kompartemen ECF dan ICF dapat menghasilkan perubahan yang nyata pada [K+] tanpa perubahan pada kadar total potassium dalam tubuh. KESEIMBANGAN POTASSIUM YANG NORMAL Konsumsi Potassium pada dewasa sekitar 80 mEq/d (40-140 m Eq/d). Sekitar 70 mEq dari jumlah tersebut biasanya diekskresikan melalui urin, sedangkan 10 mEq sisanya hilang melalui trqaktus gastrointestinal. Ekskresi potassium melalui ginjal dapat bervariasi dari sekecil 5 mEq/L sampai lebih dari 100 mEq/L. Hampir semua potassium difiltrasi di glomerulus dan pada umumnya direabsorpsi di tubulus proksimal dan loop of Henle. Potassium yang diekskresikan melalui urin merupaikan hasil dari sekresi tubulus distal. Sekresi Potassium di tubulus distal sesuai/sejalan dengan reabsorpsi sodium yang diatur oleh aldosteron (lihat bab 31). REGULASI KONSENTRASI POTASSIUM EKSTRASELULER Konsentrasi Potassium ekstraseluler diatur oleh aktivitas Na+-K+ ATP ase pada membran sel seperti pada [K+] plasma. Mekanisme di atas mengatur distribusi potassium antara sel-sel dan ECF, yang pada akhirnya menjadi determinan utama dari ekskresi potassium melalui urin. PERUBAHAN POTASSIUM INTERKOMPARTEMEN Perubahan Potasium interkompartemen terjadi mengikuti perubahan pH ekstraseluler (lihat bab 30), kadar insulin yang terdapat dalam sirkulasi, aktivitas sirkulasi katekolamin, osmolalitas plasma, dan dimungkinkan adanya hipotermia. Insulin dan katekolamin telah diketahui mempengaruhi langsung aktivitas Na+-K+ ATPase dan menurunkan [K+] plasma. Kegiatan/aktivitas fisik juga dapat meningkatkan [K+] plasma sebagai hasil dari pelepasan ion K+ oleh sel-sel otot; peningkatan pada [K+] plasma (0,3-2 mEq/L) sesuai dengan intensitas dan durasi dari aktivitas otot. Perubahan potassium interkompartemen juga bertanggungjawab untuk perubahan pada [K+] plasma pada sindrome periodik paralysis (lihat bab 37). Perubahan pada konsentrasi ion hidrogen ekstraseluler (pH) langsung mempengaruhi [K+] ekstraseluler karena ICF dapat menyangga lebih dari 60% dari muatan asam (lihat bab 30). Selama asidosis, ion hidrogen ekstraseluler memasuki sel, memindahkan ion potassium intraseluler. Gerakan ion potassium keluar dari sel mempertahankan keseimbangan elektrik tapi meningkatkan [K+] ekstraseluler dan plasma. Sebaliiknya, selama alkalosis, ion potassium ekstraseluler bergerak ke dalam sel untuk mengimbangi pergerakan ion hidrogen yang keluar dari sel, sebagai hasilnya, [K+] plasma menurun. Walaupun hubungan nya cukup variabel, suatu aturan yang berguna adalah bahwa konsentrasi potassium plasma berubah kira-kira 0,6 mEq/L per 0,1 U perubahan pada pH arterial (0,2-1,2 mEq/L per 0,1 U). Perubahan pada kadar insulin yang beredar dapat mengubah [K+] plasma secara langsung yang tidak tergantung pada transpor glukosa. Insulin meningkatkan aktivitas dari Na+-K+ ATPase yang terikat pada membran, meningkatkan uptake seluler potassium pada hati dan otot skeletal. Pada kenyataannya, sekresi insulin dapat memerankan suatu peran yang penting dalam mengontrol konsentrasi potassium di plasma dan memfasilitasi pengaturan pada peningkatan muatan/beban potassium. Stimulasi simpatis juga meningkatkan uptake intraseluler potassium dengan meningkatkan aktivitas Na+-K+ ATPase. Efek ini dimediasi melalui aktivasi βγ adrenergik reseptor. Sabaliknya, aktivitas α adrenergik dapat menjadi tidak sesuai dengan pergerakan intraseluler dari K+. [K+] plasma biasanya menurun mengikuti pemberian dari βγ-adrenergik agonis sebagai hasil dari uptake potassium oleh hati dan otot. Lagipula blokade β-adrenergik dapat tidak sesuai dengan penanganan dari beban potassium (potassium load) pada beberapa pasien. Peningkatan yang tiba-tiba pada osmolalitas plasma (hipernatremi, hiperglikemi, dan pemberian manitol) dilaporkan pada peningkatan [K+] plasma (sekitar 0,6 mEq/L per 10 mOsm/L). Sebagai contohnya, pergerakan air keluar dari sel (penurunan gradien osmotiknya) disertai dengan pergerakan K+ keluar dari sel. Yang terakhir dapat merupakan hasil dari “solvent drag” atau peningkatan K+ intraseluler yang mengikuti dehidrasi seluler. Hipotermia telah dilaporkan pada keadaan [K+] plasma yang lebih rendah sebagai hasil dari uptake seluler. Penghangatan kembali akan membalikkan keadaan ini dan akan mengakibatkan hiperkalemi transien jika potassium diberikan selama terjadi hipotermia. Ekskresi Potassium Melalui Urin Ekskresi Potassium melalui urin umumnya paralel dengan konsentrasi ekstraselulernya. Potassium disekresi oleh sel-sel tubuler pada nefron bagian distal. [K+] eksrtaseluer adalah determinan utama sekresi aldosteron dari kelenjar adrenal. Hiperkalemi menstimulasi sekresi aldosteron, sedangkan hipokalemi mensupresi sekresi aldosteron. Renal tubular flow pada nefron bagian distal juga dapat menjadi determinan yang penting dari sekresi potassium karena kecepatan tubular flow yang tinggi (seperti selama diuretik osmosis) meningkatkan sekresi potassium dengan cara menjaga gradien kapiler sampai tubulus renalis untuk sekresi potassium yang tinggi. Sebaliknya, kecepatan tubuler yang rendah meningkatkan [K+] pada cairan tubuler dan menurunkan gradien sekresi [K+]. HIPOKALEMI Hipokalemi ditetapkan apabila [K+] plasma kurang dari 3,5 mEq/L dan dapat terjadi sebagai hasil dari (1) Perubahan interkompartemen [K+] (lihat di atas). (2) Peningkatan ion potasium atau (3) Intake potassium yang tidak cukup (tabel 28.8). Konsentrasi potassium di plasma berhubungan secara rendah dengan defisit potassium total. Penurunan pada [K+] plasma dari 4 mEq/L ke 3 mEq/L biasanya menunjukkan defisit 100 mEq-200mEq, sedangkan [K+] plasma di bawah 3 mEq/L dapat menunjukkan defisit di mana pun antara 200-400 mEq. Tabel 28-8. Penyebab utama hipokalemia Penyebab Utama Hipokalemia Kehilangan pada Ginjal dalam jumlah yang besar Kelebihan mineralokortikoid Hiperaldosteronisme primer (Conn’s Syndrome) Hiperaldosteronisme glukokoetikoid berulang Kelebihan Renin Hipertensi renovaskuler Bartter’s Syndrome Liddle’s Syndrome Diuresis Alkalosis Metabolik Kronik Antibiotik Carbenicillin Gentamycin Amphotericin-B Renal Tubular Acidosis Distal,gradien terbatas Proksimal Ureterosigmoidektomi Kehilangan pada Gastrointestinal Muntah Diare, terutama watery diarrhea Perubahan ECF ICF Alkalosis akut Periodik Paralisis Hipokalemi Pemasukan Barium Terapi Insulin Terapi vitamin B12 Tirotoksikosis Intake yang tidak adekuat Hipokalemi karena pergerakan intraseluler potassium Hipokalemi karena pergerakan potassium intraseluler terjadi dengan alkalosis, terapi insulin, β2 adrenergik agonis, hipotermia, dan selama serangan dari periodik paralisis hipokalemi. Hipokalemi juga dapat terjadi mengikuti tranfusi sel darah merah beku karena sel-sel ini kehilangan potasium dalam proses penyimpanan dan mengambil potassium ketika direinfusi. Uptake seluler K+ oleh sel darah merah (dan platelet) juga dihitung hipokalemia pada pasien yang baru saja diterapi dengan folat atau vitamin B12 untuk anemia megaloblastik. Hipokalemi karena peningkatan kehilangan Potassium Peningkatan kehilangan potassium hampir selalu melalui renal atau gastrointewstinal. Penyusutan potassium di ginjal paling sering merupakan hasil dari diuresis atau mineralokortikoid yang terpacu untuk bekerja lebih kuat. Penyebab lain pada ginjal termasuk hipomagnesemia (lihat di bawah), renal tubular acidosis (lihat bab 30), ketoasidosis, salt-wasting nephropaties, dan beberapa efek samping obat (carbenicillin dan amphotericin-B). Peningkatan kehilangan potassium pada gastrointestinal paling sering disebabkan oleh muntah, pemasangan nasogastrik suction, atau diare. Penyebab gastrointestinal lainnya adalah kehilangan akibat adanya fistula, penyalahgunaan laksansia, adenoma villi, dan tumor pankreas yang mensekresi peptida intestinal vasoaktif. Peningkatan pembentukan keringat yang kronis dapat menyebabkan hipokalemi terutama ketika intake potassium terbatas. Dialisis dengan cairan dialisat yang mengandung potassium yang rendah juga dapat menyebabkan hipokalemi. Pasien uremik juga dapat mengalami defisit pada total kandungan potassium dalam tubuh (terutama intraseluler) walaupun konsentrasinya dalam plasma normal atau bahkan tinggi; ketiadaan hipokalemi dalam keadaan ini mungkin karena adanya pertukaran interkompartemen akibat asidosis. Dialisis pada pasien-pasien seperti ini tidak menutupi defisiit jumlah total potassium dalam tubuh dan biasanya akan mengakibatkan hipokalemi. [K+] pada urin yang kurang dari 20 mEq/L pada umumnya merupakan indikasi peningkatan kehilangan potassium ekstrarenal, sedangkan konsentrasi lebih dari 20 mEq/L menunjukkan kekurangan [K+] pada ginjal. Hipokalemi karena penurunan intake potassium Karena kemampuan ginjal untuk menurunkan eksresi potassium melalui urin sampai 5-20 mEq/L, reduksi potassium intake yang nyata dibutuhkan untuk menghasilkan hipokalemi. Intake potassium yang rendah, bagaimanapun, sering menonjolkan efek dari peningkatan kehilangan potassium. Manifestasi klinis dari hipokalemi Hipokalemi dapat menghasilkan disfungsi organ yang luas. Hampir seluruh pasien adalah asimptomatis hingga [K+] plasma jatuh hingga di bawah 3 mEq/L. Tabel 28-9. Efek Hipokalemi Kardiovaskuler Perubahan elektrokardiografik/aritmia Disfungsi myocardial Neuromuskuler Kelemahan otot skeletal Tetani Rhabdomiolisis Ileus Renal Poliuri (Nefrogenik Diabetes Insipidus) Peningkatan produksi ammonia Peningkatan reabsorpsi bikarbonat Hormonal Penurunan sekresi insulin Penurunan sekresi aldosteron Metabolik Keseimbangan negatif nitrogen Ensefalopati pada pasien dengan penyakit hati Gambar 28—5. Efek hipokalemia terhadap elektrokardiografi. Catatan gelombang T yang mendatar secara progresif, peninggian gelombang U yang makin meningkat, amplitudo gelombang P meninggi, pemanjangan interval P-R, dan depresi segmen S-T. Efek pada kardiovaskular terlihat paling jelas, terdiri dari elektrokardiogram yang abnormal (EKG), aritmia, kontraktilitas jantung berkurang, dan tekanan darah arterial yang labil akibat disfungsi otonom. Hipokalemia kronik juga telah dilaporkan menyebabkan fibrosis miokardial. Manifestasi EKG secara primer disebabkan oleh repolarisasi ventrikel terlambat, terdiri dari inversi gelombang T dan gelombang T yang rata, peninggian gelombang U yang makin meningkat, depresi segmen ST, amplitudo gelombang P meninggi, dan pemanjangan interval P-R (Gambar 28--5). Otomatisitas sel miokardial yang meningkat dan repolarisasi terlambat mendukung terjadinya aritmia atrium dan ventrikel. Dampak neuromuskular dari hipokalemia termasuk kelemahan otot skeletal (khususnya otot kuadriseps), ileus, kram otot, tetani, dan, jarang, rhabdomiolisis. Hipokalemia yang disebabkan diuretik seringkali berhubungan dengan alkalosis metabolik; karena ginjal menyerap sodium untuk mengkompensasi deplesi volume intravaskular dan pada keadaan hipochloremia akibat diuretik, bikarbonat diserap. Hasil akhirnya adalah alkalosis metabolik hipokalemia dan hipochloremia. Disfungsi renal terjadi karena terganggunya kemampuan untuk mengkonsentrasi (resisten terhadap ADH, menimbulkan poliuria) dan peningkatan produksi amonia menimbulkan gangguan pada asidifikasi urine. Peningkatan produksi amonia menunjukkan adanya asidosis intrasel; ion hidrogen berpindah ke dalam intrasel untuk mengkompensasi kehilangan potassium intrasel. Hasilnya berupa alkalosis metabolik, bersama dengan produksi amonia meningkat, dapat menimbulkan encepalopati pada pasien dengan penyakit hati berat. Hipokalemia kronik telah dihubungkan dengan fibrosis renal (nefropati tubulointerstitial). Penatalaksanaan Hipokalemia Penatalaksanaan hipokalemia tergantung dari keberadaan dan derajat keparahan disfungsi setiap organ yang berhubungan. Perubahan EKG yang signifikan seperti perubahan segmen ST atau aritmia memerlukan monitoring EKG terus-menerus, terutama saat penggantian K+ intravena. Terapi digoxin—sama seperti hipokalemia sendiri—membuat jantung lebih peka terhadap perubahan konsentrasi ion potassium. Kekuatan otot juga harus dinilai secara periodik pada pasien dengan kelemahan. Penggantian secara oral dengan larutan potassium klorida umumnya yang paling aman (60-80 mEq/hari). Penggantian defisit potassium biasanya membutuhkan beberapa hari. Penggantian secara intravena dengan potassium klorida biasanya dipersiapkan pada pasien dengan atau beresiko manifestasi jantung serius atau kelemahan otot. Tujuan dari terapi adalah memindahkan pasien dari keadaan gawatdarurat dan tidak perlu memperbaiki seluruh defisit potasium. Penggantian secara intravena perifer tidak boleh melebihi 8 mEq/jam karena dampak iritatif potassium pada vena perifer. Larutan mengandung dextrose sebaiknya secara umum dihindari karena menimbulkan hiperglikemia dan sekresi insulin sekunder yang dapat menurunkan [K+] plasma lebih lagi. Penggantian secara intravena yang lebih cepat (10-20 mEq/jam) membutuhkan kateter vena sentral dan monitoring ketat pada EKG. Kecepatan penggantian yang lebih tinggi mungkin paling aman melalui kateter femoral, karena konsentrasi K+ lokal yang sangat tinggi dapat terjadi di dalam jantung bila menggunakan kateter vena sentral standar. Penggantian secara intravena pada umumnya harus tidak melebihi 240 mEq/hari. Potassium klorida merupakan garam potassium yang dipilih saat terdapat juga keadaan alkalosis metabolik karena garam ini juga memperbaiki defisit klorida seperti yang telah dibahas di atas. Potassium bikarbonat atau sejenisnya (K+ asetat atau K+ sitrat) dapat dipilih untuk pasien dengan asidosis metabolik. Potassium fosfat merupakan alternatif yang cocok bila hipofosfatemia turut menyertai (ketoasidosis diabetik). Pertimbangan Anestesi Hipokalemia merupakan temuan yang umum pada pre-operatif. Keputusan untuk melakukan bedah terpilih seringkali berdasarkan batas bawah kadar kalium antara 3 dan 3,5 mEq/L. Meskipun demikian, keputusan tersebut juga harus didasarkan pada kecepatan terjadinya hipokalemia serta ada atau tidaknya disfungsi sekunder organ. Pada umumnya, hipokalemia ringan kronik (3-3,5 mEq/L) tanpa perubahan EKG tidak meningkatkan resiko anestesi secara bermakna. Namun anestesi tidak boleh dilakukan pada pasien yang mendapat terapi digoxin, yang mana meningkatkan resiko untuk terjadinya toksisitas digoxin akibat hipokalemia; pada pasien seperti ini kadar [K+] plasma yang diinginkan adalah di atas 4 mEq/L. Manajemen intraoperatif hipokalemia membutuhkan monitoring EKG ketat. Potassium intravena harus diberikan bila terjadi aritmia atrium atau ventrikel. Harus digunakan larutan intravena bebas glukosa dan hiperventilasi dihindari untuk mencegah penurunan lebih lanjut pada [K+] plasma. Peningkatan sensitivitas terhadap obat penghambat neuromuskular (neuromuscular blocking agents/NMBAs) dapat terjadi pada beberapa pasien. Untuk itu dosis NMBA harus dikurangi 25-50%, dan stimulator saraf sebaiknya digunakan untuk memantau derajat paralisis dan kecukupan pembalikan (adequacy of reversal). HIPERKALEMIA Hiperkalemia terjadi bila [K+] plasma melebihi 5,5 mEq/L. Hiperkalemia jarang terjadi pada individu normal karena kapasitas ginjal yang luar biasa dalam mensekresi potassium. Saat asupan potassium ditingkatkan perlahan, ginjal mengeksresi sejumlah 500mEq K+ setiap hari. Sistem simpatis dan sekresi insulin sepertinya juga berperan penting dalam mencegah peningkatan akut plasma [K+] setelah pembebanan potassium. Hiperkalemia bisa terjadi karena (1) perubahan ion potassium antar kompartemen, (2) turunnya eksresi potassium dalam urine, atau, jarang, (3) peningkatan asupan potassium (Tabel 28—10). Pengukuran konsentrasi potassium plasma dapat meningkat palsu apabila sel darah merah mengalami hemolisis pada spesimen darah (paling umum disebabkan pemasangan tourniquet yang lama saat pengambilan sampel vena). Pelepasan potassium in vitro dari sel darah putih pada spesimen darah juga dapat menimbulkan peningkatan palsu [K+] plasma yang diukur saat jumlah leukosit melebihi 70.000 x 109/L. Pelepasan potassium yang serupa dari platelet terjadi saat jumlah platelet melebihi 1.000.000 x 109/L. Tabel 28-10. Penyebab hiperkalemia Pseudohiperkalemia Hemolisis sel darah merah Leukositosis/trombositosis Perubahan antar kompartemen Asidosis Hipertonis Rhabdomyolisis Olahraga berlebihan Paralisis periodik Succinylcholine Penurunan ekskresi potassium renal Gagal ginjal Penurunan aktivitas mineralokortikoid dan gangguan reabsorbsi Na+ AIDS Diuretik hemat kalium kompetitif Spironolakton ACE1 inhibitor NSAID Pentamidin Trimetroprim Peningkatan reabsorbi Cl- Sindrom Gordon Cyclosporine Peningkatan masukan potassium Pengganti garam 1ACE, angiotensin-converting enzyme Hiperkalemia Akibat Perpindahan Ekstrasel Potassium Perpindahan K+ keluar sel dapat terjadi pada pemberian succinylcholine, asidosis, lisis sel setelah kemoterapi, hemolisis, rhabdomiolisis, trauma jaringan masif, hiperosmolalitas, overdosis digitalis, pemberian arginin hidroklorida, dan hambatan 2-adrenergik, dan saat episode paralisis periodik hiperkalemia. Peningkatan rata-rata [K+] sebesar 0,5 mEq/L setelah pemberian succinylcholine dapat semakin meningkat akibat luka bakar yang luas atau trauma otot berat dan pada pasien dengan denervasi otot. Hambatan 2-adrenergik menimbulkan peningkatan [K+] plasma yang terjadi setelah berolahraga. Digitalis menghambat Na+-K+ ATPase pada membran sel, overdosis digitalis telah dilaporkan menyebabkan hiperkalemia pada beberapa pasien. Arginin hidroklorida, yang digunakan untuk mengobati alkalosis metabolik, dapat menyebabkan hiperkalemia karena ion kation arginin memasuki sel dan ion potasium keluar sel untuk mempertahankan elektronetralitas. Hiperkalemia Akibat Turunnya Ekskresi Renal terhadap Potassium Turunnya eksresi renal terhadap potassium dapat terjadi karena (1) reduksi filtrasi glomerulus, (2) turunnya aktivitas aldosteron, atau (3) gangguan sekresi potassium pada nefron distal. Kecepatan filtrasi glomerulus kurang dari 5 mL/menit hampir selalu berhubungan dengan hiperkalemia. Pasien dengan derajat gangguan ginjal yang memburuk juga dapat dengan mudah mengalami hiperkalemia saat berhadapan dengan pembebanan kalium (diet, katabolik, atau iatrogenik). Uremia juga dapat mengganggu aktivitas Na+-K+ ATPase. Hipokalemia akibat turunnya aktivitas aldosteron dapat terjadi karena gangguan primer sintesis hormon adrenal atau gangguan sistem renin-aldosteron. Pasien dengan insufisiensi adrenal primer (penyakit Addison) dan mereka dengan defisiensi enzim adrenal 21-hidroksilase terisolasi telah memperlihatkan gangguan sintesis aldosteron. Pasien dengan sindrom hipoaldosteronism terisolasi (juga disebut hipoaldosteronism hiporeninemik, atau asidosis tubulus renal tipe IV) biasanya menderita diabetes dengan gangguan ginjal pada berbagai derajat; pasien tersebut terlihat mengalami gangguan kemampuan untuk meningkatkan sekresi aldosteron sebagai respon terhadap hiperkalemia. Walaupun biasanya asimtomatik, pasien-pasien tersebut menjadi hiperkalemia saat mereka meningkatkan asupan potassium atau saat diberikan diuretik hemat potassium. Mereka seringkali juga memiliki derajat kehilangan Na+ yang bervariasi dan asidosis metabolik hiperkloremik. Temuan yang serupa juga telah dilaporkan pada beberapa pasien dengan AIDS yang mana memiliki insufisiensi adrenal relatif (akibat infeksi cytomegalovirus). Obat yang bekerja dengan mengganggu sistem renin-aldosteron memiliki potensi untuk menyebabkan hiperkalemia, terutama bila ada gangguan ginjal apapun derajatnya. Non-steroidal antiinflammatory drugs (NSAIDs) menghambat pelepasan renin dimediasi prostaglandin. Angiotensin converting enzyme (ACE) inhibitor bekerja dengan mengganggu pelepasan aldosteron dimediasi angiotensin-II. Heparin dosis besar dapat mengganggu sekresi aldosteron. Spironolakton diuretik hemat potassium secara langsung bersifat antagonis terhadap aktivitas aldosteron pada ginjal. Turunnya ekskresi renal terhadap potassium juga dapat terjadi akibat gangguan intrinsik atau didapat pada kemampuan nefron distal untuk mensekresi potassium. Gangguan tersebut dapat terjadi bahkan dalam keadaan fungsi ginjal normal dan secara karakteristik tidak responsif terhadap terapi mineralokortikoid. Ginjal pada pasien dengan pseudohipoaldosteronism menunjukkan resistensi intrinsik terhadap aldosteron. Gangguan yang didapat telah dihubungkan dengan systemic lupus erythematosus, anemia sel sabit, uropati obstruktif, dan nefropati cyclosporine pada transplantasi ginjal. Hiperkalemia Akibat Asupan Potassium yang Meningkat Beban potassium yang meningkat jarang menyebabkan hiperkalemia pada individu normal kecuali sejumlah besar diberikan dengan cepat dan secara intravena. Meskipun demikian, hiperkalemia, dapat terjadi saat asupan potassium meningkat pada pasien yang menerima terapi -bloker atau mereka dengan gangguan ginjal atau defisiensi insulin. Sumber potassium yang tidak diketahui seperti potassium penicillin, pengganti sodium (biasanya garam potassium), dan transfusi darah lengkap yang disimpan. [K+] plasma pada unit darah lengkap dapat meningkat hingga 30 mEq/L setelah 21 hari penyimpanan. Resiko hiperkalemia dari transfusi multipel berkurang (tapi tidak hilang) dengan memberikan volume plasma dalam jumlah minimal lewat penggunaan transfusi packed red blood cell (lihat Bab 29). Manifestasi Klinis Hiperkalemia Efek hiperkalemia yang paling penting adalah pada otot skeletal dan otot jantung. Kelemahan otot skeletal umumnya tidak terlihat hingga [K+] plasma lebih dari 8 mEq/L. Kelemahan tersebut disebabkan oleh depolarisasi spontan yang bertahan dan inaktivasi saluran Na+ pada membran otot (serupa dengan succinylcholine), mengakibatkan ascending paralisis. Manifestasi jantung (Gambar 28—6) secara primer disebabkan oleh depolarisasi yang terlambat dan terjadi secara konsisten saat [K+] plasma lebih dari 7 mEq/L. Perubahan EKG secara karakteristik berubah (dengan suatu pola) dari gelombang T memuncak simetris (seringkali dengan interval QT yang memendek) kompleks QRS melebar interval P-R memanjang hilangnya gelombang P hilangnya amplitudo gelombang R depresi segmen ST (kadangkala elevasi) EKG yang mirip gelombang sinus—sebelum berubah menjadi fibrilasi ventrikel dan asistol. Kontraktilitas masih relatif baik. Hipokalemia, hiponatremia, dan asidosis membuat dampak hiperkalemia pada jantung lebih terlihat. Penatalaksanaan Hiperkalemia Karena potensinya yang dapat menimbulkan kematian, hiperkalemia melebihi 6 mEq/L harus selalu ditangani. Penatalaksanaan diarahkan pada perbaikan manifestasi jantung, dan kelemahan otot skeletal, dan mengembalikan [K+] plasma kembali normal. Jumlah modalitas penatalaksanaan yang dilakukan (lihat bawah) tergantung dari derajat keparahan manifestasi serta penyebab dari hiperkalemia. Hiperkalemia berhubungan dengan hipoaldosteronism dapat ditangani dengan penggantian mineralokortikoid. Obat-obatan yang dapat berpengaruh terhadap hiperkalemia harus dihentikan dan sumber peningkatan asupan potassium dikurangi atau dihentikan. Kalsium (5-10 mL dari 10% kalsium glukonat atau 3-5 mL dari 10% kalsium klorida) bersifat antagonis parsial terhadap efek hiperkalemia pada jantung dan berguna pada pasien dengan hiperkalemia. Efeknya cepat tetapi hanya berlangsung dalam waktu singkat. Pengawasan harus dilakukan pada pasien yang mengkonsumsi digoksin, karena kalsium dapat meningkatkan toksisitas digoksin. Ketika terjadi asidosis metabolic, sodium bicarbonate intravena ( biasanya 45 mEq) akan memacu sel untuk mengambil kalium dan dapat menurunkan jumlah Kalium plasma dalam 15 menit. β agonis memacu sel untuk mengambil kalium dan dapat berguna pada hiperkalemia akut akibat trasfusi massif; epinefrin dosis rendah ( 0.5 – 2 mg/menit) kadang-kadang dapat menurunkan kadar kalium secara cepat dan berefek inotropik. Glukosa intravenba dan insulin ( 30-50 g glukosa dengan 10 unit insulin) juga efektif dalam memacu sel mengambil potassium dan menurunkan kadar kalium plasma tetapi kadang-kadang membutuhkan waktu satu jam. Untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal, furosemid bermanfaat dalam neingkatkan ekskresi kalium dalam urin. Pada gagal ginjal, eliminasi kelebihan kalium dapat dipenuhi hanya dengan resin cation-exchange yang nonabsorbable seperti Sodium sulfonate polystyrene oral dan rectal (Kayexalate). Tiap gram resin mengikat sampai 1 mEq K+ dan melepas 1.5 mEq Na+;dosis oral adalah 20 g dalam 100 mL sorbitol 20%. Dialisis dindikasikan untuk pasien dengan hiperkalemia berat atau refrakter. Hemodialisi lebig\h cepat dan lebih efektif dibadingkan dengan peritoneal dialysis dalam menurunkan kadar kalium plasma. Pengurangan kalium maksimal dengan hemodialisa mencapai 50 mEq/jam, sedangkan peritoneal dialisa hanya mencapai 10-15 mEq/jam. PERTIMBANGAN ANESTETIK Operasi elektif seharusnya tidak dikerjakan pada pasien dengan hiperkalemia. Manajemen anestesi pada pasien dengan hiperkalemia diutamakan pada baik penurunan konsentrasi klaium plasma dan pencegahan peningkatan kalium plasma lebih lanjut. EKG harus dimonitor secara ketat. Suksinilkolin adalah kontraindikasi, juga penggunaan cairan intavena yang mengandung kalium seperti Ringerlactat. Upaya menghindari asidosis metabolic dan asidosis respiratorik adalah penting untuk mencegah peningkatan kaliumplasma lebih lanjut. Pernafasan harus dikendalikan dibawah anestesi umum; hiperventilasi ringan dapat ditolerir. Yang terakhir, gungsi neuromuskuler harus dimonitor secara ketat karena hiperkalemia dapat meningkatkan efek NMbAs. GANGGUAN KESEIMBANGAN KALSIUM Meskipun 98% total kalsium tubuh berada di tulang, pemeliharaan konsentrasi kalsium ekstraseluler yang normal adalah penting untuk homestasis. Ion kalsium digunakan pada hampir semua fungsi penting biologis, termasuk kontaksi otot, pembekuan darah dan metabolisme tulang. Hal ini tidak mengherankan jika gangguan keseimbanagn kalsium dapat terjadi pada kelainan fisiologis yang utama. KESEIMBANGAN KALSIUM NORMAL Asupan kalsium rata-rata pada orang dewasa adalah 600-800 mg/hari. Penyerapan kalsium di usus terjadi terutama pada usus halus bagian proksimal namun cukup bervariasi. Kalsium juga disekresi ke dalam lumen saluran cerna; selain itu, sekresi kalsium ini nampaknya konstan dan tidak tergantung proses penyerapan. Sampai sekitar 80% asupan kalsium sehari-hari secara normal dibuang melalui feses. Ginjal bertanggung jawab terhadap ekskresi kalsium. Ekskresi kalsium melalui ginjal rata-rata sebesar 100 mg/ hari namun dapat bervariasi antara 50 mg/hari sampai 300mg/ hari. Sebesar 98% kalsium yang terfiltrasi normalnya akan diserap kembali. Reabsorpsi kalsium bersamaan dengan natrium terjadi pada tubulus renalis proksimal dan pars ascenden dari loop Henle. Pada tubulus distal, bagaimanapun juga, reabsorpsi kalsium tergantung sekresi hormon paratiroid, di mana reabsorpsi natrium tergabtung sekresi aldosteron. Peningkatan hormon paratiroid memacu reabsorpsi kalsium distal dan menurunkan ekskresi kalsiuum nelalui urin. Konsentrasi Kalsium Plasma Konsentrasi normal kalsium adalah 8,5-10,5 mg/dL (2,1-2,6 mmol/L). Sekitar 50% dalam bentuk ion bebas, 40% terikat dengan protein (terutama albumin), dan 10% membentuk kompleks dengan anion seperti sitrat dan asam amino. Konsentrasi kalsium dalam bentuk ion bebas ([Ca2+]) inilah yang terpenting secara fisiologis. [Ca2+] plasma normal adalah 4,75-5,3 mg/dL (2,38-2,66 mEq/L atau 1,19-1,33 mmol/L). Perubahan konsentrasi aklbumin plasma mempengaruhi konsentrasi kalsium total, namun tidak berpengaruh pada konsentrasi kalsium dalam bentuk ion bebas: setiap peningkatan atau penurunan albumin sebesar 1g/dL, konsentrasi kalsium plasma meningkat atau menurun sebesar kira-kira 0,8-1,0 mg/dL. Perubahan pH cairan plasma secara langsung mempengaruhi derajat ikatan protein dan konsentrasi ion kalsium bebas. Kalsium dalam bentuk ion bebas ini meningkat sekitar 0,16 mg/dL setiap penurunan pH cairan plasma sebesar 0,1 unit dan menurun dengan kadar yang sama setiap peningkatan pH sebesar 0,1 unit. Regulasi Konsentrasi Ion Kalsium Ekstraseluler Pada keadaan normal, kalsium masuk cairan ekstraseluler melalui absorpsi pada saluran cerna maupun dari resorpsi tulang; hanya sekitar 0,5-1% kalsium tulang yang bisa mengalami pertukaran dengan cairan ekstraseluler. Sebaliknya, normalnya kalsium meninggalkan ekstraseluler dengan cara (1) deposisi ke dalam tulang, (2) ekskresi melalui urin, (3) sekresi ke dalam saluran cerna, dan (4) melalui keringat. Pengaturan [Ca2+] ekstraseluler dilakukan oleh tiga hormon: hormon paratiroid (PTH). Vitamin D, dan kalsitonin. Hormon-hormon ini terutama bekerja pada tulang, tubulus renalis distal, dan usus halus. PTH adalah pengatur utama [Ca2+] dalam plasma darah. Penurunan [Ca2+] plasma distimulasi oleh sekresi PTH, sedangkan peningkatan [Ca2+] dihambat oleh sekresi PTH. Efek kalsemik PTH disebabkan adanya (1) mobilisasi kalsium dari tulang, (2) peningkatan reabsorpsi kalsium di tubulus renalis distal, dan (3) peningkatan penyerapan kalsium di usus secara tidak langsung melalui peningkatan sintesis 1,25-dihidroksikolekalsiferol di ginjal (lihat di bawah). Vitamin D terdapat dalam beberapa bentuk di dalam tubuh, namun 1,25-dihidroksikolekalsiferol adalah bentuk vitamin D yang memiliki aktivitas biologi paling kuat. 1,25-dihidroksikolekalsiferol adalah produk dari konversi metabolik dari kolekalsiferol (terutama endogen), pertama-tama di hepar yaitu menjadi 25-kolekalsiferol, lalu menjadi 1,25 dihidroksikolekalsiferol di ginjal. Perubahan selanjutnya dirangsang oleh sekresi PTH yang juga akan menyebabkan hipofosfatemia. Vitamin D meningkatkan penyerapan kalsium di usus, memfasilitasi kerja PTH pada tulang, dan nampaknya juga memperkuat reabsorpsi kalsium di tubulus distal. Kalsitonin adalah hormon polipeptida yang disekresi oleh sel-sel parafolikuler kelenjar tiroid. Sekresinya dirangsang oleh keadaan hiperkalsemia dan dihambat oleh keadaan hipokalsemia. Kalsitonin menghambat reabsorpsi tulang dan meningkatkan ekskresi kalsium melalui urin. HIPERKALSEMIA Hiperkalsemia dapat terjadi sebagai hasil dari berbagai macam gangguan (Tabel 28-11). Pada hiperparatiroidisme primer, sekresi PTH meningkat dan tidak tergantung [Ca2+]. Sebaliknya, pada hiperparatiroidisme sekunder (gagal ginjal kronik atau malabsorpsi), peningkatan kadar PTH yang terjadi adalah sebagai respon adanya hipokalsemia kronis. Hiperparatiroidisme sekunder yang lama, bagaimanapun juga, terkadang dapat menyebabkan sekresi PTH secara otonom, menghasilkan [Ca2+] normal atau meningkat (hiperparatiroidisme tersier). Pada pasien kanker dapat ditemukan kondisi hiperkalsemia, baik pada keadaan terdapatnya metastasis pada tulang maupun tidak. Destruksi tulang secara langsung dan sekresi mediator humoral yang mampu menyebabkan hiperkalsemia (substansi mirip PTH, sitokin, atau prostaglandin) mungkin bertanggung jawab pada kondisi tersebut pada beberapa pasien. Hiperkalsemia akibat peningkatan turnover kalsium dari tulang dapat terjadi pada pasien dengan kondisi atau penyakit jinak seperti penyakit Paget dan imobilisasi kronik. Peningkatan penyerapan kalsium pada saluran cerna dapat menimbulkan hiperkalsemia pada pasien dengan sindroma milk-alkali (peningkatan asupan kalsium secara nyata), hipervitaminosis vitamin D, atau penyakit granulomatosis (peningkatan sensitivitas terhadap vitamin D). Mekanisme terjadinya hiperkalsemia yang lain belum diketahui. Tabel 28-11. Penyebab Hiperkalsemia Hiperparatiroidisme Keganasan Asupan vitamin D berlebihan Penyakit granulomatosis (sarkoidosis, tuberkulosis) Imobilisasi kronik Milk-alkali syndrome Insufisiensi adrenal Pengaruh obat Diuretik Thiazide Lithium Manifestasi Klinis Hiperkalsemia Hiperkalsemia sering menyebabkan anoreksia, mual, muntah, kelemahan, dan poliuria. Ataksia, iritabilitas, letargi, atau keadaan bingung dapat secara progresif dan cepat menjadi keadaan koma. Hipertensi sering terjadi sebelum kondisi hipovolemia terjadi. Pada EKG dapat terjadi pemendekan segmen ST dan interval QT. Hiperkalsemia meningkatkan sensitivitas jantung terhadap digitalis. Pankreatitis, ulcuk pepticum, dan gagal ginjal dapat memperberat kondisi hiperkalsemia. Penatalaksanaan Hiperkalsemia Hiperkalsemia simtomatik membutuhkan terapi segera. Terapi inisial yang efektif adalah rehidrasi dilanjutkan dengan diuresis (pengeluaran urin 200-300 mL/jam) dengan pemberian cairan saline secara infus intravena dan diuretik loop untuk mempercepat ekskresi kalsium. Terapi diuretik yang terlalu awal, yaitu sebelum rehidrasi bisa memperburuk kondisi hiperkalsemia karena terjadi pengurangan volume plasma. Kehilangan kalium dan magnesium biasanya terjadi selama diuresis, dan monitoring laboratorium dan pengggantian intravena sebaiknya dilakukan jika diperlukan. Walaupun hidrasi dan diuresis mampu menghindarkan risiko potensial terjadinya komplikasi kardiovaskuler dan neurologis akibat hiperkalsemia, kadar kalsium serum biasanya tetap di atas normal. Terapi tambahan dengan bifosfonat atau kalsitonin mungkin diperlukan untuk menurunkan lagi kadar kalsium serum. Hiperkalsemia berat (> 15 mg/dL) biasanya membutuhkan terapi tambahan setelah hidrasi menggunakan cairan saline dan kalsiuresis menggunakan lasix. Bifosfonat (pamidronate 60-90 mg intravena) atau kalsitonin (2-8 U/kg subkutan) adalah obat yang dipilih. Pamidronate sudah menjadi obat pilihan pada kondisi ini karena durasi kerjanya panjang (namun bisa diganti dengan zoledronate, suatu bifosfonat dengan durasi kerja yang bahkan lebih lama), namun obat ini harus dihindari pada keadaan insufisiensi ginjal (kreatinin serum >2,5 mg/dL). Dialisis mungkin diperlukan jika ditemukan keadaan gagal ginjal atau gagal jantung. Terapi tambahan tergantung dari penyebab hiperkalsemianya dan mungkin juga bisa menggunakan glukokortikoid pada kondisi hiperkalsemia yang diinduksi oleh vitamin D seperti pada penyakit granulomatosis. Obat generasi lama seperti plicamycin (mithramycin) atau fosfat jarang digunakan akhir-akhir ini karena efek samping yang berbahaya potensial terjadi. Sangatlah penting untuk mengetahui etiologi hiperkalsemia dan memberikan terapi secara langsung terhadap penyebabnya setelah terapi inisial dihentikan. Sekitar 90% hiperkalsemia disebabkan oleh keganasan atau hiperparatiroidisme. Pemeriksaan laboratorium terbaik untuk membedakan kedua penyebab utama ini adalah pemeriksaan double-antibody PTH assay. Konsentrasi PTH serum biasanya tersupresi pada kondisi keganasan dan meningkat pada hiperparatiroidisme. Pertimbangan dalam Melakukan Tindakan Anestesi Hiperkalsemia adalah kedaruratan medis dan harus diperbaiki, jika mungkin, sebelum pemberian obat anestesi. Kadar kalsium dalam bentuk terionisasi harus diawasi secara ketat. Jika tindakan bedah harus dilakukan, diuresis saline harus dilanjutkan selama operasi (intraoperatif) dengan pengawasan yang ketat untuk mencegah terjadinya hipovolemia; monitoring tekanan vena sentral atau arteri pulmonalis perlu dilakukan pada pasien dengan penurunan fungsi jantung. Pengukuran secara serial terhadap [K+] dan [Mg+] membantu mendeteksi adanya hipokalemia dan hipomagnesemia iatrogenik. Respon terhadap obat-obat anestesi tidak dapat diduga. Ventilasi harus diatur dengan anestesi umum. Asidosis harus dicegah dengan menjaga agar [Ca2+] tidak semakin meningkat. HIPOKALSEMIA Hipokalsemia didiagnosis hanya dengan melihat konsentrasi kalsium yang terionisasi dalam plasma. Saat pengukuran [Ca2+] plasma secara langsung tidak dapat dilakukan, konsentrasi kalsium total harus diperbaiki jika ada penurunan konsentrasi albumin plasma (lihat di atas). Penyebab hipokalsemia ada dalam tabel 28-12. Hipokalsemia akibat hipoparatiroidisme adalah penyebab tersering dari hipokalsemia simtomatic. Hipoparatiroidisme dapat disebabkan akibat tindakan bedah, idiopatik, atau bagian dari defek endokrin multipel (paling sering dengan insufisiensi kelenjar adrenal), atau berhubungan dengan hipomagnesemia. Defisiensi magnesium akan mengganggu sekresi PTH dan memiliki efek antagonis terhadap PTH pada tulang. Hipokalsemia selama sepsis diduga akibat adanya supresi terhadap pelepasan PTH. Hiperfosfatemia (lihat di bawah) secara relatif merupakan penyebab lazim hipokalsemia. Terutama pada pasien dengan gagal ginjal kronik. Hipokalsemia akibat defisiensi vitamin D dapat terjadi akibat penurunan asupan (nutrisi) secara nyata, malabsorpsi vitamin D, dan metabolisme vitamin D yang abnormal. Kelasi ion kalsium dengan ion sitrat dalam darah adalah penyebab utama hipokalsemia perioperatif; penurunan sementara [Ca2+] yang serupa secara teoritis juga mungkin terjadi setelah infus albumin secara cepat dalam volume yang besar. Hipokalsemia yang terjadi pada pankreatitis diduga akibat presipitasi antara kalsium dengan lemak (penyabunan) setelah terjadinya pelepasan enzim lipolitik dan nekrosis lemak; hipokalsemia pada emboli lemak mungkin juga terjadi melalui mekanisme yang serupa. Presipitasi kalsium (pada otot yang rusak) dapat juga dijumpai pada rhabdomiolisis. Penyebab hipokalsemia lain walaupun jarang yaitu termasuk karsinoma medullar kelenjar tiroid yang mensekresi kalsitonin, penyakit metastatis osteoblastik (kanker prostat dan payudara), dan pseudohipoparatiroidisme (kelainan familial yang tidak responsif terhadap hormon paratiroid). Hipokalsemia yang sementara dapat terjadi pada pemberian heparin, protamine, atau glukagon dan tranfusi darah yang masif (dari sitrat). Tabel 28-12. Penyebab Hipokalsemia Hipoparatiroidisme Pseudohipoparatiroidisme Defisiensi vitamin D Nutrisi Malabsorpsi Pasca operasi (gastrektomi, usus yang pendek) Inflammatory bowel disease Gangguan metabolisme vitamin D Hiperfosfatemia Presipitasi Kalsium Pankreatitis Rhabdomiolisis Emboli lemak Kelasi kalsium Tranfusi sel darah merah multipel yang cepat atau infus cepat cairan albumin dalam volume besar Manifestasi Klinis Hipokalsemia Manifestasi klinis hipokalsemia dapat berupa parestesia, kebingungan, stridor laring (laringospasme), spasme carpopedal (Trousseau’s sign), spasme masseter (Chvostek’s sign), dan kejang. Kolik bilier dan bronkospasme juga dapat terjadi. Iritabilitas jantung dapat memacu terjadinya aritmia. Kontraktilitas jantung yang menurun bisa menyebabkan gagal jantung, hipotensi, atau keduanya. Penurunan respon terhadap digoxin dan agonis β-adrenergik juga pernah dilaporkan. Pada pemeriksaan EKG ditemukan tanda pemanjangan interval QT. Derajat perubahan gambaran EKG tidak berhubungan dengan derajat hipokalsemia. Penatalaksanaan Hipokalsemia Hipokalsemia simtomatik adalah kedaruratan medis dan harus ditangani segera menggunakan 3-5 ml kalsium klorida 10% atau 10-20 ml kalsium glukonat 10%. (Sepuluh mililiter CaCl2 mengandung 272 mg Ca2+, sedangkan 10 ml kalsium glukonat 10% hanya mengandung 93 mg Ca2+.) Untuk mencegga presipitasi, kalsium intravena tidak boleh diberikan dengan cairan yang mengandung bikarbonat atau fosfat. Pemberian secara bolus yang diulang atau infus yang kontinyu (Ca2+ 1-2mg/kg/jam) dapat dilakukan jika perlu. Pada hipokalsemia kronik, kalsium oral (CaCO3) dan vitamin D biasanya diperlukan. Terapi untuk hiperfosfatemia akan dibahas selanjutnya. Pertimbangan dalam Melakukan Tindakan Anestesi Hipokalsemia harus diperbaiki sebelum operasi. Monitoring kadar ion kalsium secara serial harus dilakukan selama operasi pada pasien dengan riwayat hipokalsemia. Alkalosis harus dihindari untuk mencegah terjadinya penurunan [Ca2+] yang lebih lanjut. Kalsium intravena diperlukan setelah prosedur tranfusi produk darah yang mengandung sitrat atau cairan albumin dalam volume besar. Respon terhadap NMBAs tidak konsisten dan membutuhkan monitoring yang ketat dengan stimulator saraf. GANGGUAN KESEIMBANGAN FOSFOR Fosfor adalah senyawa intraseluler yang penting.n keberadaannya diperlukan untuk sintesis (1) fosfolipid dan fosfoprotein pada membran sel dan organel intraseluler, (2) fosfonukleotida yang berperan pada sintesis protein dan reproduksi, dan (3) ATP yang digunakan sebagai simpanan energi. Hanya 0,1% dari jumlah total fosfor di dalam tubuh yang terletak di ekstraseluler; 85% terdapat di dalam tulang dan 15% terdapat di intraseluler. KESEIMBANGAN FOSFOR NORMAL Asupan fosfor rata-rata sebesar 800-1500 mg/hari pada orang dewasa. Sekitar 80% di antaranya diserap melalui usus halus proksimal. Vitamin D meningkatkan penyerapan fosfor oleh usus. Ekskresi fosfor yang paling utama adalah melalui ginjal dan ginjal bertanggung jawab dalam mengatur kadar fosfor total tubuh. Ekskresi fosfor melalui urin tergantung oleh asupan dan konsentrasi di dalam plasma. Sekresi PTH dapat meningkatkan ekskresi fosfor dengan menghambat reabsorpsi pada tubulus renalis proksimal. Efek yang lebih lanjut dapat diimbangi dengan pelepasan fosfat dari tulang akibat kerja PTH. Konsentrasi Plasma Fosforus Plasma fosforus ada dalam bentuk organik maupun inorganik. Fosforus organik utamanya terdapat dalam bentuk fosfolipid. Sebagian dari fosforus organik, 80% difiltrasi oleh ginjal, dan 20% sisanya terikat protein. Fosforus organik sebagian besar terdapat dalam bentuk H2PO4- dan HPO42- dengan perbandingan 1:4. Bila dikonversi, plasma forforus dapat terukur dalam miligram elemental fosforus. Nilai normal plasa fosforus pada orang dewasa adalah 2.5-4.5mg/dL (0.8-1.45mmol/L) dan mencapai 6mg/dl pada anak-anak. Konsentrasi plasma fosforus biasanya diukur dalam kondisi puasa, karena intake karbohidrat dapat menurunkan kadar plasma fosforus untuk sesaat. Kondisi hipofosfatemia dapat meningkatkan produksi vitamin D, sedangkan hal sebaliknya dapat terjadi pada kondisi hiperfosfatemia. Belakangan, plasama fosforus memiliki peranan penting dalam proses terjadinya hiperparatiroidisme sekunder pada pasien dengan gagal ginjal kronik. HIPERFOSFATEMIA Hiperfosfatemia dapat terlihat pada peningkatan intake fosforus(penyalahgunaan pencahar fosfat, pemberian potasium fosfat secara berlebihan), penurunan ekskresi fosforus(insufisiensi renal), atau lyisis sel yang masiv(dampak kemoterapi pada leukimia atau limfoma). Manifestasi Klinis Hiperfosfatemia Walaupun tampaknya hiperfosfatemia sendiri tidak berdampak secara langsung pada gangguan fungsional, namun efek sekundernya pada konsentrasi kalsium[Ca2+] plasma perlu diperhatikan. Hiperfosfatemia yang nyata diduga dapat menurunkan kalsium[Ca2+] plasma melalui presipitasi dan deposit kalsium fosfat pada tulang dan soft tissue. Terapi Hiperfosfatemia Pada umumnya untuk terapi hiperfosfatemia menggunakan fosfat-binding antacids seperti alumunium hidroksida atau alumunium karbonat. Pertimbangan Anestesi Walaupun interaksi spesifik antara hiperfosfatemia dan anastesi secara general belum dapat dideskripsikan, namun fungsi ginjal perlu dinilai dengan cermat. Adanya hipokalsemia sekunder juga perlu disingkirkan. HIPOFOSFATEMIA Hipofosfatemia muncul sebagai akibat dari balans negativ fosforus maupun uptake fosforus seluler dari jaringan ekstraselular(perpindahan interkompartmental). Perpindahan interkompartmental dapat terjadi selama alkalosis yang mengikuti pencernaan karbohidrat atau terapi insulin. Penggunaan antasid yang mengandung Alumunium atau magnesium dalam dosis besar, luka bakar berat, suplementasi fosforus yang inadekuat selama hiperalimentasi, ketoasidosis diabetik, withdrawal alkohol, dan prolong alkalosis respitarorik dapat menyebabkan hipofosfatemia berat(<0.3 mmoL/dL atau <1.0mg/dL). Berbeda dengan alkalosis respiratorik, alkalosis metabolik jarang menyebabkan hipofosfatemia berat. Manifestasi Klinis Hipofosfatemia Hipofosfatemia moderat(1.5-2.5mg/dL) pada umumnya asimtomatik. Namun hipofosfatemia berat(<1.0mg.dL) seringkali dihubungkan dengan disfungsi organ yang luas. Kardiomiopati, gangguan perfusi oksigen(penurunan level 2,3-difosfogliserat), hemolisis, gangguan fungsi leukosit, gangguan fungsi platelet, encephalopati, miopati skeletal, gagal napas, rhabdomyolisis, demineralisasi skeletal, asidosis metabolik, gangguan fungsi hepar, semuanya itu berhubungan dengan hipofosfatemia berat. Terapi Hipofosfatemia Pengganti fosforus peroral pada umumnya lebih disukai ketimbang parenteral karena adanya resiko hipokalsemia dan kalsifikasi metastatik. Potasium atau sodium fosfat(2-5mg fosforus elemental per kilogram, atau 10-45 mmoL secara perlahan-lahan selama 6-12 jam) sering digunakan sebagai koreksi intravena untuk hipofosfatemia berat dengan gejala. Pertimbangan Anestesi Managemen anastesi pasien dengan hipofosfatemia membutuhkan pengenalan akan komplikasi-komplikasi yang menyertainya(lihat diatas). Hiperglycemia dan alkalosis respiratory harus dihindari untuk mencegah terjadinya penurunan konsentrasi plasma fosforus lebih jauh. Fungsi neuromuskular harus diawasi dengan teliti ketika pemberian NMBA. Beberapa pasien dengan hipofosfatemia berat membutuhkan ventilasi mekanik pada postoperasi. GANGGUAN KESEIMBANGAN MAGNESIUM Magnesium adalah kation intraseluler yang penting sebagai kofaktor dalam berbagai reaksi enzim. Sekitar 1-2% dari total magnesium yang ada di tubuh manusia tersimpan di dalam kompartmen, 67% tersimpan di tulang, dimana 31% sisanya terdapat di intraseluler. KESEIMBANGAN MAGNESIUM NORMAL Rata-rata intake kalsium pada orang dewasa adalah 20-30mEq/d (240-370mg/d). Dari jumlah tersebut, hanya 30-40% yang diserap, utamanya di usus halus bagian distal. Ekskresi utamanya melalui ginjal, rata-rata 6-12mEq/d magnesium direabsorbsi secara efisien oleh ginjal. Duapuluh lima persen dari total magnesium yang di filtrasi direabsorbsi di tubulus proksimal, sedangkan 50-60% sisanya dreabsorbsi di bagian tebal pada lengkung henle. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan reabsorbsi magnesium oleh ginjal diantaranya yaitu hipomagnesia, hormon paratiroid, hipokalsemia, deplesi ECF, alkalosis metabolik. Faktor-faktor yang meningkatkan ekskresi ginjal yaitu, hipermagnesia, acute volume expansion, hiperaldosteronism, hiperkalsemia, ketoasidosis, diuretik, deplesi fosfat, dan alkohol. Konsentrasi Magnesium Plasma Magnesium[Mg2+] plasma selalu diregulasi antara 1.7 dan 2.1mEq/L (0.7-1 mmol/dL atau 1.7-2.4 mmol/dL). Walaupun mekanisme yang terlibat masih belum jelas, regulasi tersebut melibatkan interaksi dari traktus gastrointestinal(absorbsi), tulang(penyimpanan), dan ginjal(ekskresi). Sekitar 50-60% magnesium plasma berada dalam bentuk bebas dan dapat berdifusi. HIPERMAGNESEMIA Peningkatan magnesium[Mg2+] plasma seringkali akibat dari intake yang berlebihan (antasid/laxatives yang mengandung magnesium), kerusakan ginjal(GFR < 30mL/min), atau keduanya. Hipermagnesium iatrogenik juga dapat muncul saat pemberian magnesium sulfat sebagai terapi hipertensi gestasional baik pada ibu maupun fetus. Penyebab lain yang lebih jarang yaitu insufisiensi adrenal, hipertiroidism, rhabdomyolisis, pemberian lithium. Manifestasi Klinis Hipermagnesia Gejala hipermagnesia secara khas termanifestasi pada sistem saraf, neuromuskuler, dan jantung. Hiporefleks, sedasi dan kelemahan otot adalah penampakan yang khas. Kondisi hipermagnesia mengganggu pelepasan asetilkolin dan menyebabkan penurunan sensitifitas motor-end plate terhadap asetilkolin pada otot. Vasodilatasi, bradikardi, dan depresi miokardial dapat menyebabkan hipotensi pada level >10mmol/dL (>24mg/dL). Gambaran ECG berubah-ubah, namun selalu menunjukkan pemanjangan gelombang R-R dan pelebaran QRS kompleks. Hipermagnesia yang nyata dapat menyebabkan henti napas(respiratory arrest). Terapi Hipermagnesia Semua intake magnesium(seringkali antasid) harus dihentikan. Pemberian kalsium(1g kalsium glukonat) secara intravena dapat sementara menghentikan sebagian besar efek hipermagnesia. Dilanjutkan dengan pemberian diuretik bersamaan dengan infus 1/2normal saline dalam dekstrosa 5% untuk meningkatkan ekskresi magnesium urin. Secara umum, pemberian diuretik dengan normal saline untuk menurunkan kemungkinan adanya hiperkalsemia iatrogenik tidak disarankan, sebab belakangan dapat memperparah efek dari hipermagnesia. Dialisis mungkin perlu dilakukan pada pasien dengan kerusakan ginjal yang nyata. Pertimbangan Anastesi Pasien hipermagnesia perlu monitoring ECG, tekanan darah, dan fungsi neuromuskuler secara cermat. Potensiasi vasodilatasi dan instrumen anastesi yang menyebabkan negative inotropic harus diwaspadai. Dosis dari NMBA harus dikurangi hingga 25-50%. Perlu pemakaian kateter urin bila diuretik dan infus salin digunakan untuk meningkatkan elskresi magnesium(lihat diatas). Pengukuran serial dari [Ca2+] dan [Mg2+] dapat bermanfaat. HIPOMAGNESEMIA Hipomagnesemia adalah masalah yang sudah sering diperhatikan, khususnya pada pasien yang kritis. Dan sering pula dihubungkan dengan defesiensi komponen intraseluler lainnya seperti Potasium dan fosforus. Defidiensi magnesium biasa terjadi akibat intake yang inadekuat, penurunan absorbsi gastrointestinal, atau peningkatan ekskresi renal(tabel 28-13). Agonis β adrenergik juga dapat menyebabkan hipomagnesia sesaat karena ion yang diambil oleh jaringan adiposa. Obat-obatan yang menyebabkan pembuangan magnesium oleh ginjal diantaranya ethanol, theofilin, diuretik, cisplatin, aminoglikosida, amphoterisin B, pentamidin, dan granulocyte colony-stimulating factor. Manifestasi Klinis Hipomagnesemia Kebanyakan hipomagnesemia bersifat asimptomatik, namun anoreksia, kelemahan, fasikulasi, parestesi, kebingungan, ataxia, dan kejang dapat ditemukan. Hipomagnesia seringkali dihubungkan dengan hipokalsemia(gangguan sekresi hormon paratiroid) dan hipokalemia(terkait pembuangan K+ oleh ginjal). Manifestasi pada jantung yaitu electrical irritability dan peningkatan toksisitas digoksin, keduanya diperberat oleh hipokalemia. Hipomagnesia juga dihubungkan dengan peningkatan insiden atrial fibrillation. Juga terdapat pemanjangan gelombang P-R dan Q-T interval dan biasanya mencerminkan hipokalsemia yang konkomitan. Terapi Hipomagnesia Hipomagnesia asipmtomatik dapat diobati secara oral(magnesium sulfat heptahidrat atau magnesium oksida) maupun intramuskuler(magnesium sulfat). Manifestasi yang serius seperti kejang, harus diterapi dengan magnesium sulfat intravena, dengan dosis 1-2g(8-16 mEq atau 4-8mmol) secara perlahan selama 15-60 menit. Pertimbangan Anastesi Walaupun tidak terdapat interaksi anastesi spesifik yang tertulis, gangguan elektrolit koeksisten misalnya hipokalemia, hipofosfatemia, dan hipokalsemia, yang sering muncul harus dikoreksi utamanya jika akan dilakukan pembedahan. Hipomagnesia terisolasi harus dikoreksi, utamanya sebagai prosedur elektif sebeb, kondisi tersebut memiliki potensi yang tinggi menyebab kan kardiak aritmia. Lebih jauh lagi, kelihatannya magnesium memiliki property aritmia dan kemungkinan efek perlindungan cerebral, seperti peningkatahn managemen pada operasi bypass jantung. DISKUSI KASUS: ABNORMALITAS ELEKTROLIT YANG MENGIKUTI PENGALIHAN URIN Orang tua umur 70 tahun dengan karsinoma kandung kemih dilakukan radikal sisektomi dan pengalihan lengkung urin ileal. Beratnya 70kg dan memiliki riwayat hipertensi selama 20 tahun. Pengukiran laborat perioperasi menunnjukkan konsentrasi eleketrolit plasama dalam batas normal dab Blood urea Nitrogen (BUN) sebesar 20mg/dL dengan kadar serum kreatinin 1.5mg/dL. Operasi berlangsung selama 4 jam dan tanpa komplikasi anastesi. Perkiraan kehilangan darah sebesar 900ml. Cairan pengganti yang digunakan adalah ringer laktat sebanyak 3500mL, dan albumin 5% sebanyak 750mL. Satu jam setelah pasien dipindahkan ke recovery room. Pasien terbangun dengan tekanan darah 130/70 mmHg, dan pernapasan baik (18kali/menit FiO2 =0.4). Keluaran urin hanya 20mL sejak satu jam terakhir. Pengukuran laboratorium sebagai berikut: Hb 10.4mg/dL, plasma Na+,133mEq/L;K+,3.8mEq/L;Cl-,104mEq/L; CO2 total 20 mmol/L;PaO2 156 mmHg; pH darah arteri 7.29; PaCO2 ,38mmHg dan HCO3 terhitung, 18 mEq/L. Apa penjelasan yang paling mungkin dari adanya hiponatremia? Banyak faktor yang menyebabkan hiponatremia post operasi, termasuk sekresi non osmotik ADH, (stress bedah, hipovolemia, nyeri), penguapan yang masiv dan kehilangan cairan fungsional(sekuestrasi jaringan), dan pengelolaan cairan intravena. Hiponatremia biasa terjadi pada pasien postoperatif yang mendapat banyak injeksi ringer laktat dalam jumlah besar([Na+] 130mEq/L). Postoperatif natrium plasma bisa mencapai 130mEq/L pada pasien tersebut(penggantian cairan pada pasien tersebut sebaiknya memepertimbangkan kebutuhan maintenance yaitu kehilanyan darah dan kehilanyan cairan tambahan yang sesuai dengan jenis operasi). Mengapa pasien hiperkloremik dan asicotik( ph normal darah adalah 7.35-7.45)? Pada operasi penggantian urinari supravesical menggunakan usus (illeum, segmen illeocaecal, jejunum atau kolon sigmoid) yang diubah fungsinya sebagai penyalur atau resevoir. Metode yang simpel dan biasa dilakukan adalah dengan menggunakan lengkung illeum terisolasi sebagai penghantar. Ujung proksimal dianastomosekan dengan ureter, dan ujung distalnya dihubungkan dengan permukaan kulit dan dibuat stoma. Ketika urin keluar dan kontak dengan dinding mukosa usus, sangat potensial untuk terjadinya pertukaran cairan dan elektrolit. Usus aktif dalam mengabsorbsi klorida, dan mengekskresikan bikarbonat dan sodium sebagai ganti potasium atau ion hidrogen. Ketika absorbsi klorida melebihi absorbsi sodium,konsentrasi klorida plasma meningkat, dimana konsentrasi bikarbonat plasma menurun-terjadi asidosis metabolik hiperklorik. Sebagai tambahan, kolon menyerab NH4+ langsung dari urin, yang juga dapat diproduksi olah bakteri pemecah urea. Hipokalemia terjadi jika sejumlah besar Na+ digantikan oleh K+. Kehilangan potasium melalui hantaran diperparah oleh konsentrasi sodium urin yang tinggi. Lebih jauh lagi, juga dapat terjadi defisit potasium-walaupun dalam kondisi hipokalemia-karena perpindaha K+ keluar sel(akibat dari asidosis)dapat mencegah penurunan K+ plasma ekstraseluler. Apakah ada faktor yang cenderung meningkatkan kemungkinan dari asidosis metabolik hiperkloremik melalui perpindahan urinari? Semakin lama urin konrak dengan mukosa usus, kemungkinan terjadinya hiperkloremia dan asidosis juga semakin besar. Masalah mekanik seperti pengosongan yang tidak adekuat, adanya urin sisa-bersamaan dengan hipovolemia-adalah faktor perdisposisi terjadinya asisosis metabolik hiperkloremia. Gangguan ginjal yang sudah ada dapat juga menjadi faktor resiko utama dan kemungkinan merepresentasikan ketidak mampuan untuk mengkompensasi kehilangan bikarbonat yang berlebihan. Terapi apa, jika ada, yang dibutuhkan oleh pasien? Lengkung ileal harus diirigasi dengan larutan salin-melalui kateter atau stent-untuk mengatasi sumbatan parsial dan untuk memastikan drainase urin. Hipovolemia harus dipertimbangkan dan diterapi berdasarkan hasil pengukuran tekanan vena central atau respon dari cairan(lihat bab 29). Asidosis ringan sedang sistemik(pH>7.25) sebagian dapat ditoleransi oleh sebagian besar pasien. Lebih jauh lagi asidosis metabolik hiperkloremik yang terjadi melalui dinding usus, biasanya hanya bersifat sementara dan tergantung ada tidaknya stasis urin. Asidosis persisten atau berat membutuhkan terapi dengan sodium bikarbonat. Pengganti potasium mungkin dibutuhkan pada hipokalemia yang nyata. Apakah gangguan elektrolit juga muncul pada pengalihan urinari dengan metode lain? Prosedur pemakaian usus sebagai saluran pengganti (ileal atau kolon) lebih jarang terjadi asidosis metabolik hiperkloremik daripada metode yang menggunakan usus besar sebagai reservoir. Insiden terjadinya asidosis metabolik hiperkloremik mendekati 80% pada uterosigmoidostomi. Sebaliknya, teknik baru seperti Kock Pouch dan Indiana Pouch kelihatannya dihubungkan dengan sangat rendahnya insiden abnormalitas elektrolit postoperasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar