Jumat, 12 April 2013

Manajemen Cairan dan Transfusi

Manajemen Cairan dan Transfusi Konsep Kunci Meskipun waktu paruh intravaskuler larutan kristaloid antara 20-30 menit, sebagian besar larutan koloid memiliki waktu paruh intravascular antara 3 sampai 6 jam. Secara umum, pasien dengan nilai hematokrit normal sebaiknya hanya ditransfusi bila kehilangan darah lebih dari 10-20% volume darahnya. Kuncinya adalah kondisi medis pasien dan prosedur pembedahan. Reaksi transfusi tersering disebabkan oleh inkompabilitas ABO; antibodi-alamiah-didapat dapat bereaksi melawan antigen (asing) dari transfusi, mengaktifasi komplemen, dan menyebabkan hemolisis intravaskuler. Pada pasien yang teranestesi, suatu reaksi hemolisis akut bermanifestasi sebagai peningkatan suhu, takikardi tanpa penyebab yang lain, hipotensi, hemoglobinuria, dan perdarahan difus pada lapangan operasi. Transfusi produk darah yang mengandung leukosit tampak menjadi imunosupresif. Pasien yang imunocompromise dan imunosupresi (misal pada infant prematur dan resipien transplantasi organ) sangat rentan terhadap infeksi cytomegalovirus (CMV) yang berat melalui transfusi. Beberapa pasien seharusnya hanya menerima unit yang negative CMV. Penyebab perdarahan terbanyak setelah transfusi darah masif adalah trombositopenia dilusional. Hipokalsemia yang signifikan secara klinis, menyebabkan depresi kardial, tapi tidak terjadi pada kebanyakan pasien normal kecuali kecepatan transfusi lebih dari 1 U per 5 menit. Abnormalitas asam-basa konsisten terbanyak setelah transfusi darah masif adalah alkalosis metabolic postoperative. Semua pasien kecuali pasien yang menjalani operasi bedah minor memerlukan akses vena dan terapi cairan intravena. Beberapa pasien mebutuhkan transfusi darah ataupun komponen darah. Rumatan volume intravascular normal sangat penting dalam masa perioperatif. Anesthesiologist harus dapat menghitung volume intravascular secara akurat dan mengganti setiap cairan atau deficit elektrolit dan kehilangan yang akan terjadi. Kesalahan dalam mengganti cairan akan mengakibatkan morbiditas bahkan kematian. Evaluasi volume intravaskuler Evaluasi klinis dan pemeriksaan volume intravaskuler harus dapat dipercaya, karena pengukuran volume cairan kompartemen tidak dapat dihitung secara langsung. Volume intravaskuler dapat dihitung dengan pemeriksaan fisik maupun laboratoris atau dengan bantuan teknik pemantauan hemodinamik yang berpengalaman. Tanpa memperhatikan metode yang sering digunakan, evaluasi serial penting untuk menkonfirmasi impresi awal dan menentukan terapi cairan. Selain itu, sehasusnya modalitas komplementer atau modalitas yang lain, karena parameternya merupakan parameter tidak langsung, penghitungan volume yang tidak spesifik; kebenaran setiap parameter dapat salah, dan oleh karena itu, membahayakan. PEMERIKSAAN FISIK Pemeriksaan fisik merupakan pemeriksaan preoperative yang paling dapat dipercaya. Tanda yang tidak dapat dihitung untuk hipovolemia (Tabel 29-1) termasuk turgor kulit, hidrasi membran mukosa, kekuatan pulsasi perifer, denyut jantung istirahat dan tekanan darah dan perubahan (ortostatik) dari posisi supinasi ke posisi duduk atau berdiri, dan laju kecepatan urin. Sayangnya, kebanyakan obat yang digunakan saat anestesi, seperti pada efek fisiologis stress operasi, menghalangi tanda ini dan membuatnya sulit dipercaya pada periode segera postoperative. Pada masa intraoperatif, kekuatan pulsasi perifer (arteri radialis atau dorsalis pedis), laju kecepatan urin, dan tanda tidak langsung, seperti respon tekanan darah terhadap ventilasi tekanan positif dan vasodilatasi atau efek negative inotropik anestesi, sering digunakan. Edema pitting-presacral pada pasien tirah baring atau pretibial pada pasien rawat jalan-dan peningkatan laju urin merupakan tanda hipervolemia pada pasien dengan fungsi kardial, renal dan hepatik yang normal. Tanda lambat dari hipervolemia termasuk takikardi, pulmonary crackles, wheezing, sianosis, dan merah muda, sekresi pulmo yang berbusa. EVALUASI LABORATORIS Beberapa hasil pengukuran laboratorium telah digunakan untuk mengetahui volume intravaskuler dan perfusi jaringan yang adekuat. Hasil pengukuran laboratorium ini termasuk nilai hematokrit serial, pH darah arterial, berat jenis spesifik atau osmolalitas urin, konsentrasi natrium atau klorida urin, kadar natrium serum, dan kreatinin serum sampai nilai rasio urea nitrogen dalam darah (blood urea nitrogen/BUN). Hasil pengukuran ini hanya merupakan pengukuran secara tidak langsung dari volume intravaskuler dan seringkali tidak dapat dipercaya dalam masa intraoperatif karena hal tersebut dipengaruhi oleh berbagai variabel lain dan hasil yang didapatkan sering terlambat. Tanda-tanda dehidrasi secara laboratoris meliputi peningkatan hematokrit, kondisi asidosis metabolic yang progresif, berat jenis urin yang lebih besar dari 1,010; kadar natrium urin kurang dari 10 mEq/L, osmolalitas urin lebih dari 450 mOsm/kg, hipernatremia, dan rasio BUN-kreatinin lebih dari 10:1. Hanya tanda gambaran radiografi berupa peningkatan vaskularisasi pulmoner dan penanda intersisial (garis Kerly “B”) atau infiltrat alveoli difus yang dapat dipercaya sebagai pengukuran volume yang overload. PENGUKURAN HEMODINAMIK Pengawasan hemodinamik didiskusikan pada bab 6. Pengawasan tekanan vena sentral merupakan indikasi pada pasien dengan fungsi jantung dan paru yang normal pada keadaan status volume sulit dinilai atau diperiksa dengan rata-rata yang lain atau ketika diperlukan penanganan yang cepat atau utama. Pembacaan nilai tekanan vena sentral harus diinterpretasikan dalam suatu setting pandangan klinis. Nilai yang rendah (< 5 mm Hg) mungkin merupakan nilai normal sampai terdapat dengan tanda-tanda hipovolemik yang lain. Selain itu, respon terhadap bolus cairan (250 mL) sama pentingnya dengan: suatu peningkatan kecil (1-2 mm Hg) yang dapat mengindikasikan kebutuhan cairan lagi, di mana peningkatan yang besar (>5 mm Hg) menggambarkan kebutuhan kecepatan yang lebih lambat dari pemberian cairan dan reevaluasi status volume. Pembacaan tekanan vena sentral lebih dari 12 mm Hg menggambarkan suatu keadaan hipervolemia dengan ketiadaan disfungsi ventrikel kanan, peningkatan tekanan intratoraks, atau penyakit jantung restriktif. Tabel 29-1. Tanda-tanda kehilangan cairan (hipovolemia) Kehilangan cairan (Digambarkan dalam persentase berat badan) Tanda 5% 10% 15% Membran mukosa Kering Sangat kering Pecah-pecah (parched) Sensorium Normal Letargi Obtunded Perubahan ortostatik Tidak ada Ada Jelas Denyut jantung >15 kali per menit ↑ Tekanan darah >10 mm Hg ↓ Laju urin Sedikit menurun Menurun Jelas menurun Nadi Normal atau meningkat Meningkat >100 kali per menit Meningkat jelas >120 kali per menit Tekanan darah Normal Sedikit menurun dengan variasi respiratorik Menurun Pengawasan tekanan arteri pulmoner penting bila tekanan vena sentral tidak berkorelasi dengan hasil pemeriksaan klinis atau bila pasien memiliki disfungsi ventrikel primer atau sekunder; biasanya berkaitan dengan penyakit pulmoner atau penyakit ventrikel kiri, berturut-turut. Pembacaan nilai tekanan oklusi arteri pulmoner (pulmonary artery occlusion pressure/POAP) kurang dari 8 mm Hg menindikasikan adanya hipovolemia dengan konfirmasi tanda-tanda klinis; bagaimanapun nilai kurang dari 15 mm Hg mungkin berkaitan dengan hipovolemia relatif pada pasien dengan kompliansi ventricular yang jelek. Pengukuran nilai POAP lebih dari 18 mm Hg menggambarkan suatu peningkatan volume dan kelebihan volume ventrikel kiri. Keberadaan penyakit katup mitral (terutama stenosis mitral), stenosis aorta yang berat, atau miksoma atrium kiri atau trombus mengubah hubungan antara POAP dan volume akhir diastolic ventrikel kiri (lihat bab 6, 19, 20, dan 21). Peningkatan tekanan intratoraks dan tekanan jalan nafas pulmoner juga menggambarkan suatu kesalahan; konsekuensinya, semua pengukuran tekanan harus selalu diukur saat akhir ekspirasi dan diinterpretasikan dalam suatu konteks klinik. Teknik terbaru untuk mengukur volume ventricular dengan transesofageal ekokardiografi atau dengan radioisotope lebih akurat tapi saat ini belum digunakan secara luas. CAIRAN INTRAVENA Terapi cairan intravena terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau kombinasi keduanya. Larutan kristaloid merupakan suatu larutan aquous dengan berat molekul ion rendah (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan koloid merupakan suatu larutan dengan kandungan zat-zat dengan berat molekul yang besar seperti protein atau polimer glukosa yang besar. Larutan koloid mempertahankan tekanan onkotik plasma (lihat Bab 28) dan paling lama bertahan dalam intravaskuler, di mana larutan kristaloid akan cepat menjadi seimbang dan terdistribusi ke rongga ekstraseluler. Penggunaan koloid versus kristaloid bagi pasien bedah saat ini masih menjadi kontroversi. Para pndukung koloid beragurmen bahwa dengan mempertahankan tekanan onkotik plasma, koloid lebih efektif untuk mengisi volume intravaskuler normal dan kardiak output. Para pendukung kristaloid, di sisi yang lain, menyatakan bahwa larutan kristaloid dalam jumlah yang cukup sama efektifnya untuk mempertahankan volume intravaskuler. Pendapat bahwa koloid dapat meningkatkan edema pulmonum pada pasien dengan peningkatan permeabilitas kapiler pulmoner tidak ditemukan, karena tekanan onkotik intersisial pulmoner pararel denga plasma (lihat Bab 22). Beberapa generalisasi yang dapat disimpulkan adalah sebagai berikut: Kristaloid, bilamana diberikan dalam jumlah yang cukup, memiliki efektifitas yang sama dengan koloid dalam mengisi volume intravaskuler. Mengganti kekurangan volume intravaskuler dengan kristaloid secara umum membutuhkan tiga sampai emapt kali jumlah yang diperlukan dibandingkan dengan koloid. Kebanyakan pasien bedah memiliki defisit cairan ekstraseluler lebih banyak daripada defisit cairan intravaskuler. Defisit volume intravaskuler yang berat dapat dikoreksi dengan cepat dengan menggunakan cairan koloid. Pemberian kristaloid dalam jumlah besar (>4-5 L) dengan cepat memiliki frekuensi (yang berkaitan dengan) edema jaringan yang signifikan yang lebih besar. Beberapa bukti menunjukkan-tapi tidak membuktikan-bahwa jaringan yang mengalami edema dapat mengalami gangguan transport oksigen, penyembuhan jaringan, dan kembalinya fugsi usus setelah operasi mayor. LARUTAN KRISTALOID Kristaloid harus dianggap sebagai suatu cairan resuitasi awal pada pasien dengan perdarahan dan syok septik pada pasien dengan luka bakar, cedera kepala untuk mempertahankan tekanan perfusi serebral, dan pada pasien dengan plasmaparesis dan reseksi hepar. Jika 3-4 L kristaloid diberikan, dan respon hemodinamik innadekuat, koloid harus diberikan. Tersedia berbagai variasi larutan (Tabel 29-2). Larutan dipilih sesuai dengan tipe cairan yang hilang yang harus diganti. Untuk kehilangan cairan primer yang berhubungan dengan penggantian air dengan larutan hipotonik, disebut juga sebagai larutan tipe rumatan. Jika kehilangan cairan meliputi air dan elektrolit, disebut sebagai cairan tipe penganti. Glukosa tersedia dalam beberapa jenis larutan untuk mempertahankan tonisitas atau untuk mencegah ketosis dan hipoglikemia karena puasa. Anak-anak terbukti hipoglikemia (< 50 mg/dL) setelah menjalani 4 sampai 8 jam puasa. Wanita lebih cenderung mengalami hipoglikemia setelah menjalani puasa yang panjang (> 24 jam) daripada laki-laki. Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif merupakan cairan isotonik, umumnya digunakan larutan tipe pengganti. Cairan yang paling umum digunakan adalah carian Ringer’s Laktat. Meskipun cairan tersebut sedikit hipotonik, pemberian 100 mL cairan bebas per liter dan pemeliharaan natrium serum yang lebih rendah dari 130 mEq/L, larutan Ringer’s Laktat secara umum memiliki efek terhadap komposisi cairan ektraseluler dan merupakan larutan yang paling fisiologis ketika volume yang besar sangat diperlukan. Laktat dalam larutan ini akan dikonversi oleh hati menjadi bikarbonat. Ketika diberikan dalam jumlah yang besar, larutan salin normal akan menyebabkan asidosis hiperkloremik dilusional karena kandungan natrium dan kloridanya yang tinggi (154mEq/L): konsentrasi bikarbonat plasma menurun sedangkan konsentrasi klorida meningkat. Larutan salin normal lebih sering digunakan pada keadaan alkalosis metabolik hipokloremik dan untuk mengencerkan packed red blood cells pada transfusi. Dekstrosa lima persen dalam air (D5W) digunakan untuk mengganti defisit air murni dan sebagai cairan rumatan pada pasien dengan restriksi natrium. Larutan salin 3% hipertonus digunakan pada terapi hiponatremik simptomatik berat (lihat Bab 28). Tiga sampai 7,5% larutan salin disarankan untuk digunakan pada resuitasi pasien dengan syok hipovolemik. Larutan-larutan ini harus diberikan secara pelan (lebik baik melalui kateter vena sentral) karena larutan-larutan ini dapat menyebabkan hemolisis. LARUTAN KOLOID Aktifitas osmotik pada substansi dengan berat molekul yang besar pada koloid mempertahankan larutan ini berada dalam ruang intravaskuler. Meskipun waktu paruh intravaskuler larutan kristaloid 20-30 menit, kebanyakan larutan koloid memiliki waktu paruh intravaskuler 3 sampai 6 jam. Biaya yang diperlukan dan komplikasi yang terjadi sehubungan dengan pemeliharaan yang menggunakan larutan koloid meminimalisir penggunaannya. Secara umum indikasi penggunaan larutan koloid meliputi (1) resuitasi cairan pada pasien dengan defisit cairan intravaskuler yang berat (misal syok akibat perdarahan) sebelum adanya transfusi darah, dan (2) resuitasi cairan pada pasien dengan hipoalbuminemia berat atau kondisi dengan kehilangan protein dalam jumlah besar seperti pada pasien dengan luka bakar. Pada pasien dengan luka bakar, koloid sebaiknya juga dipertimbangkan pada cedera lebih dari 30% luas permukaan tubuh atau bila lebih dari 3-4 L kristaloid telah diberikan lebih dari 18-24 jam pasca cedera. Sebagian besar anak-anak juga menggunakan larutan koloid bersamaan dengan kristaloid bila penggantian cairan memerlukan lebih dari 3-4 L carian sebelum transfusi. Hal tersebut dengan catatan bahwa larutan-larutan ini telah disiapkan dalam bentuk salin normal (Cl-145-154 mEq/L) dan juga dapat menyebabkan asidosis metabolik huiperkloremik (sama dengan di atas). Beberapa larutan koloid umum digunakan. Semuanya merupakan turunan dari plasma protein atau glukosa polimer sintetik dan disediakan dalam bentuk larutan elektrolit isotonik. Darah-turunan koloid termasuk albumin (larutan 5% dan 25%) dan fraksi protein plasma (5%). Keduanya dipanaskan sampai 600C minimal selama 10 jam untuk meminimalisir resiko penularan hepatitis dan penyakit menular virus. Fraksi protein plasma mengandung globulin-α dan β sebagai tambahan pada albumin dan kadang menyebabkan reaksi hipotensif. Reaksi ini merupaklan reaksi alergi alamiah dan melibatkan aktifator prekalikrein. Koloid sintetik meliputi dextrose starch dan gelatins. Gelatins berhubungan dengan reaksi alergi yang dimediasi oleh histamin dan tidak tersedia di Amerika Serikat. Dekstran tersedia dalam sediaan dextran 70 (Macrodex) dan dextran 40 (Rheomacrodex), yang memiliki rata-rata berat molekul 70.000 dan 40.000. Meskipun dekstran 70 lebih baik sebagai plasma ekspander dibandingkan dengan dextran 40, dekstran 40 meningkatkan laju darah pada microsirkulasi, diduga dengan cara menurunkan viskositas darah. Efek antiplatelet juga telah dijelaskan terdapat pada dextran. Dextran juga dapat bersifat antigenik, dan baik reaksi anafilaktoid ringan atau berat dan reaksi anafilaktik juga telah disebutkan. Dextran 1 (Promit) dapat diberikan sebelum dextran 40 atau dextran 70 untuk mencegah reaksi anafilaktik yang berat, hal tersebut terjadi karena hapten berikatan dengan antibodi dextran apapun yang beredar. Hetastarch (hydoksietil starch) tersedia dalam larutan 6% dengan rata-rata berat molekul 450.000. Molekul yang kecil dieliminasi oleh ginjal, di mana molekul yang besar harus dipecah terlebih dahulu oleh amilase. Hetastarch jauh lebih efektif sebagai plasma ekspander dan tidak lebih mahal dari albumin. Dan lagi, hetastarch bersifat nonantigenik, dan jarang terjadi reaksi anafilaktoid. Studi koagulasi dan waktu perdarahan secara umum tidak signifikan setelah infus 0,5-1,0 L. Pasien dengan transplantasi ginjal yang menjadi lebih buruk setelah infus hetastarch masih kontroversial. Tidak jauh berbeda, masih terdapat kontroversi mengenai penggunaan hetastarch pada pasien dengan cardiopulmonary bypass. Pentastarch, larutan starch dengan berat molekul yang lebih rendah, lebih jarang menyebabkan reaksi yang merugikan dan mungkin akan mengganti kedudukan hetastarch. TERAPI CAIRAN PERIOPERATIF Terapi cairan perioperatif meliputi penggantian defisit cairan yang terjadi sebelumya, kehialngan normal (memerlukan rumatan), dan kehilangan karena luka pembedahan termasuk kehilanga darah. KEBUTUHAN RUMATAN NORMAL Tidak adanya intake oral, defisit cairan dan elektrolit dapat terjadi dengan cepat sebagai akibat dari pembentukan urin yang terus-menerus, sekresi gastrointestinal, pengeluaran keringat, dan kehilangan cairan yang tidak terlihat dari paru-paru dan kulit. Estimasi kebutuhan cairan rumatan normal dapat dilihat pada Tabel 29-3. Tabel 29-3. Estimasi kebutuhan1 cairan rumatan normal Berat badan Jumlah 10 kg pertama 4 mL/kg BB/jam 10-20 kg berikutnya Tambah 2mL/kg BB/jam Untuk setiap kg di atas 20 kg Tambah 1 mL/kg BB/jam 1Contoh: berapa kebutuhan cairan anak dengan berat badan 25 kg? Jawab: 40+20+5=65 mL/jam Tabel 29-2. Komposisi larutan kristaloid Larutan Toksisitas (mOsm/L) Na+ (mEq/L) Cl-(mEq/L) K+ (mEq/L) Ca2+ (mEq/L) Mg2+ (mEq/L) Glukosa (g/L) Laktat (mEq/L) HCO3- (mEq/L) Asetat (mEq/L) Glukonat (mEq/L) Dekstrosa 5% dalam air (D5W) Hipo (253) 50 Sali Norml (NS) Iso (308) 154 154 D5 ¼ NS Iso (355) 38,5 38,5 50 D5 ½ NS Hiper (432) 77 77 50 D5 NS Hiper (586) 154 154 50 Injeksi Ringer Laktat (RL) Iso (273) 130 109 4 3 28 D5RL Hiper (525) 130 109 4 3 50 28 ½ NS Hipo (154) 77 77 3% S Hiper (1026) 513 513 5% S Hiper (1710) 855 855 7,5% NaHCO3 Hiper (1786) 893 893 Plasmaliyte Iso (294) 140 98 5 3 27 23 KEHILANGAN CAIRAN SEBELUMNYA Pasien yang akan menjalani operasi, pada malam sebelumnya telah puasa tanpa asupan cairan sama sekali akan mengalami defisit cairan selama durante operasi. Jumlah defisit yang terjadi dapat diperkirakan dengan mengkalikan jumlah kebutuhan rumatan normal dengan lama puasa. Untuk orang dengan berat badan 70 kg yang menjalani puasa selama 8 jam, rata-rata jumlah defisit cairan yang terjadi (40+20+50) mL/jam x 8 jam, atau 880 mL. (Pada kenyataannya, defisit ini akan lebih kecil karena konservasi dari ginjal). Kehilangan cairan yang abnormal akan berpengaruh terhadap defisit pre-operatif. Perdarahan pre-operatif, muntah, diuresis, dan diare adalah kehilangan cairan yang sering berkontribusi. Kehilangan yang tersembunyi (distribusi nyata; lihat di bawah) seperti sekuestrasi cairan yang diakibatkan oleh trauma pada jaringan atau infeksi atau ascites merupakan kehilangan yang substansial. Peningkatan kehilangan cairan yang tidak terlihat diakibatkan oleh hiperventilasi, demam, dan berkeringat. Tabel 29-4. Komposisi elektolit cairan tubuh Cairan Na+ (mEq/L) K+ (mEq/L) Cl- (mEq/L) HCO3- (mEq/L) Keringat 30-50 5 45-55 Saliva 2-40 10-30 6-30 30 Cairan lambung Asiditas tinggi 10-30 5-40 80-150 Asiditas rendah 70-140 5-40 55-95 5-25 Sekresi pankreas 115-180 5 55-95 60-110 Sekresi empedu 130-160 5 90-120 30-40 Cairan illeum 40-135 5-30 20-90 20-30 Feses diare 20-160 10-40 30-120 30-50 KEHILANGAN CAIRAN SELAMA PEMBEDAHAN Kehilangan darah Salah satu tugas yang paling penting dan sulit bagi seorang anesthesiologist adalah melakukan pemantauan terus-menerus dan memperkirakan kehilangan darah. Meskipun hasil perkiraan jumlah kehilangan darah dikaburkan oleh perdarahan yang tersembunyi dari luka atau dari kain-kain pembedahan, ketepatan sangat penting untuk menentukan terapi cairan dan transfusi. Metode yang paling umum digunakan untuk memperkirakan jumlah kehilangan darah adalah dengan menghitung jumlah darah yang terkumpul di kontainer suction bedah dan melihat jumlah darah pada spons bedah dan alas laparotomi (“laps”). Sebuah spons bedah dapat menampung ± 10 mL darah, sedang sebuah “laps” dapat menampung 100-120 mL darah. Perkiraan yang lebih akurat adalah dengan menimbang spons dan laps sebelum dan sesudah digunakan (terutama pada prosedur pediatrik). Penggunaan larutan untuk irigasi menyulitkan perhitungan perkiraaan, tapi penggunaannya (larutan untuk irigasi) seharusnya dicatat dan beberapa usaha sebagai kompensasi. Hematokrit atau konsentrasi hemoglobin serial mencerminkan rasio sel-sel darah terhadap plasma, tidak terkecuali kehilangan darah; selain itu, pertukaran cairan yang cepat dan penggantian intravena mempengaruhi perhitungan. Hematokrit bermakna untuk prosedur yang lama atau ketika estimasi sulit dilakukan. Kehilangan cairan yang lain Banyak prosedur bedah yang sangat berkaitan dengan kehilangan cairan selain darah. Seperti kehilangan karena evaporasi dan redistribusi internal dari cairan tubuh. Kehilangan karena evaporasi merupakan kehilangan yang paling nyata pada luka yang besar dan permukaan yang secara langsung terbuka dan durasi proses pembedahan. Redistribusi cairan internal-sering disebut sebagai “ruang ketiga”-dapat menyebabkan pertukaran cairan yang masif dan deplesi intravascular yang berat. Jaringan yang mengalami trauma, inflamasi atau infeksi (seperti pada trauma luka bakar, cedera yang luas, diseksi pembedahan, atau peritonitis) dapat mengumpulkan cairan dalam jumlah besar pada rongga intersisial dan dapat mentranslokasikan cairan melewati permukaan serosa (ascites) atau ke dalam lumen usus. Akibatnya adalah peningkatan pasti komponen nonfungsional dari kompartemen ekstraseluler, cairan ini tidak dapat seimbang dengan sisa kompartemen. Perpindahan cairan ini tidak dapat dicegah dengan restriksi cairan dan pengeluaran cairan ekstraseluler fungsional dan kompartemen cairan intraseluler. Disfungsi seluler merupakan akibat dari hipoksia yang menyebabkan peningkatan volume cairan intraseluler, juga dapat mengeluarkan kompartemen ekstraseluler fungsional. Pada akhirnya, kehilangan cairan limfatik yang signifikan dapat terjadi saat diseksi retroperitoneal yang akstensif. PENGGANTIAN CAIRAN INTRAOPERATIF Terapi cairan intraoperatif seharusnya meliputi suplai kebutuhan cairan dasar dan penggantian deficit preoperative residual sebagaimana kehilangan intraoperatif (darah, redistribusi cairan, dan evaporasi). Pemilihan tipe larutan intravena tergantung pada prosedur operatif dan perkiraan kehilangan darah. Untuk prosedur dengan kehilangan darah minimal dan perpindahan cairan, larutan rumatan merupakan pilihan. Untuk semua prosedur yang lain, umumnya digunakan larutan Ringer Laktat atau cairan, meskipun hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumatan. Mengganti Kehilangan Darah Idealnya, kehilangan darah harus digantikan oleh larutan kristaloid atau koloid untuk mempertahankan volume intravaskuler (normovolemia) sampai anemia yang berbahaya memiliki lebih banyak keuntungan dibandingkan dengan resiko transfusi. Pada keadaan tersebut, kehilangan darah lebih lanjut akan digantikan oleh transfusi sel darah merah untuk mempertahankan konsentrasi hemoglobin (atau hematokrit) pada level tersebut. Untuk kebanyakan pasien, nilai korespondensi untuk hemoglobin antara 7 sampai 8 g/dL (atau hematokrit 21-24%). Konsentrasi hemoglobin di bawah 7 g/dL, kardiak output istirahat meningkat untuk mempertahankan pengantaran oksigen yang normal. Umumnya digunakan kadar 10 g/dL untuk pasien yang lebih tua dan pada pasien dengan penyakit jantung atau pulmoner yang signifikan. Batas yang lebih tinggi dapat digunakan bila terdapat perdarahan cepat yang berlangsung terus-menerus. Pada prakteknya, sebagian besar klinisi memberikan larutan Ringer Laktat tiga sampai empat kali volume darah yang hilang, atau koloid dengan perbandingan 1:1, sampai saat untuk transfusi. Pada saat itu, darah digantikan unit per unit sebanyak jumlah darah yang hilang, dengan packed red blood cells. Tabel.29-5. Rata-rata volume darah Umur Volume darah Neonatus Prematur Aterm 95 mL/kg 85 mL/kg Infant 80 mL/kg Dewasa Laki-laki Wanita 75 mL/kg 65 mL/kg Saat untuk transfusi dapat ditentukan pada saat preoperative dari nilai hematokrit dan estimasi volume darah (Tabel 29-5). Pasien dengan nilai hematokrit normal umumnya hanya boleh ditransfusi bila kehilangan darah lebih dari 10-20% volume darahnya. Saat yang tepat berdasarkan pada kondisi medis pasien dan prosedur pembedahan. Jumlah kehilangan darah bila hematokrit turun sampai 30% dapat dihitung dengan cara sebagai berikut: Perkirakan volume darah dari Tabel 29-5. Perkirakan volume sel darah merah (VSDM) dari hematokrit preoperative (VSDMpreop). Perkirakan VSDM pada hematokrit 30% (VSDM30%) yang mengasumsikan volume darah VSDMhilang = VSDMpreop – VSDM30%. Kehilangan darah yang dibolehkan = VSDMhilang x 3 CONTOH Seorang perempuan dengan berat badan 85 kg memiliki nilai hematokrit preoperative 35%. Berapa banyak darah yang hilang bila nilai hematokritnya mencapai nilai 30%? Perkiraan volume darah = 65 mL.kg x 85 kg = 5525 mL VSDM35% = 5525 x 35% = 1934 mL VSDM30% = 5525 x 30% = 1658 mL Kehilangan sel darah merah pada 30% = 193 – 1658 = 276 mL Kehilangan darah yang dibolehkan = 3 x 276 mL = 828 mL. Sampai saat itu, transfusi hanya boleh dipertimbangkan bila kehilangan darah pada pasien ini lebih dari 800 mL. Peningkatan transfusi tidak direkomendasikan sampai nilai hematokrit 24% (hemoglobin < 8 g/dL), tapi bila diperlukan pada jumlah kehilangan darah tertentu dan kondisi komormid, misal, penyakit jantung di mana transfusi dapat diindikasikan hanya bila terdapat perdarahan sebanyak 800 mL. Tabel 29-6. Cairan yang hilang saat pembedahan akibat redistribusi dan evaporasi Derajat Trauma Jaringan Kebutuhan Cairan Tambahan Minimal (misal hernioraphy) 0-2 mL/kg Moderat (misal kolesistektomi) 2- 4 mL/kg Berat (misal reseksi usus) 4-8 mL/kg Pedoman lain yang umum digunakan dan bermanfaat adalah: (1) satu unit sel darah merah akan meningkatkan 1 g/dL hemoglobin dan 2-3% hematokrit (pada dewasa); dan (2) transfusi 10 mL/kg sel darah merah akan meningkatkan konsentrasi hemoglobin 3 g/dL dan hematokrit 10%. Mengganti Cairan yang Hilang karena Reditribusi Cairan dan Evaporasi Karena kehilangan cairan berhubungan langsung dengan ukuran luka dan diseksi pembedahan yang luas dan manipulasi pembedahan, prosedur dapat diklasifikasikan berdasarkan derajat trauma jaringan. Kehilangan cairan tambahan ini dapat dilihat pada Tabel 29-6, trauma jaringan minimal, moderat atau berat. Nilai-nilai ini hanya merupakan panduan, dan kebutuhan yang sebenarnya bervariasi antara satu pasien dengan pasien yang lainnya. TRANSFUSI KELOMPOK DARAH Membran sel darah merah manusia diperkirakan memiliki paling sedikit 300 determinan antigenik yang berbeda. Sedikitnya terdapat 20 sistem penggolongan antigen darah yang terpisah yang diketahui; ekspresi setiap antigen tersebut di bawah kendali genetic dari lokus kromosom yang terpisah. Untungnya, hanya sistem ABO dan Rh yang penting dalam transfusi darah mayor. Setiap individu memproduksi antibody (alloantibodi) untuk alel yang tidak mereka miliki pada setiap system. Seperti antibody yang bertanggung jawab untuk reaksi transfusi yang serius. Antibodi dapat terbentuk secara “alamiah” atau sebagai respon atas sensitisasi dari transfusi sebelumnya atau kehamilan. Sistem ABO Secara sederhana, lokus kromososm untuk system ini menghasilkan dua alel: A dan B. Masing-masing merepresentasikan suatu enzim yang dapat mengubah permukaan glikoprotein sel, membentuk suatu antigen yang berbeda. (Pada kenyataannya, terdapat berbagai varian A dan B) Kebanyakan semua individu yang tidak memiliki A atau B secara “alamiah” memproduksi antibody (terutama immunoglobulin M (IgM) untuk melawan antigen-antigen tersebut (Tabel 29-7) pada tahun pertama kehidupan. Antigen H adalah prekursor structural dari system ABO tapi dihasilkan oleh lokus kromosom yang berbeda. Tidak adanya antigen H (genotip hh, disebut juga sebagai fenotip Bombay) mencegah ekspresi gen A dan B; individu dengan keadaan yang sangat jarang ini akan memiliki antibody anti-A, anti-B, dan anti-H. Sistem Rh Sistem Rh dikodekan oleh dua gen yang berada pada kromosom 1. Terdapat sekitar 46 antigen terkait Rh, namun pada kebanyakan keadaan klinis, terdapat lima antigen utama (D, C, c, E dan e) dan mereka sesuai dengan jumlah antibody untuk banyak jaringan yang meliputi system Rh. Secara sederhana, hanya kehadiran atau ketiadaan alel yang paling umum dan paling imunologik, antigen D, yang menentukan. Hampir 80-85% populasi orang kulit putih memiliki antigen D. Individu yang tidak memiliki alel ini disebut sebagai Rh-negatif dan biasanya membentuk antibody yang melawan antigen D hanya bila sebelumnya telah terpapar (Rh-positif) dari transfusi atau kehamilan (ibu Rh-negatif melahirkan seorang bayi Rh-positif). Sistem lain Sistem yang lain termasuk antigen Lewis, P, Ii, MNS, Kidd, Kell, Duffy, Lutheran, Xg, Sid, Carrtright, YK, dan Chido Rodgers. Untungnya, dengan beberapa pengecualian (Kell, Kidd, Duffy, dan S), aloantibodi yang melawan system ini jarang menimbulkan reaksi hemolisis yang serius. TES KOMPABILITAS Tujuan tes kompabilitas adalah untuk memprediksikan dan untuk mencegah reaksi antigen-antibodi akibat transfusi sel darah merah. Darah donor dan resipien ditentukan tipenya dan dicek apakah terdapat antibody yang tidak cocok. Tabel 29-7. Pengelompokan darah ABO Tipe Antibodi yang terjadi secara alamiah di dalam serum Insidens1 A Anti-A 45% B Anti-B 8% AB - 4% O Anti-A, Anti-B 43% 1Jumlah berdasarkan orang-orang keturunan Eropa barat Tes ABO-Rh Reaksi transfusi yang paling berat adalah karena inkompabilitas ABO; antibody didapat secara alami dapat bereaksi melawan antigen (asing) yang ditransfusikan, mengaktifasi komplemen, dan menyebabkan hemolisis intravaskular. Sel darah merah pasien dites dengan serum yang diketahui memiliki antibody yang melawan A dan B untuk menentukan golongan darah. Karena kebanyakan prevalensi universal dari antibodi alami ABO, konfirmasi golongan darah kemudian dibuat dari tes serum pasien yang melawan sel darah merah dengan tipe antigen yang diketahui. Sel darah merah pasien juga dites dengan antibody anti-D untuk menentukan Rh. Bila subjek adalah Rh-negatif, adanya antibody anti-D dicek dengan mencampur serum pasien melawan sel darah merah Rh-positif. Probabilitas terbentuknya antibody anti-D setelah paparan pertama terhadap antigen Rh adalah 50-70%. Crossmatching Suatu crossmatch menyerupai transfusi: sel donor dicampur dengan serum resipien. Crossmatching memiliki tiga fungsi: (1) mengkonfirmasi tipe ABO dan Rh (kurang dari 5 menit), (2) mendeteksi adanya antibody terhadap system grup darah yang lain, dan (3) mendeteksi antibody pada titer yang rendah atau yang tidak meng-aglutinasi dengan mudah. Dua yang terakhir memerlukan waktu paling sedikit 45 menit. Skrining Antibodi Tujuan tes ini adalah untuk mendeteksi adanya antibody dalam serum yang paling sering berkaitan dengan reaksi hemolitik non-ABO. Tes ini (disebut juga sebagai tes Coombs indirek) membutuhkan waktu 45 termasuk mencampur serum subjek dengan sel darah merah yang diketahui komposisi antigeniknya; bila terdapat antibody yang spesifik, mereka akan membungkus membran sel darah merah, dan penambahan suatu antibody anti-globulin akan menyebabkan anglutinasi sel darah merah. Skrining secara rutin dilakukan pada semua donor darah dan mungkin dilakukan pada resipien yang potensial dari crossmatch (lihat bawah). Tipe dan Crossmatch versus Tipe dan Skrining Insidens reaksi hemolisis yang serius setelah transfusi ABO dan Rh yang kompatibel dengan skrining negative tapi tanpa crossmatch kurang dari 1%. Crossmatch, bagaimanapun, menjamin keamanan yang optimal dan mendeteksi adanya antibody yang jarang yang tidak selalu dites melalui skrining. Crossmatch saat ini hanya dilakukan pada prosedur operasi elektif dengan probalibilitas transfusi yang tinggi. Karena waktu yang diperlukan, (45 menit) jika kedua penggolongan sebelumnya dan prosedur skrining telah didokumentasikan, beberapa pusat telah memulai computer cossmatching –tidak terdapat crossmatch yang terkinil. Jadwal Maksimum Permintaan Darah untuk Pembedahan Sebagian besar rumah sakit memiliki daftar yang paling sering digunakan untuk operasi dan jumlah maksimal unit yang dapat dilakukan crossmatch preoperatif. Seperti pencegahan yang tidak perlu, crossmatch darah yang berlebihan. Daftar biasanya dibuat berdasarkan pengalaman institusi masing-masing. Suatu crossmatch-untuk-transfusi dengan rasio kurang dari 2,5:1 dapat diterima. Hanya satu penggolongan dan skrining yang dilakukan bila insidens transfusi pada prosedur tersebut kurang dari 10%. Jika diperlukan transfusi, dilakukan crossmatch. Crossmatch boleh diakukan pada pasien dengan anemia dan pasien dengan penyakit koagualusi. TRANSFUSI EMERGENSI Ketika seorang pasien tidak ada harapan, kebutuhan transfusi meningkat sebelum melengkapi pemeriksaan crossmatch, skrining, atau bahkan golongan darah. Jika golongan darah pasien telah diketahui crossmatch yang dipersingkat, memerlukan waktu kurang dari 5 menit kemudian dikonfirmasi dengan tes kompabilitas ABO. Jika golongan darah pasien tidak diketahui dengan pasti dan transfusi harus segera diberikan, golongan darah Rh-negatif (donor universal) dapat digunakan. PRAKTIK BANK DARAH Darah donor telah dilakukan skrining untuk menyingkirkan kondisi medis yang mungkin dapat menimbulkan efek merugikan bagi donor maupun resipien. Nilai hematokrit telah ditentukan, dan jika lebih besar dari 37% untuk donor alogenik atau 32% untuk donor autolog diambil, digolongkan, dilakukan skrining untuk antibody dan dilakukan tes untuk hepatitis B, hepatitis C, sifilis, human T cell leukemia virus-1 (HTLV-1) dan HTLV-2, dan human immunodeficiency virus (HIV)-1 dan HIV-2. Sebagian besar pusat melakukan tes asam nukleat RNA virus untuk mendeteksi hepatits B, hepatitis C dan virus HIV, dan saat ini sedang dikembangkan tes untuk mendeteksi virus West Nile. Ada beberapa tes sensitifitas yang ekstrim, dan tes tersebut harus dipersempit bahkan lebih jauh rentang virus positif tapi hasil tes negative. Setelah darah diambil, ditambahkan suatu larutan antikoagulan-preservatif. Larutan yang paling umum digunakan adalah CPDA-1, yang mengandung sitrat sebagai antikoagulan (yang mengikat kalsium), fosfat sebagai buffer, dekstrosa sebagai sumber energy sel, dan adenosine sebagai precursor untuk sintesis adenosine tri fosfat (ATP). CPDA-1 dapat digunakan untuk menyimpan darah selama 35 hari, setelah viabilitas sel darah merah menurun dengan cepat. Pilihan lain, menggunakan AS-1 (Adsol) atau AS-3 (Nutricol) dapat memperpanjang waktu hingga 6 minggu. Semua unit yang diambil dipisahkan sesuai komponen masing-masing, sesuai namanya, sel darah merah, platelet, dan plasma. Ketika dipusingkan, satu unit darah akan menghasilkan sekitar 250 mL packed red cells (hematokrit 70%); dengan penambahan larutan normal salin bahan pengawet, volme sebuah unit packed red cells dapat mencapai 350 mL. Sel darah merah normalnya disimpan pada suhu 1-60C. Sel darah merah dapat dibekukan dalam larutan gliserol hipertonis sampai 10 tahun. Teknik tersebut sering digunakan untuk penyimpanan darah dengan fenotip yang jarang. Supernatan dipusingkan untuk mendapatkan platelet dan plasma. Unit platelet mengandung 50-70 mL plasma dan dapat disimpan pada 20-240C untuk 5 hari. Supernatan plasma harus diproses lebih lanjut dan dibekukan untuk fresh frozen plasma; pembekuan yang cepat mencegah inaktifasi factor-faktor koagulasi yang labil (V dan VIII). Pencairan yang lambat dari fresh frozen plasma menghasilkan suatu presipitat gelatin (kriopresipitat) yang mengandung Faktor VIII dan fibrinogen dalam konsentrasi tinggi. Setelah dipisahkan, kriopresipitat ini dapat dibekukan untuk penyimpanan. Satu unit darah menghasilkan kurang lebih 200 mL plasma, yang dibekukan untuk penyimpanan; setelah pencairan, harus ditransfusikan dalam 24 jam. Platelet dapat diperoleh dengan cara lain seperti plateletferesis otomatis, yang kandungannya ekuivalen dengan 6 unit regular dari seorang pasien. PRAKTEK TRANSFUSI INTRAOPERATIF Packed Red Blood Cells Transfusi darah sebaiknya diberikan dalam bentuk packed red cells, yang memungkinkan utilisasi optimal sumber bank darah. Packed red cells ideal untuk pasien yang memerlukan sel darah merah tapi tidak memerlukan penggantian volume (misal pada pasien dengan anemia dengan gagal jantung kongestif kompensatif). Pasien bedah membutuhkan volume seperti membutuhkan sel darah merah; kristaloid dapat diberikan (lewat infus) secara simultan melalui jalur intravena yang lain untuk penggantian volume. Sebelum transfusi, seharusnya slip bank darah setiap unit dan gelang identitas pasien diperiksa dengan hati-hati. Tubing transfusi sebaiknya mengandung filter 170-µm untuk menyaring bekuan atau debris. Ukuran serupa digunakan untuk menyaring leukosit untuk mencegah demam karena reaksi transfusi pada pasien yang tersentisisasi (lihat di bawah). Darah untuk transfusi intraoperatif sebaiknya dihangatkan terlebih dahulu sampai 370C selama transfusi, terutama jika lebih dari 2-3 unit akan ditransfusikan; kegagalan untuk melakukan hal tersebut dapat menyebabkan hipotermia yang berat. Efek lain hipotermia dan kadar 2,3-difosfogliserat (2,3-DPG) yang rendah pada darah yang disimpan dapat menyebabkan pergeseran ke kiri kurva disosiasi hemoglobin-oksigen (lihat Bab 22) dan, secara teoritis, menyebabkan hipoksia jaringan. Penghangat darah sebaiknya digunakan untuk mempertahankan suhu darah > 300C meskipun laju transfusi mencapai 150 mL/menit. Fresh Frozen Plasma Fresh frozen plasma (FFP) mengandung semua protein plasma, termasuk semua factor pembekuan darah. Transfusi FFP diindikasikan pada terapi defisiensi factor tertentu, terapi reversal warfarin, dan koreksi koagulopati yang berhubungan dengan penyakit hati. Setiap unit FFP secara umum meningkatkan kadar factor pembekuan 2-3% pada pasien dewasa. Dosis terapi awal biasanya 10-15 mL/kg. Target terapi adalah 30% konsentrasi factor koagulasi normal. FFP juga dapat digunakan pada pasien yang menerima transfusi darah masif (lihat bawah) dan pasien dengan perdarahan yang terus-menerus yang memerlukan transfusi platelet. Pasien dengan defisiensi antitrombin III atau trombotik trombositopenia purpura juga dapat diberikan transfusi FFP. Setiap unit FFP memiliki resiko infeksi yang sama dengan whole blood. Sebagai tambahan, kadang pasien dapat tersensitisasi oleh plasma protein. Unit ABO-yang kompatibel secara umum seharusnya diberikan tapi tidak diperintahkan. Sama dengan sel darah merah, FFP harus diberikan setelah dihangatkan sampai 370C sebelum transfusi. Platelet Transfusi platelet seharusnya diberikan pada pasien dengan trombositopenia atau dengan disfungsi platelet dengan perdarahan. Transfusi platelet profilaksis juga diindikasikan pada pasien dengan jumlah platelet 10.000-20.000 x 109/L karena meningkatkan resiko perdarahan spontan. Jumlah platelet kurang dari 50.000 x 109/L berhubungan dengan peningkatan resiko kehilangan darah selama operasi. Pasien dengan trombositopenia yang menjalani prosedur pembedahan yang invasive sebaiknya mendapatkan transfusi platelet profilaksis preoperative untuk meningkatkan jumlah platelet hingga mendekati jumlah 100.000 x 109/L. Setiap unit platelet diharapkan dapat meningkatkan jumlah 10.000-20.000 x 109/L. Kandungan unit plateletpharesis sama dengan kandungan enam regular, donor unit tunggal (di atas). Peningkatan yang lebih rendah dapat diharapkan pada pasien dengan riwayat transfusi platelet sebelumnya. Disfungsi platelet juga dapat meningkatkan perdarahan karena pembedahan meskipun jumlah platelet normal dan dapat didiagnosa preoperative dengan menghitung waktu perdarahan. Transfusi platelet juga dapat diindikasikan pada pasien dengan disfungsi platelet dan peningkatan perdarahan karena pembedahan. Tanfusi platelet dengan ABO-kompatibel dapat dipertimbangkan tapi tidak diperlukan. Platelet yang ditransfusi umumnya hanya bertahan 1-7 hari setelah transfusi. Kompabilitas ABO dapat meningkatkan daya tahan platelet. Sensitisasi Rh dapat terjadi pada resipien Rh-negatif sehubungan dengan adanya beberapa sel darah merah pada unit platelet Rh-postif. Selain itu, antibody anti-A atau anti-B dalam 70 mL plasma dalam setiap unit platelet dapat menyebabkan reaksi hemolitik melawan sel darah merah resipien ketika unit platelet dengan inkompabilitas ABO dalam jumlah besar diberikan. Pemberian imunoglobuin Rh pada individu Rh-negatif dapat memberikan perlindungan terhadap sensitisasi Rh setelah transfusi platelet Rh-positif. Pasien yang membentuk antibody melawan antigen HLA (dipresentasikan pada limfosit dalam konsentrat platelet) atau antigen platelet spesifik yang memerlukan kompabilitas HLA atau unit donor tunggal. Penggunaan plateletpharesis dapat menurunkan sensititisasi. Transfusi granulosit Transfusi granulosit, diperoleh dari leukopheresis, dapat diindikasikan pada pasien dengan neutropenia dengan infeksi bacterial yang tidak respon terhadap antibiotic. Granulosit yang ditransfusikan memiliki waktu beredar yang sangat pendek, sehingga transfusi 106 granulosit harian sering dilakukan. Iradiasi unit ini akan menurunkan insidens reaksi jaringan-versus-pejamu, kerusakan endotel pulmonum, dan masalah lain yang terkait dengan transfusi leukosit (lihat bawah), tapi dapat mempengaruhi fungsi granulosit yang merugikan. Kemampuan filgastrim (granlosit colony-stimulating factor, atau G-CSF) dan sagramostim (granulocyte-macrophage colony-stimulating factor, atau GM-CSF) telah banyak berkurang pada penggunaan transfusi granulosit. KOMPLIKASI TRANSFUSI DARAH KOMPLIKASI IMUNOLOGIS Komplikasi imunologis setelah transfusi secara primer merupakan hasil dari sensitisasi resipien oleh sel darah merah donor, sel darah putih, platelet, atau protein plasma. Jarang sel-sel atau serum yang ditransfusikan menyebabkan respon imun melawan resipien. Reaksi hemolitik Reaksi hemolitik biasanya meliputi destruksi spesifik sel-sel darah merah yang ditransfusikan oleh antibody resipien. Atau, yang lebih jarang, hemolisis sel darah merah resipien terjadi sebagai akibat dari antibody sel darah merah yang berasal dari transfusi. Unit konsentrat platelet, FFP, konsentrat factor-faktor koagulasi, atau kriopresipitat yang inkompatibel dapat mengandung sejumlah kecil alloantibody anti-A atau anti-B (atau keduanya). Transfusi dalam jumlah unit yang besar dapat menyebabkan hemolisis intravaskuler. Reaksi hemolitik secara umum dapat diklasifikasikan ke dalam reaksi akut (intravaskuler) atau lambat (ekstravaskuler). Reaksi Hemolitik Akut Hemolisis intravaskuler biasanya terjadi sehubungan dengan inkompabilitas ABO dan dilaporkan frekuensinya dalam transfusi mendekati 1:38.000. Penyebab yang paling umum adalah misidentifikasi pasien, specimen darah, atau unit transfusi. Reaksi ini biasanya berat. Resiko reaksi hemolitik yang fatal kurang lebih 1 dalam 100.000 transfusi. Pada pasien yang sadar, gejala meliputi menggigil, demam, mual, dan nyeri dada serta nyeri di daerah pinggang. Pada pasien yang teranestesi, manifestasi suatu reaksi hemolitik akut berupa peningkatan suhu, takikardia, hipotensi, hemoglobinuria yang tidak dapat dijelaskan sebabnya, dan menimbulkan perdarahan di lapangan operasi. Koagulasi intravaskuler diseminata, syok, dan gagal ginjal dapat berkembang secara cepat. Kegawatan reaksi seringkali tergantung pada berapa banyak darah inkompatibel yang diberikan. Gejala yang berat dapat terjadi seteah pemberian infuse 10-15 mL darah yang inkompaibel. Manajemen reaksi hemolitik dapat dirangkum sebagai berikut: Ketika terdapat suspek reaksi hemolitik (meski hanya satu kali), transfusi harus segera dihentikan. Slip unit darah dan gelang identitas pasien harus dicek ulang. Darah harus diambil untuk mengidentifiaksi hemoglobin dalam plasma, mengulang tes kompabilitas, dan menentukan studi koagulasi dan jumlah platelet. Sebuah kateter urin harus dimasukkan, dan kadar hemoglobin urin harus dicek. Diuresis osmotic dengan manitol dan cairan intravena harus segera dimulai Pada keadaan kehilangan darah yang cepat, platelet dan FFP merupakan indikasi. Reaksi Hemolitik Lambat Suatu reaksi hemolitik yang lambat-disebut juga sebagai hemolisis ekstravaskler-umumnya ringan dan disebabkan oleh antibodi terhadap antigen non-D system Rh atau terhadap alel asing dari system lain seperti antigen Kell, Duffy, atau Kidd. Mengikuti suatu transfusi ABO dan Rh-D yang kompatibel, pasien memiliki kemungkinan 1-1,6% untuk membentuk antibody yang melawan antigen asing pada system yang lain. Seiring berjalannya waktu jumlah antibody yang telah dibentuk menjadi signifikan (dalam beberapa minggu atau beberapa bulan), sel darah merah yang ditransfusikan akan dibersihkan dari sirkulasi. Kemudian setelah itu, titer antibody akan menurun dan menjadi tidak terdeteksi. Paparan kembali dengan antigen yang sama selama transfusi sel darah merah berikutnya, bagaimanapun, akan memicu suatu respon antibody secara anamnestik yang melawan antigen asing. Fenomena ini tampak lebih nyata pada system antigen Kidd. Reaksi hemolitik dapat terjadi 2-21 hari setelah transfusi, dan gejala tersebut biasanya ringan, seperti malaise yang menetap, ikterik, dan demam. Hematokrit pasien secara khas jatuh atau meningkat pada transfusi dan tidak terdapat perdarahan. Bilirubin yang tidak terkonjugasi dalam serum merupakan hasil pemecahan hemoglobin. Diagnosis reaksi hemolitik lambat yang dimediasi antibody dapat difasilitasi oleh tes antiglobulin (Coombs). Tes Coombs direk mendeteksi adanya antibody pada membran sel darah merah. Pada keaadaan ini, bagaimanapun, tes tidak dapat membedakan antara antibody resipien yang membungkus sel darah merah donor dan antibody donor yang membungkus sel darah merah resipien. Hal ini membutuhkan suatu pemeriksaan ulang specimen pretransfusi yang detil dari donor dan resipien. Penatalaksaan reaksi hemolitik lambat adalah terapi suportif. Frekuensi reaksi hemolitik lambat diperkirakan mencapai 1:12.000 transfusi. Kehamilan (paparan terhadap sel darah merah fetus) juga dapat bertanggung jawab terhadap pembentukan aloantibodi terhadap sel darah merah. Reaksi Imun Nonhemolitik Reaksi Imun Nonhemolitik merupakan sensitisasi resipien terhadap sel darah putih, platelet, atau protein plasma donor. Reaksi demam Sensitisasi sel darah putih atau platelet memiliki manifestasi yang khas berupa suatu reaksi demam. Beberapa reaksi yang relatif sering muncul (1-3% dari episode transfusi) dan diketahui dengan peningkatan suhu tanpa bukti adanya hemolisis. Pasien dengan riwayat reaksi demam yang berulang harus hanya mendapatkan transfusi sel darah merah yang miskin leukosit. Transfusi sel darah merah dapat dibuat menjadi miskin leukosit dengan cara pemusingan, filtrasi, atau teknik pembekuan yang lambat. Reaksi urtikarial Reaksi urtikarial biasanya ditandai dengan eritema, gatal-gatal dengan bintik merah yang bengkak, dan gatal tanpa demam. Reaksi ini relatif sering (1% transfusi) dan dianggap merupakan sensitisasi pasien terhadap protein plasma yang ditransfusikan. Reaksi urtikarial dapat ditangani dengan obat antihistamin (H1 dan mungkin H2 bloker) dan steroid. Reaksi anafilaktik Reaksi anafilaktik jarang terjadi (mendekati 1 dalam 150.000 transfusi). Reaksi yang berat ini dapat terjadi meski hanya setelah beberapa milliliter darah diberikan, terutama pada pasien defisiensi Ig-A dengan antbodi anti-IgA yang menerima transfusi darah yang mengandung Ig-A. Prevalensi defisiensi IgA diperkirakan mendekati 1:6.000-8.000 pada populasi umum. Beberapa reaksi memerlukan terapi dengan epinefrin, cairan, kortikosteroid, dan H1 dan H2 bloker. Pasien dengan defisiensi IgA harus menerima washed unit packed red cells, deglyserolized frozen red cells, atau darah yang bebas IgA. Edema Pulmoner Nonkardiogenik Suatu sindrom trauma akut paru (Transfusion-Related Acute Lung Injury [TRALI]) merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada transfusi darah (<1:10.000). Hal tersebut berkaitan dengan transfusi antileukosit atau antibody anti-HLA yang berinteraksi dengan sel darah putih pasien dan menyebabkan agregasi sel darah putih pasien pada sirkulasi pulmoner. Kerusakan membran alveoli/kapiler memacu sindrom tersebut. Atau dengan cara lain, transfusi sel darah putih dapat berinteraksi dengan leukoaglutinin pasien. Terapi awal pada TRALI mirip dengan penanganan pada sindroma distress respirasi akut (ARDS) (lihat Bab 49), tapi dapat teratasi dalam 12-48 jam dengan terapi suportif. Penyakit Jaringan-Versus-Pejamu Tipe reaksi ini dapat terlihat pada pasien yang imunokompromise. Produk-produk sel darah mengandung limfosit yang mampu menimbulkan respon imun pada pejamu yang compromise. Penggunaan filter leukosit khusus tidak dapat mencegah penyakit jaringan-versus-pejamu, iradiasi (1500-3000 cGy) pada transfusi sel darah merah, granulosit, dan platelet mengaktifasi limfosit secara efektif tanpa mencegah efikasi transfusi. Purpura Posttransfusi Trombositopenia yang berat jarang terjadi setelah transfusi dan berkaitan dengan pembentukan aloantibodi platelet. Untuk alasan yang tidak diketahui, antibody ini juga menghancurkan platelet pasien sendiri. Jumlah platelet menurun secara khas dengan cepat satu minggu setelah transfusi. Umumnya direkomendasikan plasmaferesis. Supresi imun Transfusi produk darah mengandung leukosit imunosupresif. Hal ini sangat jelas pada resipien transplastasi ginjal, yang menerima transfusi darah preoperative menunjukkan peningkatan penerimaan jaringan. Beberapa studi menunjukkan rekurensi pertumbuhan maligna lebih mungkin terjadi pada pasien yang menerima transfusi darah selama operasi. Bukti-bukti juga menunjukkan bahwa transfusi leukosit allogenik dapat mengaktifasi virus laten pada resipien. Terakhir, transfusi darah dapat meningkatkan insiden infeksi serius setelah pembedahan atau trauma. KOMPLIKASI INFEKSI Infeksi Viral HEPATITIS Sampai tes rutin untuk virus hepatitis dilakukan, insidensi hepatitis setelah transfusi darah 7-10%. Sedikitnya 90% dari kasus ini merupakan virus hepatitis C. Insidens hepatitis posttransfusi berkisar antara 1:63.000 sampai 1:1.600.000; 75% dari kasus ini anikterik, dan paling sedikit 50% berkembang menjadi penyakit hepar kronis. Selain itu, dari kelompok yang terakhir ini, paling sedikit 10-20% berkembang menjadi sirosis. ACQUIRED IMMUNODEFICIENCY SYNDROME (AIDS) Virus yang bertanggungjawab untuk penyakit ini adalah, HIV-1, menular melalui transfusi darah. Semua darah dilakukan tes untuk mengetahui ada atau tidaknya antibody HIV-1 dan HIV-2. Permintaan tes asam nukleat oleh Food and Drug Administration (FDA) mempersempit jendela hingga kurang dari satu minggu dan menurunkan resiko penularan HIV melalui transfusi sampai 1:1.900.000 transfusi. INFEKSI VIRAL YANG LAIN Cytomegalovirus (CMV) dan Eipstein-Barr virus biasanya menyebabkan kesakitan yang asimptomatik atau sistemik ringan. Sayangnya, pada beberapa individu dapat berkembang menjadi karier infeksius yang asimptomatik; sel darah putih dalam unit darah dari donor memiliki kemampuan untuk menularkan kedua virus tersebut. Pada pasien yang imunokopromise dan imunosupresif (misal pada infant premature dan resipien transplantasi organ) sangat suseptibel terhadap infeksi CMV yang berat melalui transfusi. Idealnya, beberapa pasien hanya boleh menerima unit CMV-negatif. Bagaimanapun, studi terkini megindikasikan bahwa resiko transmisi CMV melalui transfusi produk darah dengan pengurangan leukosit sebanding dengan unit CMV-negatif. Oleh karena itu, memberikan unit dengan leukosit yang dikurangi secara klinis tepat untuk pasien seperti itu. Human T cell lymfhotropic viruses I dan II (HTLV-1 dan HTLV-2) merupakan virus leukemia dan limfoma, berturut-turut, telah dilaporkan ditularkan melalui transfusi darah; pembentukannya juga berkaitan dengan mielopati. Transmisi parvovirus telah dilaporkan setelah transfusi konsentrat factor koagulasi dan dapat menyebabkan peningkatan aplastik sementara pada pejamu imunokompromis. Penggunaan filterleukosit khusus mengurangi tapi tidak mengeliminasi insidens komplikasi ini. Infeksi Parasit Penyakit parasitik dapat ditransmisikan oleh transfusi, termasuk malaria, toxoplasmosis, dan penyakit Chaga’s. Untungnya, kasus seperti ini sangat jarang. Infeksi bacterial Kontaminasi bakterial produk darah merupakan penyebab sekunder kematian yang berhubungan dengan transfusi. Prevalensi kultur positif kantong darah berkisar dari 1/2000 untuk produk platelet sampai 1/7000 untuk pRBC. Prevalensi sepsis terkait dengan transfusi darah berkisar antara 1/25.000 untuk platelet sampai 1/250.000 untuk pRBC. Jumlah ini relatif besar bila dibandigkan dengan resiko HIV atau hepatitis, yang berkisar antara 1/1-2 juta. Baik bakteri gram-positif (Staphylococcus) dan gram-negatif (Yersinia dan Citrobacter) dapat mengkontaminasi transfusi darah dan penyakit menular dengan jarang. Untuk menghindari kemungkinan kontaminasi bacterial yang signifikan, produk darah harus diberikan dalam waktu 4 jam atau lebih cepat. Penyakit bakterial spesifik ditularkan oleh transfusi darah dari donor termasuk sifilis, brucellosis, salmonelosis, yersiniosis, dan berbagai variasi rickettsiosis. TANFUSI DARAH MASIF Transfusi darah masif secara umum didefinisikan sebagai sebagai kebutuhan transfusi satu atau dua kali volume darah pasien. Untuk sebagian besar pasien dewasa, hal tersebut sama dengan 10-20 unit. Koagulopati Penyebab perdarahan yang paling sering setelah transfusi darah masif adalah trombositopenia dilusional. Dilusi klinis yang signifikan dari factor koagulasi jarang ditemukan sebelumnya pada pasien normal. Studi koagulasi dan jumlah platelet, harus dapat dilakukan, idealnya untuk menentukan transfusi platelet dan FFP. Analisis viskoelastik dari whole blood clotting (tromboelastografi dan analisis Sonoclot) juga dapat digunakan. Toksisitas Sitrat Ikatan kalsium oleh bahan pengawet sitrat secara teoritis dapat bermakna setelah transfusi darah atau produk darah dalam jumlah yang besar. Hipokalsemia yang signifikan secara klinis, dapat menyebabkan depresi kardial yang tidak terjadi pada pasien normal kecuali transfusi melebihi 1U setiap 5 menit. Karena metabolisme primer sitrat di hepar, pasien dengan penyakit hati atau disfungsi hati (dan mungkin pada pasien hipotermia) mungkin memerlukan infus kalsium selama transfusi masif. Hipotermia Transfusi darah masif merupakan suatu indikasi absolut untuk menghangatkan semua produk darah dan cairan intravena sesuai suhu tubuh normal. Aritmia ventrikular yang progresif kemudian menjadi fibrilasi sering terjadi pada temperatur mendekati 300C. Hipotermia dapat menghambat resuitasi kardial. Penggunaan infus yang cepat dengan pertimbangan tranfer panas yang sangat efisien telah ditandai dapat menurunkan insidensi hipotermia terkait dengan transfusi. Keseimbangan Asam-Basa Meskipun darah yang disimpan memiliki antikoagulan asam sitrat dan akumulasi metabolit sel darah merah (karbondioksida dan asam laktat), asidosis metabolik yang bermakna yang berkaitan dengan transfusi tidak sering ditemukan. Sebagian besar abnormalitas asam-basa yang konsisten setelah transfusi darah masif merupakan alkalosis metabolik postoperatif. Sekali perfusi normal telah didapatkan, setiap asidosis metabolik secara tipikal teratasi, dan alkalosis metabolik yang progresif sebagai sitrat dan laktat pada transfusi dan resuitasi cairan dikonversi menjadi bikarbonat oleh hati. Konsentrasi Potasium Serum Konsentrasi potasium ekstraseluler pada darah yang disimpan meningkat dengan kontstan seiring dengan berjalannya waktu. Jumlah potasium ekstraseluler yang ditransfusikan dari tiap unit kurang dari 4 mEq per unit. Hiperkalemia dapat berkembang sesuai umur darah ketika ditransfusikan dengan kecepatan lebih dari 100 mL/menit. Terapi hiperkalemia didiskusikan pada Bab 28. Hipokalemia umumnya dialami pada masa postoperatif, terutama yang berkaitan dengan alkalosis metabolik (lihat Bab 28 dan 30). STRATEGI ALTERNATIF UNTUK MANAJEMEN KEHILANGAN DARAH SELAMA PEMBEDAHAN TRANSFUSI AUTOLOG Pasien yang sedang mengalami prosedur pembedahan dengan probabilitas tinggi untuk transfusi dapat mendonorkan darah mereka sendiri untuk digunakan pada saat operasi. Pengambilan biasanya dimulai 4-5 minggu sebelum prosedur. Pasien diperbolehkan mendonorkan satu unit sepanjang nilai hematokritnya paling sedikit 34% atau hemoglobin paling sedikit 11 g/dL. Batas minimal 72 jam diperlukan antara waktu donasi untuk memastikan bahwa volume plasma kembali normal. Dengan suplementasi besi dan terapi eritropoetin rekombinan (400 U setiap minggu), biasanya paling sedikit dapat diambil tiga sampai empat unit sebelum operasi. Beberapa studi menyebutkan bahwa transfusi darah autolog tidak memberikan efek yang merugikan pada pasien yang sedang menjalani operasi untuk kanker. Meskipun transfusi autolog tampaknya mengurangi resiko infeksi dan reaksi transfusi, mereka tidak sepenuhnya terbebas dari bahaya tersebut. Resiko tersebut termasuk reaksi imunologikal yang berhubungan dengan kesalahan dalam pengambilan dan labeling, kontaminasi, dan penyimpan yang tidak memadai. Reaksi alergi seharusnya dapat terjadi terhadap alergen (misal etilen oksida) yang memisahkan darah dari perlengkapan pengambilan dan penyimpanan. Pengambilan darah autolog preoperatif telah digunakan dalam frekuensi yang menurun. PENYIMPANAN DARAH DAN REINFUS Teknik ini digunakan selama rekonstruktif jantung dan vaskular mayor dan operasi ortopedi (lihat Bab 21). Darah diaspirasi intraoperatif bersamaan dengan antikoagulan (heparin) ke dalam penampung. Setelah darah diambil dalam jumlah yang cukup, sel darah merah dikonsentrasikan dan dicuci untuk menghilangkan debris dan antikoagulan dan kemudian di-reinfus pada pasien. Konsetrasi hematokrit yang biasanya harus dimiliki adalah 50-60%. Agar dapat digunakan dengan efektif, teknik ini memerlukan kehilangan darah lebih dari 1000-1500 mL. Kontraindikasi meliputi kontaminasi septik dari luka dan mungkin tumor maligna, penelitian mengenai kemungkinan adanya reinfus sel-sel maligna melalui teknik ini belum dibuktikan. Saat ini, sistem yang lebih mudah memperbolehkan reinfusi darah tanpa sentrifugasi. HEMODILUSI NORMOVOLEMIK Hemodilusi normovolemik akut terjadi bila konsentrasi sel darah merah menurun, total sel darah merah yang hilang berkurang ketika sel darah merah dilepaskan dalam jumlah besar; selain itu, kardiak output tetap normal karena volume intravaskuler dipertahankan. Darah hanya dipindahkan beberapa saat sebelum operasi dari kateter intravena yang besar dan digantikan oleh kristaloid dan koloid seperti pada pasien dengan normovolemik tapi nilai hematokrit 21-25%. Darah yang dipindahkan disimpan dalam suatu kantong CPD pada suhu ruangan (sampai 6 jam) untuk mempertahankan fungsi platelet; darah diberikan kembali pada pasien setelah kehilangan darah atau segera bila diperlukan. TRANSFUSI DONOR LANGSUNG Pasien dapat meminta donor dari anggota keluarga atau teman yang diketahui ABO kompatibel. Sebagian besar bank darah tidak menyukai praktik ini dan umumnya memerlukan donasi paling sedikit 7 hari sebelum operasi untuk proses donasi darah dan konfirmasi kompabilitas. Studi yang membandingkan keamanan unit donor-langsung dengan unit donor acak mendapatkan bahwa tidak ada perbedaan di antara keduanya, atau bahwa unit bank darah lebih aman. DISKUSI KASUS: SEORANG PASIEN DENGAN PENYAKIT SEL BULAN SABIT Seorang perempuan hitam 24 tahun dengan riwayat anemia bulan sabit herediter mengeluh nyeri abdomen dan dijadwalkan untuk operasi kolesistektomi. Pasien menganggap bahwa ia mungkin mengidap anemia sel bulan sabit. Apakah yang dimaksud dengan anemia sel bulan sabit? Anemia bulan sabit adalah suatu anemia hemolitik herediter akibat abnormalitas formasi hemoglobin (HbS). HbS secara struktural merupakan turunan dari hemoglobin normal dewasa (HbA) hanya terdapat subtitusi valin pada asam glutamat pada posisi keenam dari rantai β. Secara fungsional, sickle hemoglobin memiliki afinitas yang lebih rendah terhadap oksigen (P50 = 31 mmHg) sebagaimana kelarutannya. Pada deoksigenasi, HbS terpolimerasi dan terpresipitat dalam sel darah merah, menyebabkan mereka menjadi berbentuk sickle (seperti bulan sabit). Pasien memproduksi hemoglobin fetal (HbF) dalam jumlah yang bervariasi (2-20%). Hal tersebut tampak seperti sel-sel dengan jumlah HbF yang banyak yang dengan suatu cara terlindung dari proses pembentukan struktur bulan sabit. Pembentukan dan destruksi yang terus menerus dari sel bulan sabit yang ireversibel memicu anemia. Hematokrit 18-30% karena hemolisis ekstravaskuler. Umur sel darah merah berkurang sampai 10-15 hari, dibandingkan dengan individu normal di mana umur sel darah merah mencapai 120 hari. Apa perbedaan antara anemia sel bulan sabit dengan sel bulan sabit bawaan? Ketika defek genetik hemoglobin dewasa baik maternal maupun paternal (No.11) diturunkan pada kromosom, pasien adalah HbS homozigot dan memiliki anemia sel bulan sabit (HbSS). Ketika hanya satu kromosom yang memiliki gen sel bulan sabit, pasien heterozigot dan memiliki sel bulan sabit bawaan (HbAS). Pasien dengan sel bulan sabit bawaan menghasilkan jumlah HbA (55-60%) dan HbS (35-40%) yang bervariasi. Tidak seperti pasien dengan HbSS, mereka umumnya tidak anemis, asimptomatik, dan memiliki umur hidup yang normal. Sickling hanya terjadi pada hipoksemia yang ekstrim atau pada status low-flow. Sickling terutama terjadi pada medula renal; walaupun, banyak pasien dengan sel bulan sabit bawaan memiliki gangguan kemampuan pemekatan ginjal. Beberapa pasien dengan HbAS telah dilaporkan memiliki infark medula renal, lien, dan pulmomer. Bagaimana prevalensi gen sel bulan sabit pada orang Amerika kulit hitam? Anemia sel bulan sabit merupakan penyakit primer keturunan Afrika Tengah hitam. Mendekati 0,2-0,5% orang Amerika berkulit hitam adalah homozigot gen sel bulan sabit dan 8-10% adalah heterozigot. Anemia sel bulan sabit lebih jarang ditemukan pada pasien keturunan Mediterania. Bagaimanakah patofisiologinya? Kondisi pembentukan deoksihemoglonin-misal hipoksmia, asidosis, hipertonisitas atau dehidrasi intraseluler, meningkatkan kadar 2,3-DPG, atau peningkatan temperatur-dapat menggumpalkan sickling pada pasien dengan HbSS. Hipotermia juga dapat mengganggu karena berkaitan dengan vasokonstriksi (lihat bawah). Polimerasi intraseluler HbS mengubah sel darah merah, membuat mereka kurang lentur dan”lebih lengket”, dan meningkatkan viskositas darah. Sickling awalnya dapat reversibel tapi seringkali menjadi ireversibel pada beberapa sel. Pembentukan agregasi sel darah merah dalam kapiler dapat menyumbat mikrosirkulasi pada jaringan. Suatu cycle yang lengket ditemukan pada stasis sirkulasi yang memicu hopiksia lokal, yang akan menyebabkan sickling kembali. Gejala-gejala apa saja yang biasanya tampak pada pasien dengan anemia sel bulan sabit? Gejala pada pasien dengan HbSS umumnya pertama kali muncul pada masa infant, ketika kadar hemoglobin fetal (HbF) menurun. Penyakit ditandai dengan krisis akut episodik dan kronik dan gambaran yang progresif (Tabel 29-8). Anak-anak menunjukkan hambatan pertumbuhan dan infeksi berulang. Infark lien yang berulang memicu atrofi lien dan asplenisme fungsional saat masa adolesens. Pasien biasanya meninggal karena infeksi berulang atau gagal ginjal. Krisis sering diperparah dengan infeksi, cuaca dingin, dehidrasi atau bentuk lain dari stres. Krisis dapat dibagi menjadi tiga tipe: Krisis vasooklusif: Tergantung pada pembuluh darah yang terlibat, episode akut ini dapat menyebabkan infark mikro atau makro. Secara klinis, hal tersebut muncul sebagai nyeri abdomen, dada, punggung atau persendian. Membedakan antara nyeri abdomen akibat pembedahan dan non pembedahan sulit. Kebanyakan pasien membentuk batu empedu pigmen pada masa dewasa, dan banyak yang muncul dengan kolesistitis akut. Fenomena vasooklusif pada pembuluh darah yang lebih besar dapat menyebabkan trombosis yang menyebabkan infark di lien, otak, pulmober, hepar, ginjal, dan yang lebih jarang, infark miokard. Krisis aplastik: anemia yang sangat berat (Hb 2-3 g/dL) dapat terjadi dengan cepat ketika produksi sel darah merah di sumsum tulang kelelahan dan tersupresi. Infeksi dan defisiensi folat memiliki peranan penting. Beberapa pasien juga berkembang menjadi leukopenia. Krisis sekuetrasi lien: penumpukan darah tiba-tiba di lien dapat terjadi pada infant dan anak kecil dan dapat menyebabkan hipotensi yang mengancam nyawa. Diduga mekanismenya adalah oklusi partial atau komplit drainase vena dari lien. Tabel 29-8. Manifestasi anemia bulan sabit. Neurogikal Stroke Perdarahan subarachnoid Koma Kejang Vaskular Perdarahan vitreus Infark retina Retinopati proliferatif Ablasio retina Pulmoner Increased pulmonaru shunting Pleuritis Infeksi pulmoner yang berulang Infark pulmoner Kardiovaskuler Gagal jantung kongestif Korpulmonale Perikarditis Infark miokard Gastrointestinal Kolelitiasis (batu pigmen) Kolesistitis Infark hepar Abses hepar Fibrosis hepar Hematologikal Anemia Anemia aplastik Infeksi berulang Infark lien Sekuestrasi lien Asplenia fungsional Genitourinaria Hematuria Nekrosis papiler ginjal Gangguan kemampuan pemekatan ginjal (isosthenuria) Sindroma nefrotik Insufisiensi renal Gagal ginjal Priapismus Tulang Sinovitis Artritis Nekrosis aseptik kaput femur Infark tulang pendek pada tangan dan kaki (daktilitis) Vetebrae bikonkaf (”mulut ikan”) Osteomielitis Kulit Ulkus kronik Bagaimana mendiagnosa anemia sel bulan sabit? Sel darah merah pada pasien dengan anemia sel bulan sabit setelah pemberian reagen konsumsi oksigen (metabisulfit) atau larutan hipertonis (tes kelarutan). Diperlukan konfirmasi dengan elektroforesis hemoglobin. Apa jalan terbaik untuk mempersiapkan pasien dengan anemia sel bulan sabit untuk operasi? Persiapan preoperatif yang optimal harus dilakukan pada semua pasien yang akan menjalani proses pembedahan. Pasien harus terhidrasi, infeksi harus sudah dikontrol, dan konsentrasi hemoglobin harus berada dalam kadar yang dapat diterima. Terapi transfusi preoperatif harus tergantung pada setiap individu pasien dan prosedur pembedahan. Transfusi tukar parsial sebelum prosedur bedah mayor biasanya disarankan. Tidak seperti transfusi yang sederhana, transfusi tukar menurunkan viskositas darah. Hal tersebut juga meningkatkan kapasitas untuk membawa oksigen dan menurunkan sickling. Target transfusi umumnya untuk mencapai kadar hematokrit 35-40% dengan 40-50% hemoglobin normal (HbA1). Walaupun keuntungan transfusi tukar pada pasien yang teranestesi baru diketahui, hal ini dengan jelas membantu pasien dari krisis. Adakah pertimbangan intraoperatif khusus? Kondisi yang memungkinkan peningkatan desaturasi hemoglobin atau status low-flow harus dihindari. Setiap usaha harus dilakukan untuk menghindari hipotermia dan hipertermia, asidosis, dan bahkan derajat ringan dari hipoksemia, hipotensi, atau hipovolemia. Hidrasi dalam jumlah yang besar dan relatif tinggi (>50%) dapat dipertimbangkan tekanan oksigen tinggi. Mekanisme kompensasi utama pada pasien ini adalah peningkatan kardiak output, yang harus dipertahankan intraoperatif. Pemantauan tekanan vena sentral atau tekanan arteri pulmoner dengan saturasi oksigen vena mungkin bermanfaat pada pasien ini. Alkalosis ringan dapat membantu menghindari sikcling, tapi derajat sedang alkalosis respiratorik dapat menimbulkan efek yang merugikan terhadap aliran darah ke otak. Banyak klinisi yang juga menghindari penggunaan torniquet. Penetilian tidak dapat mendukung atau menolak penggunaan teknik anestesi regional maupun general apapun. Adakah pertimbangan khusus postoperatif? Prinsip periode postoperatif sama dengan prisnsip yang digunakan pada masa intraoperatif. Kebanyakan kematian perioperatif terjadi pada periode postoperatif. Hipoksemia dan komplikasi pulmoner merupakan faktor resiko utama. Suplementasi oksigen, kontrol rasa nyeri yang optimal, fisioterapi pulmoner, dan mobilisasi dini dapat dipertimbangkan untuk menghindari komplikasi-komplikasi tersebut. Apakah terdapat signifikansi anemia sel bulan sabit dan thalassemia pada pasien yang sama? Kombinasi HbS dan thalassemia, terbanyak sickle β-thalassemia, memiliki suatu variabel dan efek yang tidak terduga pada derajat keparahan penyakit. Secara umum, kombinasi lebih ringan terdapat pada pasien keturunan kulit hitam daripada pasien keturunan Mediterania. Bagaimana patofisiologi thalassemia? Thalassemia merupakan suatu penyakit gangguan produksi satu atau lebih subunit normal hemoglobin yang diturunkan. Pasien dengan thalassemia dapat memproduksi HbA normal tapi memiliki jumlah produksi rantai α atau β yang berkurang. Beratnya gangguan ini tergantung pada subunit yang dipengaruhi dan di mana gangguan produksi hemoglobin tersebut. Gejala dapat tidak muncul atau berat. Pasien dengan thalassemia-α jumlah subunit- α yang dihasilkan berkurang, sedangkan pada pasien dengan thalassemia-β jumlah produksi subunit-β berkurang. Pembentukan hemoglobin dengan komposisi subunit yang abnormal dapat mengubah membran sel darah merah dan menimbulkan hemolisis dalam derajat yang bervariasi dan merupakan hematopoeisis yang tidak efektif. Hematopoesis yang tidak efektif dapat menyebabkan hipertofi sumsum tulang dan seringkali menyebabkan tulang yang abnormal. Hipertrofi maxila dapat menyulitkan intubasi tracheal. Thalassemia lebih sering terjadi pada pasien dari keturunan Asia Tenggara, Afrika, Mediterania, dan Indian. Apakah yang dimaksud dengan penyakit hemoglobin C? Subtitusi lisin untuk asam glutamat pada posisi 6 pada subunit-β menyebabkan hemoglobin C (HbC). Hampir 0,05% orang Amerika berkulit hitam membawa gen HbC. Pada pasien homozigot HbC umumnya hanya terdapat anemia hemolitik ringan dan splenomegali. Mereka jarang berkembang menjadi komplikasi yang bermakna. Tendensi HbC untuk mengkristal pada lingkungan yang hipertonis mungkin bertanggung jawab untuk hemolisis dan memproduksi sel target pada preparat apur darah tepi. Apa signifikansi genotip HbSC? Hampir mendekati 0,1% orang Amerika berkulit hitam heterozigot HbS dan HbC (HbSC) secara bersamaan. Pasien-pasien ini mengalami anemia ringan sampai sedang. Beberapa pasien merasakan krisis nyeri, infark lien, dan disfungsi hepar. Manifestasi pada mata yang berkaitan dengan penyakit HbSS merupakan tanda yang utama dan mencolok. Perempuan dengan HbSC memiliki resiko komplikasi yang tinggi selama trisemester ketiga kehamilan dan persalinan. Apakah yang dimaksud dengan hemoglobin E? Hemoglobin E merupakan hasil dari subtitusi tunggal pada rantai-β dan merupakan variasi kedua yang paling sering ditemukan di dunia. Hal ini paling sering terdapat pada pasien dari Asia Tenggara. Meskipun afinitas ikatan oksigen normal, subtitusi mengganggu produksi rantai-β (mirip dengan thalassemia-β). Pasien homozigot ditandai dengan mikrositosis dan sel target yang mencolok, tapi tidak selalu anemia dan jarang terdapat manifestasi yang lain. Apa signifikansi hematologik defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase? Sel darah merah secara normal dilindungi dari agen-agen oksidasi. Kelompok sulfihiril pada hemoglobin dilindungi oleh glutation yang tereduksi. Hal ini diregenerasi oleh NADPH (reduksi nikotinamid adenin dinukleotida fosfat), yang diregenerasi sendiri oleh metabolisme glukosa pada lintas heksosa monofosfat. Glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD) merupakan suatu enzim yang penting pada jalur ini. Gangguan pada jalur ini menyebabkan jumlah glutation ter-reduksi yang inadekuat, yang potensial menyebabkan oksidasi dan presipitasi hemoglobin dalam sel-sel darah merah (tampak sebagai badan Heinz) dan hemolisis. Tabel 29-9. Obat-obatan yang dihindari pada pasien dengan defisiensi G6PD1 Obat-obatan yang dapat menyebabkan hemolisis Sulfonamid Obat antimalaria Nitrofurantoin Asam nalidiksat Probenesid Asam aminosalisilat Fenasetin Asetanilid Asam askorbat (dalam jumlah yang besar) Vitamin K Metilen blue Quinin2 Quinidin3 Kloramfenikol Penisilinamin Dimercaprol Obat lain Prilocain Nitroprusid 1G6PD, glukosa-6-fosfat dehidrogenase 2Mungkin aman pada pasien dengan varian A 3Harus dihindari karena potensial menyebabkan methemoglobinemia Abnormalitas pada G6PD relatif sering. Terdapat lebih dari 400 varian. Tergantung pada signifikansi fungsional abnormalitas enzim, manifestasi klinik dapat berupa variabel yang tidak tampak. Sampai 15% pria Amerika berkulit hitam memiliki varian A yang signifikan seara klinis. Variansi sekunder sering terdapat pada individu keturunan Mediterania timur, dan varian ketiga sering terdapat pada orang-orang keturunan China. Karena lokus enzim tersebut terdapat pada kromosom X, abnormalitas tersebut merupakan bawaan X-linked, dengan pria yang terpengaruh secara primer. Seiring umur sel darah merah, aktifitas G6PD menurun secara normal. Konsekeunsinya, penuaan sel darah merah sangat suseptibel terhadap oksidasi. Kerusakan ini ditandai dengan akselerasi pada pasien dengan varian Mediteran, tapi hanya moderat pada pasien dengan dengan varian A. Kebanyakan pasien tidak khas anemis tapi dapat berkembang menjadi hemolisis setelah stres oksidatif seperti infeksi viral atau bakterial atau asupan beberapa obat (Tabel 29-9). Hemolisis juga dapat dipresipitasi oleh asidosis metabolik. Episode hemolisis dapat berupa hemoglobinuria dan hipotensi. Hal tersebut biasanya dapat hilang sendiri karena hanya populasi sel yang lebih tua yang dihancurkan. Varian Mediterania mungkin berhubungan dengan beberapa derajat anemia hemolitik kronis, dan beberapa pasien sangat sensitif terhadap fava beans. Penanganan penyakit ini adalah pencegahan primer. Pengukuran fungsi renal (lihat atas) diindikasikan pada pasien yang berkembang menjadi hemoglobinuria.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar