Jumat, 12 April 2013

Fisiologi, Patofisiologi dan Pengaturan Anestesi Fisiologi & Anestesi Kardio

Fisiologi, Patofisiologi dan Pengaturan Anestesi Fisiologi & Anestesi Kardiovaskuler Konsep Pokok Berkebalikan dengan potensi aksi neuron, peningkatan potensi aksi jantung diikuti fase plateu yang bertahan 0,2-0,3 detik. Dimana potensi aksi otot lurik dan saraf didasarkan pada pembukaan mendadak channel Na cepat pada membran sel, pada otot jantung mengacu pada pembukaan channel Na cepat dan channel Na lambat. Halothan, enfluran, dan isofluran menekan otomatisasi nodus SA. Agen-agen itu tampaknya hanya berdampak sedang pada nodus AV, memperpanjang waktu konduksi dan meningkatkan refraktorinya. Kombinasi efek ini hampir menjelaskan seringnya terjadi takikardi junctional ketika diberikan anti kolinergik pada pasien yang dianestesi inhalasi dan sedang mengalami sinus bradikardi, sebab pacemaker junctional lebih mudah terakselerasi daripada nodus SA. Penelitian menyebutkan bahwa semua agen anestesi inhalasi menekan kontraktilitas jantung dengan menekan masuknya Ca ke dalam sel selama masa depolarisasi (mempengaruhi channel Ca tipe L dan T), merubah pergerakan lepasnya dan pengambilan kembali ke dalam retikulum sarkoplasma, serta menekan sensitivitas protein kontraktil terhadap Ca. Karena indeks kardiak normal (CI) memiliki rentang yang luas, merupakan tehnik pengukuran yang relatif tidak sensitif untuk performa ventrikel. Abnormalitas CI akan menggambarkan gangguan ventrikel secara kasar. Dalam keadaan tidak adanya hipoksia atau anemia berat, pengukuran saturasi atau tekanan oksigen vena campuran adalah penentu terbaik kelayakan cardiac output. Karena kontribusi atrial ke pengisian ventrikel sangat penting untuk menjaga tekanan diastolik ventrikel rata-rata yang rendah, pasien dengan pengurangan ventricular compliance paling dipengaruhi oleh hilangnya sistole atrium dengan waktu normal. Cardiac output pasien dengan gangguan ventrikel kanan maupun kiri yang bermakna sangat sensitif terhadap peningkatan akut afterload. Fraksi ejeksi ventrikel, fraksi volume end-diastolic ventrikel paling sering digunakan untuk pengukuran klinis fungsi sistolik. Fungsi diastolik ventrikel kiri dapat dinilai menggunakan echokardiografi Doppler melalui pemeriksaan transthoraks atau transesofagus. Karena endokardium merupakan bagian yang paling lemah terhadap tekanan intramural, endokardium cenderung paling rentan terhadap iskemia jika terjadi penurunan tekanan perfusi koroner. Proses gagal jantung sangat tergantung pada katekolamin yang beredar dalam darah. Penarikan mendadak outflow simpatis atau penurunan mendadak kadar katekolamin dalam darah, seperti yang terjadi setelah induksi anestesi dapat menyebabkan dekompensasi kordis akuta. Ahli anestesi harus memiliki pengetahuan mendalam mengenai fisiologi kardiovaskuler, untuk dampaknya yang nyata terhadap ilmu anestesi, dan penanganan pasien modern dan aplikasinya dalam praktek. Bab ini meringkaskan fisiologi jantung dan sirkulasi sistemik serta patofisiologi gagal jantung. Sirkulasi pulmoner dan fisiologi darah dan pertukaran gizi dibicarakan selanjutnya. Sistem sirkulasi terdiri dari jantung, pembuluh darah, dan darah. Fungsinya adalah menyediakan oksigen dan gizi yang dibutuhkan jaringan serta membawa produk sisa metabolisme. Jantung mendorong darah melalui 2 jalur vaskuler, dalam sirkulasi pulmoner darah mengalir melalui membran alveoler-kapiler, membawa oksigen, dan mengeliminasi CO2. Pada sirkulasi sitemik, darah teroksigenasi dipompa ke jaringan yang memetabolisasi, dan membawa produk sisanya ke paru, ginjal, atau hepar. Jantung Walaupun secara anatomis adalah satu organ, jantung dapat berfungsi sebagai 2 organ pompa, atrium dan ventrikel kanan, serta atrium dan ventrikel kiri. Atria berperan sebagai pompa pertama dengan kekuatan rata-rata, sedang ventrikel adalah pompa utamanya. Ventrikel kanan menerima darah dari sistem vena (darah deoksigenasi) dan memompanya ke sirkulasi pulmoner, sedang ventrikel kiri menerima darah dari vena pulmoner (darah teroksigenasi) dan memompanya ke sirkulasi sistemik. Empat katup yang normal memastikan tidak terjadi aliran dengan arah yang tidak tepat ke setiap ruangan. Kerja pompa normal jantung adalah hasil dari serangkaian kejadian elektrik dan mekanik yang kompleks. Jantung terdiri dari otot serat khusus dalam jaringan ikat lurik. Otot jantung dapat dibagi menjadi atrial, ventrikuler, dan pacemaker khusus, serta jaringan ikat. Sel otot jantung yang secara alamiah dapat tereksitasi sendiri dan pengaturannya yang khusus menyebabkan jantung mampu berfungsi sebagai pompa yang sangat efektif. Hubungan dengan resistensi rendah yang berseri (diskus interkalatus) antara sel-sel miokardium menyebabkan penyebaran aktivitas elektrik yang cepat namun teratur pada tiap ruangan. Aktivitas elektrik segera menyebar dari satu atrium ke atrium lainnya, satu ventrikel ke ventrikel lainnya, melalui jalur konduksi khusus. Tidak adanya hubungan langsung antara atrium dan ventrikel kecuali melalui nodus AV memperlambat waktu konduksi dan memungkinkan kontraksi atrium mendahului ventrikel. Potensi Aksi Kardial Membran sel miokardium normalnya bersifat permeabel terhadap K, walaupun relatif tidak terhadap Na. Ikatan membran antara ATPase-Na-K akan meningkatkan konsentrasi K intraseluler. Na intraseluler dijaga agar tetap rendah, sedang konsentrasi K intraseluler dijaga tetap tinggi secara relatif terhadap ruangan ekstraseluler. Impermeabilitas relatif membran terhadap Ca juga menjaga gradien Ca ekstraseluler terhadap membran yang tinggi. Pergerakan K keluar dari sel dan melawan gradien konsentrasi menyebabkan hilangnya kekuatan positif dari dalam sel. Potensi elektrik akan terbangun melintasi membran sel, dengan kekuatan dalam sel lebih negatif dibandingkan di luar sel, karena anion tidak menyertai K. sehingga, potensi membran saat istirahat mewakili keseimbangan antara 2 kekuatan, pergerakan K sesuai gradien konsentrasinya, dan penarikan elektrik dari ruangan intraseluler yang bersifat negatif untuk ion K. Potensi aksi istirahat pada sel ventrikel normal sekitar -80 sampai -90mV. Sedang pada jaringan yang dapat tereksitasi lainnya seperti saraf dan otot lurik, ketika potensi membran sel menjadi lebih negatif dan mencapai nilai ambang batas, potensi aksi yang khas akan terjadi (proses depolarisasi). Potensi aksi sementara meningkatkan potensi membran sel miokardium sampai 20mV. Berkebalikan dengan potensi aksi neuron, peningkatan potensi aksi jantung diikuti fase plateu yang bertahan 0,2-0,3 detik. Dimana potensi aksi otot lurik dan saraf didasarkan pada pembukaan mendadak channel Na cepat pada membran sel, pada otot jantung mengacu pada pembukaan channel Na cepat dan channel Na lambat. Proses depolarisasi juga disertai penurunan sementara permeabilitas K. restorasi bertahap permeabilitas K dan penutupan channel Na dan Ca akan membawa potensi membran ke normal. Setelah depolarisasi, sel kembali ke tahap rangsang di bawah depolarisasi normal sampai fase 4. Periode refraktori yang efektif adalah interval minimal antara dua impuls depolarisasi. Pada sel miokardium konduksi cepat, periode ini sangat berkaitan dengan durasi potensi aksi. Sebaliknya, periode refraktori efektif dalam sel miokardium konduksi lambat dapat melebihi durasi potensi aksi. Ada beberapa tipe channel ion pada membran sel jantung. Beberapa diaktifkan dengan perubahan voltase membran sel, sedang lainnya dibuka hanya terikat oleh ligan. Gerbang voltase luar (m) channel Na cepat terbuka pada voltase -60 sampai -70 mV dan gerbang dalamnya (h) menutup pada voltase -30 mV. Gerbang voltase T (sementara) channel Ca berperan pada fase 0 depolarisasi. Pada fase 2 (fase plateu), Ca mengalir masuk melalui gerbang voltase L (tahan lama) channel Ca. Tiga jenis utama channel Kyang berperan dalam repolarisasi. Tipe pertama menyebabkan arus K keluar sementara (ITo), tipe kedua berperan pada arus pembalikan pendek (IKR), dan gerbang ketiga memproduksi arus pembalikan yang bekerja lambat (IKS) yang mengembalikan potensi membran sel menjadi normal. Inisiasi & Konduksi Impuls Jantung Impuls jantung normalnya berasal dari nodus SA, suatu kelompok sel pacemaker khusus dalam sulkus terminalis, di posterior perbatasan atrium kiri dan vena cava superior. Sel-sel ini nampaknya memiliki membran luar yang mengeluarkan Na (kemungkinan juga Ca). Influks lambat Na yang menyebabkan potensi membran istirahat bernilai kurang negatif (-50 sampai -60 mV), memiliki 3 nilai penting: inaktivasi konstan channel Na cepat, potensi aksi dengan ambang -40mV yang diakibatkan pergerakan ion menyeberangi channel Ca lambat, dan depolarisasi spontan yang terjadi secara reguler. Selama tiap siklus, kebocoran Na intraseluler menyebabkan membran sel menjadi kurang negatif secara progresif, sehingga jika ambang batas terlampaui, Channel Ca akan terbuka, permeabilitas K menurun, dan terjadi potensi aksi. Pengembalian permeabilitas K normal akan menyebabkan sel-sel nodus SA kembali pada potensi membran saat istirahatnya. Impuls yang dibangun pada nodus SA normalnya secara drastis dibentuk di atrial dan nodus AV. Serabut atrial khusus dapat meningkatkan konduksi baik di atrium kiri dan nodus AV. Nodus AV yang terletak di dinding septum atrium kanan tepat di depan terbukanya sinus koroner dan di atas insersi bagian septum katup trikuspid dapat dibagi menjadi 3 bagian, regio junctional atas (AN), regio nodus tengah (N), dan regio junctional bawah (NH). Walaupun regio N tidak memiliki aktivitas intrinsik spontan (otomatisasi), namun kedua area junctional dapat memiliki aktivitas tersebut. Tingkat depolarisasi spontan lambat pada area junctional AV (40-60 kali/menit) menyebabkan nodus SA yang lebih cepatlah yang mengatur irama jantung. Faktor lain yang dapat menurunkan kecepatan depolarisasi nodus SA atau meningkatkan otomatisasi area junctional AV akan menyebabkan area junctional berperan sebagai pacemaker jantung. Impuls nodus SA normalnya mencapai nodus AV setelah 0,04 detik dan kemudian dikonduksikan setelah 0,11 detik berikutnya. Perlambatan ini adalah akibat serabut miokardium yang terkonduksi lambat dalam nodus AV, yang tergantung pada channel Ca lambat untuk penyebaran potensi aksinya. Sebaliknya, konduksi impuls antara sel bersebelahan di atrial dan ventrikel sebagian besar diakibatkan aktivasi dan inaktivasi channel Na cepat. Serabut rendah nodus AV bergabung membentuk bundle His. Kelompok serat khusus ini melewati septum interventrikuler lalu terbagi menjadi cabang kanan dan kiri, lalu membentuk serabut Purkinje yang kompleks, yang mendepolarisasi kedua ventrikel. Berkebalikan dengan jaringan nodus AV, serabut His-Purkinje paling cepat mengkonduksi jantung, menyebabkan depolarisasi bersamaan seluruh endokardium kedua ventrikel (normalnya dalam 0,03 detik). Penyebaran impuls endokardium ke epikardium melalui otot ventrikel memerlukan tambahan waktu 0,03 detik. Sehingga, impuls dari nodus SA normalnya membutuhkan 0,2 detik untuk mendepolarisasi seluruh jantung. Halothan, enfluran, dan isofluran menekan otomatisasi nodus SA. Agen-agen itu tampaknya hanya berdampak sedang pada nodus AV, memperpanjang waktu konduksi dan meningkatkan refraktorinya. Kombinasi efek ini hampir menjelaskan seringnya terjadi takikardi junctional ketika diberikan anti kolinergik pada pasien yang dianestesi inhalasi dan sedang mengalami sinus bradikardi, sebab pacemaker junctional lebih mudah terakselerasi daripada nodus SA. Efek elektrofisiologis agen inhalasi pada serabut Purkinje dan otot ventrikel bersifat kompleks karena interaksi otonom yang terjadi di dalamnya. Baik sifat aritmogenik dan antiaritmianya telah dijelaskan. Sifat antiaritmia mungkin disebabkan penekanan influks Ca langsung, sedang sifat aritmogenik mungkin melibatkan potensiasi katekolamin. Efek aritmogenik memerlukan aktivasi reseptor adrenergik α1 dan β1. Agen induksi intravena memiliki efek elektrofisiologis yang terbatas pada dosis klinis umumnya. Opioids, terutama fentanil dan sufentanil, dapat mendepresi konduksi jantung, meningkatkan konduksi AV dan periode refraktori, dan memperpanjang durasi potensi aksi serabut Purkinje. Anestetika lokal memiliki efek elektrofisiologis yang penting pada jantung jika konsentrasinya dalam darah dihubungkan dengan toksisitas sistemik. Pada konsentrasi rendah, lidokain memiliki efek terapetik pada elektrofisiologis. Pada konsentrasi tinggi, anestesi lokal mendepresi konduksi dengan berikatan dengan channel Na cepat, pada konsentrasi lebih tinggi lagi agen ini akan mampu mendepresi nodus SA. Anestesi lokal paling poten, bupivacain dan etidocain serta ropivacain (tetapi terutama pada bupivacain) memiliki dampak paling penting pada jantung, terutama serabut Purkinje dan otot ventrikel. Bupivacain mengikat channel Na cepat yang tidak teraktivasi dan lambat memisahkan diri. Dapat menyebabkan sinus bradikardi yang bermakna, dan sinus nodus arest seperti juga aritmia ventrikuler maligna. Penghambat Channel Ca adalah komponenorganik yang menghambat influks Ca melalui channel tipe L, tetapi tidak tipe T. Penghambat dihidropiridin seperti nifedipin akan menyumbat channel, sedang agen lain seperti verapamil, dan diltiazem (dengan kemampuan kecil) mengikat channel pada keadaan depolarisasi inaktivasinya (hambatan yang tergantung keadaan obyek). Mekanisme Kontraksi Sel miokardium berkontraksi akibat interaksi dua protein yang bertumpangan, dan kaku, yaitu aktin dan miosin. Protein ini terfiksasi dalam posisi tiap selnya, baik dalam kontraksi maupun relaksasi. Distrofin, protein intraseluler ukuran besar, menghubungkan aktin ke membran sel (sarkolema). Pemendekan sel terjadi ketika aktin dan miosin berinteraksi dan bergeser terhadap satu sama lain. Biasanya interaksi ini dicegah karena adanya 2 protein, troponin dan tropomiosin, troponin terdiri dari 3 jenis, troponin I, C dan T. Troponin diikat pada aktin dengan interval teratur, sedang tropomiosin berada di pusat aktin. Peningkatan konsentrasi Ca intraseluler (dari 10-7 ke 10-5 mol/L) menyebabkan kontraksi karena troponin C berikatan dengan ion Ca. Perubahan mendasar yang diakibatkannya adalah terpaparnya sisi aktif aktin atas kerja protein-protein pengatur, sehingga dapat membuat jembatan dengan miosin (pada area mereka bertumpangan). Area aktif yang berfungsi pada miosin adalah area ATPase dependen Mg, dimana aktivitasnya dipacu oleh peningkatan Ca intraseluler. Serangkaian ikatan dan pelepasan terjadi pada tiap-tiap jembatan miosin ke arah sisi aktif aktin yang berikutnya. Selama pengikatan ini dikonsumsi ATP. Relaksasi terjadi jika Ca secara aktif dipompa kembali masuk ke retikulum sarkoplasmik oleh ATPase-Ca-Mg; yang mengakibatkan jatuhnya konsentrasi Ca intraseluler, sehingga kompleks troponin-tropomiosin dapat mencegah interaksi antara aktin dan miosin. Pasangan Eksitasi-Kontraksi Jumlah Ca yang dibutuhkan untuk memulai proses kontraksi melebihi yang memasuki sel melalui channel lambat selama fase 2. Jumlah kecil yang memasuki channel lambat akan memacu pelepasan Ca yang disimpan intraseluler (pelepasan Ca yang bergantung pada Ca) dalam sisterna di retikulum sarkoplasma. Potensi aksi sel otot lalu mendepolarisasi sistem T, yaitu pemanjangan tubuler membran sel yang melintang dalam sel seperti serabut otot, melalui reseptor dihidropiridin (channel Ca gerbang bervoltase). Peningkatan awal pada Ca intraseluler memacu arus Ca yang lebih besar untuk masuk melalui reseptor rianodin, channel Ca yang tidak tergantung voltase, pada retikulum sarkoplasma. Selama relaksasi, ketika terjadi penutupan channel lambat, ATPase yang terikat membran akan secara aktif membawa kembali Ca ke dalamretikulum sarkoplasma. Ca juga dikeluarkan ke ekstraseluler melalui pertukaran Ca intraseluler dengan Na intraseluler melalui ATPase yang terletak di membran. Karenanya relaksasi jantung juga memerlukan ATP. Jumlah Ca intraseluler yang tersedia, kecepatan penghantaran, dan kecepatan pengambilan menggambarkan secara berurutan ketegangan maksimal yang terjadi, tingkat kontraksi, dan kecepatan relaksasi. Stimulasi simpatis meningkatkan kekuatan kontraksi dengan cara meningkatkan konsentrasi Ca intraseluler melalui peningkatan cAMP (Adenosin monofosfat siklik) yang dimediasi reseptor β1 adrenergik melalui kerja protein stimulator G. peningkatan cAMP membutuhkan penambahan channel Ca yang terbuka. Lebih lagi, agonis adrenergik meningkatkan kecepatan relaksasi dengan meningkatkan ambilan Ca melalui retikulum sarkoplasma. Inhibitor fosfodiesterase seperti teofilin, amrinon, dan milrinon menyebabkan efek yang nyaris sama dengan mencegah penguraian cAMP intraseluler. Digitalis meningkatkan konsentrasi Ca intraseluler melalui penghambatan ATPase-Na-K yang terikat di membran, menyebabkan sedikit peningkatan Na intraseluler sehingga terjadi peningkatan arus masuk Ca akibat mekanisme pertukaran Na-Ca. Glukagon meningkatkan kontraktilitas dengan menaikkan kadar cAMP intraseluler melalui aktivasi reseptor noradrenergik spesifik. Sebaliknya, pelepasan asetilkolin akibat stimulasi nervus vagus menekan kontraktilitas dengan meningkatkan cGMP (Guanosin monofosfat siklik) dan menghambat adenil siklase; keduanya dimediasi oleh protein inhibitor G. asidosis menghambat channel Ca lambat akibatnya menekan kontraktilitas jantung, dengan cara merubah pergerakan Ca intraseluler. Penelitian menyebutkan bahwa semua agen anestesi inhalasi menekan kontraktilitas jantung dengan menekan masuknya Ca ke dalam sel selama masa depolarisasi (mempengaruhi channel Ca tipe L dan T), merubah pergerakan lepasnya dan pengambilan kembali ke dalam retikulum sarkoplasma, serta menekan sensitivitas protein kontraktil terhadap Ca. Halothan dan enfluran tampaknya lebih kuat menekan kontraktilitas dibanding isofluran, sevofluran, dan desfluran. Depresi jantung yang disebabkan anestesi dipotensiasi oleh hipokalsemia, hambatan β adrenergik, dan Ca channel bloker. Nitro-oksida juga menyebabkan penurunan kontraktilitas yang tergantung dosisnya dengan menekan tersedianya Ca intraseluler saat kontraksi. Mekanisme depresi jantung langsung dari agen anestesi intravena tidak jelas dijabarkan, kemungkinan melalui cara yang sama. Dari semua agen induksi intravena mayor, ketamin tampaknya memiliki efek depresan langsung pada kontraktilitas yang paling minimal. Agen anestesi lokal juga menekan kontraktilitas jantung dengan mengurangi arus masuk Ca, efek ini berkuran sesuai penurunan dosis yang terjadi. Bupivacain, tetracain dan ropivacain menyebabkan depresi lebih lanjut daripada lidocain dan kloroprocain. Inervasi Jantung Serabut parasimpatis menginervasi atrial dan jaringan penyokong. Asetilkolin bertindak sebagai reseptor muskarinik jantung (M2) untuk memproduksi efek kronotropik, dromotropik, dan inotropik negatif. Sebaliknya, serabut simpatis terdistribusi lebih meluas di jantung. Serat simpatis jantung berasal dari korda spinalis thorakal (T1-T4) dan melintasi jantung melalui ganglion servikalis (stelata) lalu sebagai saraf jantung. Pelepasan Norepinefrin menyebabkan efek kronotropik, dromotropik, dan inotropik positif melalui aktivasi reseptor β1 adrenergik. Reseptor β2 adrenergik jumlahnya lebih sedikit dan sebagian besar terletak di atrial, efeknya meningkatkan denyut jantung, dan kontraktilitas namun dalam kadar yang lebih kecil. Reseptor α1 adrenergik memiliki efek inotropik positif. Inervasi otonom jantung memiliki keberat-sisian, karena nervus vagus kanan dan trunkus simpatis kanan mempengaruhi nodus SA, sedang nervus vagus kiri dan trunkus simpatikus kiri mempengaruhi modus AV. Efek vagal sering memiliki awitan yang cepat namun juga cepat usai, sedang pengaruh simpatis biasanya awitan dan selesainya lebih lambat. Aritmia sinus adalah variasi siklik denyut jantung yang berhubungan dengan respirasi (meningkat selama inspirasi dan menurun saat ekspirasi, akibat perubahan siklus tonus vagus. Siklus Jantung Siklus jantung dapat diterangkan baik melalui cara elektrik dan mekanis. Sistolik mengacu pada kontraksi dan diastolik pada relaksasi. Sebagian besar pengisian diastolik ventrikel terjadi secara pasif sebelum kontraksi atrium. Kontraksi atrium menyumbangkan 20-30% isi ventrikel. Ada 3 gelombang yang dapat dikenali dalam pelacakan tekanan atrium. Gelombang a adalah sistolik atrium. Gelombang c mendahului kontraksi ventrikel, dan dikatakan gelombang ini diakibatkan penonjolan katup AV ke dalam atrium. Gelombang v adalah hasil meningkatnya tekanan venous return sebelum katup AV terbuka kembali. Penurunan x adalah menurunnya tekanan antara gelombang c dan v, disebabkan penarikan atrium oleh kontraksi ventrikel. Inkompetensi katup AV pada kedua sisi jantung meniadakan penurunan x, sehingga nampak gelombang cv yang nyata. Penurunan y mengikuti gelombang v dan mewakili penurunan tekanan atrium ketika katup AV terbuka. Lekuk pada pelacakan tekanan aorta disebut insisura dan mewakili aliran darah kembali sementara ke ventrikel kiri tepat sebelum katup aorta tertutup. Penentu Performa Ventrikel Pembicaraan mengenai fungsi ventrikel mengacu pada ventrikel kiri, tetapi konsep yang sama juga diaplikasikan pada ventrikel kanan. Walaupun ventrikel dianggap berfungsi secara terpisah, telah terbukti adanya saling ketergantungan. Lebih lagi, faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi sistolik dan diastolik telah dapat dibedakan. Fungsi sistolik melibatkan ejeksi ventrikel, sedang fungsi ventrikel berhubungan dengan pengisian ventrikel. Fungsi sistolik ventrikel sering disamakan dengan cardiac output, yang dapat didefinisikan sebagai volume darah yang dipompa jantung per menitnya. Karena kedua ventrikel berfungsi dalam satu rangkaian, hasilnya biasanya setara. Cardiac output digambarkan dalam persamaan berikut : CO = SV x HR dimana SV adalah stroke volume (volume yang dipompa tiap kontraksi) dan HR adalah denyut jantung per menit. Untuk memperhitungkan variasi ukuran tubuh, CO sering dimasukkan dalam persamaan : CI = CO/ BSA dimana CI adalah cardiac index dan BSA didapatkan dari normogram tinggi dan berat badan. CI normalnya bervariasi antara 2,5- 4,2 L/menit/m2. Karena CI normal rentang nilai normalnya cukup las, biasanya tidak sensitif dalam mengukur performa ventrikel. Abnormalitas CI menggambarkan gangguan ventrikel berat. Pengukuran yang lebih tepat dapat didapat jika respon cardiac output exercise yang dinilai. Di bawah kondisi ini, kegagalan cardiac output meningkat dan mengikuti konsumsi oksigen digambarkan dengan saturasi oksigen vena campuran yang menurun. Penurunan saturasi sebagai reaksi peningkatan kebutuhan biasanya menggambarkan perfusi jaringan yang tidak memadai. Dalam keadaan tidak adanya hipoksia atau anemia berat, pengukuran saturasi atau tekanan oksigen vena campuran adalah penentu terbaik kelayakan cardiac output. Denyut Jantung Cardiac output biasanya berbanding langsung dengan denyut jantung. Denyut jantung adalah fungsi intrinsik nodus SA (depolarisasi spontan) tetapi telah dimodifikasi faktor otonom, humoral, dan lokal. Tingkat intrinsik normal nodus SA pada orang dewasa muda sekitar 90- 100 kali/menit, tetapi menurun seiring usia berdasarkan formula : Denyut jantung intrinsik normal = 118 kali/men – (0,57 x usia) Peningkatan aktivitas vagal memperlambat denyut jantung melalui stimulasi reseptor kolinergik M2, sedangkan aktivitas simpatis memicu denyut jantung terutama melalui aktivasi reseptor β1adrenergik dan, dalam skala lebih kecil, reseptor β2 adrenergik. Stroke volume Stroke volume biasanya ditentukan tiga faktor utama, preload, afterload, dan kontraktilitas. Analisis ini sama dengan penelitian laboratorium pada otot serat lintang. Preload adalah panjang otot sebelum kontraksi, sedang afterload adalah tekanan yang dilawan kontraksi otot. Kontraktilitas adalah bagian intrinsik otot yang berkaitan dengan kekuatan kontraksi tetapi tidak tergantung preload dan afterload. Karena jantung merupakan pompa multi-ruang dalam 3 dimensi, baik bentuk geometrik ventrikel dan disfungsi katup dapat mempengaruhi stroke volume. Preload Preload ventrikel adalah volume diastolik akhir, yang tergantung pada pengisian ventrikel. Hubungan antara cardiac output dan volume diastolik akhir ventrikel kiri disebut hukum Starling. Jika denyut jantung tetap, cardiac output berbanding lurus dengan preload, sampai terjadinya volume diastolik akhir yang berlebihan. Pada titik ini cardiac output tidak berubah atau menurun. Distensi berlebihan kedua ventrikel dapat menyebabkan dilatasi berlebihan dan inkompetensi katup AV. Penentu Pengisian Ventrikel Pengisian ventrikel dapat dipengaruhi berbagai faktor, yang paling penting adalah venous return. Karena sebagian besar faktor yang mempengaruhi venous return bersifat tetap, tonus vena adalah penentu utama. Peningkatan dalam aktivitas metabolik meningkatkan tonus vena, sehingga venous return meningkat ketika volume kapasitas vena menurun. Perubahan volume tubuh dan tonus vena adalah penyebab penting dalam pengisian ventrikel dan cardiac output. Faktor lain yang merubah gradien tekanan vena kecil sehingga mempengaruhi kembalinya darah ke jantung akan mempengaruhi pengisian ventrikel pula. Faktor tersebut meliputi perubahan tekanan intrathorakal (ventilasi tekanan positif atau thorakotomi), postur (posisi selama operasi), dan tekanan perikardial (penyakit perikardial). Penentu paling penting preload ventrikel kanan adalah venous return. Tidak adanya disfungsi ventrikel maupun pulmoner yang signifikan, venous return adalah penentu utama preload ventrikel kiri. Normalnya, volume akhir kedua ventrikel adalah sama. Baik denyut jantung maupun ritmenya dapat mempengaruhi preload ventrikel. Peningkatan denyut jantung dihubungkan dengan pengurangan yang lebih besar secara sebanding diastolik daripada sistolik. Pengisian ventrikel akan tertekan dengan progresif pada denyut jantung tinggi (>120/menit pada dewasa). Perubahan waktu kontraksi atrial (ritme junctional atau atrial rendah), atau waktu kontraksi atrial yang tidak efektif (atrial flutter), bahkan tidak ditemukan (fibrilasi atrium) dapat mengurangi pengisian ventrikel sampai 20-30%. Karena kontribusi atrial ke pengisian ventrikel sangat penting untuk menjaga tekanan diastolik ventrikel rata-rata yang rendah, pasien dengan pengurangan ventricular compliance paling dipengaruhi oleh hilangnya sistole atrium dengan waktu normal. Fungsi Diastolik dan Komplians Ventrikel Volume end-diastolic ventrikel sulit diukur secara klinis. Bahkan teknik pencitraan seperti transesophageal echocardiography (TEE) dua dimensi, pencitraan radionuklid, dan kontras ventrikulografi hanya mampu memberikan perkiraan volume. Tekanan end-diastolic ventrikel kiri (TADVK) dapat digunakan sebagai pengukuran preload hanya bila hubungan antara volume dan tekanan ventrikel (komplians ventrikel) konstan. Sayangnya, komplians ventrikel normalnya nonlinear (Gambar 19–7). Terlebih lagi, karena fungsi diastolik yang berubah menurunkan komplians ventrikel, TADVK yang sama menggambarkan keadaan preload yang berkurang. Banyak faktor diketahui mempengaruhi fungsi diastolik dan komplians ventrikel. Mesipun demikian, pengukuran TADVK atau tekanan lain yang mendekati TADVK (seperti tekanan kapiler paru) tetap menjadi cara yang paling sering digunakan untuk memperkirakan preload ventrikel kiri (lihat Bab 6). Tekanan vena sentral dapat digunakan sebagai indeks dari preload ventrikel kanan maupun kiri pada kebanyakan individu normal. Faktor yang mempengaruhi komplians ventrikel dapat dipisahkan menjadi faktor yang berkaitan dengan kecepatan relaksasi (komplians awal diastolik) dan kekakuan pasif ventrikel (komplians akhir diastolik). Hipertrofi, iskemia, dan ketidaksinkronan menurunkan komplians awal, sedangkan hipertrofi hpertrofi dan fibrosis menurunkan komplians akhir. Faktor-faktor ekstrinsik (seperti penyakit perikardial, distensi berlebih dari vetrikel kontralateral, meningkatnya tekanan jalan napas atau pleura, tumor, dan kompresi bedah) juga dapat menurunkan komplians ventrikel. Karena dindingnya yang normalnya lebih tipis, ventrikel kanan lebih komplians daripada ventrikel kiri. Afterload Afterload untuk jantung yang intak biasanya sebanding dengan tegangan dinding ventrikel ventrikel selama sistol atau impedance arteri terhadap ejeksi? pengeluaran. Tegangan dinding mungkin dapat dipikirkan sebagai tekanan yang harus diatasi oleh ventrikel untuk mengurangi kavitasnya. Bila ventrikel dianggap berbentuk sferis, tegangan dinding ventrikel dapat dijelaskan dengan hukum Laplace: dimana P adalah tekanan intraventrikel, R adalah radius ventrikel, dan H adalah ketebalan dinding. Meskipun ventrikel normal biasanya berbentuk seperti elips, hubungan ini masih dapat digunakan. Semakin besar radius ventrikel, semakin besar tegangan dinding yang dibutuhkan untuk menghasilkan tekanan ventrikel yang sama. Sebaliknya, peningkatan ketebalan dinding menurunkan tegangan dinding ventrikel. Tekanan sistolik intraventrikel tergantung pada kekuatan kontraksi ventrikel; bahan viskoelastis dari aorta; cabang-cabang proksimalnya, dan darah (viskositas dan densitas); dan resistensi vaskuler sistemik (RVS). Tonus arteriol adalah penentu utama dari RVS. Karena bahan viskoelastik pada pasien biasanya diperbaiki, afterload ventrikel kiri biasanya secara klinis sebanding dengan RVS, yang dihitung dengan persamaan berikut: Dimana MAP adalah mean arterial pressure (rata-rata tekanan arteri) dalam millimeter raksa, CVP adalah central venous pressure (tekanan vena sentral) dalam millimeter raksa, dan CO adalah cardiac output (output jantung) dalam liter per menit. RVS normal adalah 900–1500 dyn · s cm–5. Tekanan darah sistolik juga dapat digunakan sebagai perkiraan afterload ventrikel kiri tanpa adanya perubahan kronik dalam ukuran, bentuk, atau ketebalan dinding ventrikel atau perubahan akut dalam hamabatan vaskuler sistemik. Beberapa klinisi lebih memilih menggunakan CI dibanding CO dalam menghitung indeks resistensi vaskuler sistemik (IRVS) sehingga IRVS = RVS x BSA. Afterload ventrikel kanan terutama bergantung pada resistensi vaskuler sistemik (RVS) dan diekspresikan dalam persamaan berikut: Dimana PAP adalah rerata tekanan arteri pulmonalis (mean pulmonary arterial pressure) dan LAP adalah tekanan atrium kiri (left atrial pressure). Pada praktiknya, tekanan kapiler pulmonalis biasanya digantikan disubstitusi sebagai perkiraan LAP (lihat Bab 6). PVR normal adalah 50–150 dyn · s cm–5. Cardiac output berhubungan terbalik dengan afterload (Gambar 19-8). Karena dindingnya yang lebih tipis, ventrikel kanan lebih sensitif terhadap perubahan afterload dibandingkan dengan ventrikel kiri. Cardiac output pada pasien dengan kelainan ventrikel kanan atau kiri yang bermakna sangat sensitif terhadap peningkatan akut pada afterload. Hal tersebut terutama terjadi pada keadaan depresi miokard (sebagaimana sering terjadi selama anestesia). Kontraktilitas Kontraktilitas jantung (inotropik) adalah kemampuan intrinsik miokard untuk memompa tanpa adanya perubahan dalam preload atau afterload. Kontraktilitas berhubungan dengan kecepatan pemendekan otot miokard, yang mana bergantung pada konsentrasi kalsium intraseluler selama sistol. Peningkatan nadi jantung dapat pula memicu kontraktilitas di bawah kondisi tertentu, kemungkinan karena meningkatnya ketersediaan kalsium intraseluler. Kontraktilitas dapat diubah oleh pengaruh-pengaruh syaraf, humoral, atay farmakologis. Aktivitas sistem syaraf simpatis normalnya mempunyai efek yang paling penting pada kontraktilitas. Serat-serat simpatis menginervasi otot atrium dan ventrikel serta jaringan nodus. Selain efek kronotropik posistifnya, pengeluaran norepinefrin juga meningkatkan kontraktilitas melalui aktivasi reseptor. Reseptor adrenergik juga terdapat di miokard tetapi hanya mempunyai efek inotropik dan kronotropik positif yang minor. Obat-obat simpatomimetik dan sekresi epinefrin dari kelenjar adrenal sama-sama meningkatkan kontraktilitas melalui aktivasi reseptor ??-1. Kontraktilitas miokard ditekan oleh keadaan anoksia, asidosis, deplesi simpanan katekolamin dalam jantung, dan kehilangan massa otot yang fungsional akibat iskemia atau infark. Sebagian besar agen anestesi dan antiaritmia bersifat inotropik negatif (seperti, menurunkan kontraktilitas). Abnormalitas Gerakan Dinding Abnormalitas gerakan dinding regional menyebabkan kehancuran analogi antara jantung yang intak dan persiapan otot skelet. Abnormalitasnya bisa karena iskemia, perlukaan, hipertrofi, atau konduksi yang berubah. Ketika kavitas ventrikel tidak kolaps secara simetris atau sepenuhnya, proses pengosongan menjadi terganggu. Hipokinesis (kontraksi yang berkurang), akinesis (gagal berkontraksi), dan diskinesis (bulging paradoksal) selama sistol menggambarkan derajat abnormalitas kontraksi. Meskipun kontraktilitas mungkin bisa normal atau bahkan meningkat di beberapa area, abnormalitas di area lain dari ventrikel dapat mengganggu pengosongan dan mengurangi stroke volume. Keparahan dari gangguan tersebut tergantung pada ukuran dan jumlah area yang berkontraksi secara abnormal. Disfungsi Katup Disfungsi katup dapat melibatkan katup manapun dari keempat katup yang ada di jantung dan dapat menyebabkan stenosis, regurgitasi (inkompetensi), atau keduanya. Stenosis suatu katup AV (atrioventrikular) (tricuspid dan mitral) mengurangi stroke volume terutama dengan menurunkan preload ventrikel, sedangkan katup semilunar (pulmonalis atau aorta) mengurangi stroke volume terutama dengan meningkatkan afterload ventrikel (lihat Bab 20). Sebaliknya, regurgitasi katup dapat menurunkan stroke volume tanpa perubahan dalam preload, afterload, atau kontraktilitas dan tanpa abnormalitas gerakan dinding. Stroke volume yang efektif dikurangi oleh volume yang mengalami regurgitasi pada setiap kontraksi. Ketika katup AV inkompeten, bagian yang signifikan dari volume end-diastolic ventrikel dapat mengalir mundur ke dalam atrium selama sistol; stroke volume dikurangi oleh volume yang regurgitasi. Hal yang sama juga terjadi ketika katup semilunar inkompeten, fraksi volume end-diastolic kembali mundur ke ventrikel selama diastol . PENILAIAN FUNGSI VENTRIKEL Kurva Fungsi Ventrikel Menggambar cardiac output atau stroke volume terhadap preload berguna dalam mengevaluasi keadaan patologis dan memahami terapi obat. Kurva fungsi ventrikel kanan dan kiri yang normal terlihat pada Gambar 19-9 Diagram tekanan ventrikel-voulme bahkan lebih berguna karena dapat memisahkan kontraktilitas dari preload dan afterload. Dua poin diketahui pada diagram tersebut: -systolic point (poin akhir-sistolik) (ESP) dan end-diastolic point (EDP) (poin end-diastolic) (Gambar 19-10). ESP mencerminkan fungsi sistol, sedangkan EDP lebih mencerminkan fungsi diastolik Pada keadaan kontraktil, seluruh ESP berada pada garis yang sama—seperti, hubungan antara volume end-systolic dan tekanan end-systolic diperbaiki. Penilaian Fungsi Sistolik Perubahan pada tekanan ventrikel over time selama sistol (dP/dt) ditentukan oleh turunan pertama dari kurva tekanan ventrikel dan sering digunakan sebagai ukuran kontraktilitas. Kontraktilitas secara langsung sebanding dengan dP/dt, tetapi pengukuran akurat dari nilai ini memerlukan kateter ventrikel dengan tingkat kepercayaan yang tinggi. Meskipun tracings tekanan arterial mengalami distorsi karena sifat-sifat pohon vaskuler, kecepatan awal kenaikan tekanan (kemiringan/kelandaian) bisa digunakan sebagai perkiraan kasar; semakin proksimal kateter pada pohon arterial, semakin akurat perhitungannya. Kegunaan dP/dt juga terbatas dimana dP/dt dipengaruhi oleh preload, afterload dan nadi jantung. Faktor koreksi yang bervariasi telah digunakan dengan angka keberhasilan yang kecil. Fraksi Ejeksi Fraksi ejeksi ventrikel (EF/Ejection Fraction), fraksi dari volume end-diastolic ventrikel yang dikeluarkan, adalah ukuran klinis dari fungsi sistolik. yang paling sering digunakan. EF dapat dihitung dengan persamaan berikut: Dimana EDV adalah volume diastolic ventrikel kiri dan ESV adalah volume end-systolic. EF normal kira-kira 0.67 ± 0.08. Pengukuran dapat dilakukan sebelum dilakukan operasi kateterisasi jantung, penelitian radionukleotida, atau transthoracic atau TEE. Kateter arteri pulmonalis dengan termistor respon cepat memungkinkan pengukuran EF ventrikel kanan. Sayangnya, ketika resistensi vaskuler paru meningkat, penurunan EF ventrikel kanan lebih mencerminkan afterload dibandingkan kontraktilitas. Penilaian Fungsi Diastolik Fungsi diastolic ventrikel kiri dapat dinilai secara klinis dengan ekokardiografi Doppler pada pemeriksaan transthoracic atau transesophageal. Kecepatan aliran diukur melewati katup mitral selama diastol. Tiga pola disfungsi diastolic umumnya dikenali berdasarkan waktu relaksasi isovolumetrik, rasio puncak aliran diastolik awal (E) terhadap puncak aliran sistolik atrium (A), dan waktu deselerasi (DT/Deceleration Time) dari E (DTE) (Gambar 19-11). Gambar 19-11 SIRKULASI SISTEMIK Vaskularisasi sistemik menurut fungsinya dapat dibagi menjadi arteri, arteriol, kapiler dan vena. Arteri adalah pipa/ saluran bertekanan tinggi yang mensuplai berbagai organ. Arteriol adalah pembuluh darah kecil yang secara langsung memberi nutrisi dan mengontrol aliran darah melalui tiap-tiap cabang-cabang kapiler. Kapiler adalah pembuluh darah berdinding tipis yang memungkinkan pertukaran nutrien antara darah dan jaringan (lihat Bab 28). Vena mengembalikan darah dari cabang-cabang kapiler menuju jantung. Distribusi darah antara komponen yang bervariasi dari sistem sirkulasi ditunjukkan pada Tabel 19-5. Perhatikan bahwa sebagian besar volume darah berada dalam sirkulasi sistemik—secara spesifik, di dalam vena sistemik. Perubahan pada tonus vena sistemik memungkinkan pembuluh darah ini untuk berfungsi sebagai tempat penyimpanan darah. Pada keadaan kehilangan darah atau cairan dalam jumlah yang signifikan, peningkatan tonus vena yang diperantarai syaraf simpatis mengurangi kaliber pembuluh darah dan memindahkan darah menuju bagian lain dari sistem sirkulasi. Sebaliknya, dilatasi vena memungkinkan pembuluh darah ini untuk membantu meningkatkan volume darah. Pengaturan simpatis dari tonus vena merupakan penentu penting dari aliran darah balik (venous return) ke jantung. Kehilangan tonus ini yang menyertai induksi anesthesia sering menyebabkan hipotensi. Keanekaragaman faktor yang mempengaruhi aliran darah pada pohon vaskuler. Faktor tersebut meliputi mekanisme pengaturan lokal dan metabolik, faktor yang berasal dari endotel, sistem syaraf otonom dan hormon yang bersirkulasi. Autoregulasi Sebagian besar jaringan mengatur aliran darahnya sendiri (autoregulasi). Arteriol umumnya berdilatasi sebagai respon terhadap menurunnya tekanan perfusi atau meningkatnya kebutuhan jaringan. Sebaliknya, arteriol mengalami konstriksi sebagai respon terhadap meningkatnya tekanan atau menurunnya kebutuhan jaringan. Fenomena ini mungkin disebabkan baik karena respon intrinsik otot polos vaskuler untuk meregang dan akumulasi produk metabolik yang bersifat vasodilator. Produk metabolik yang dimaksud meliputi K+ , H+, CO2, adenosin, dan laktat. Faktor yang berasal dari Endotel Endotel vaskuler aktif secara metabolic dalam memperluas dan memodifikasi substansi yang secara langsung atau tidak langsung memainkan peranan penting dalam mengontrol tekanan dan aliran darah. Hal tersebut termasuk vasodilator (seperti, nitrit oksida, prostasiklin [PGI2]), vasokonstriktor (endotelin, tromboksan A2), antikoagulan (seperti, trombomodulin, protein C), fibrinolitik (activator plasminogen jaringan), dan factor yang menghambat agregasi platelet (nitrit oksida dan PGI2). Nitrit oksida disintesa dari arginin oleh nitrit oksida sintetase. Substansi ini mempunyai beberapa fungsi (lihat Bab 13). Di dalam sirkulasi, nitrit oksida merupakan vasodilator kuat. Nitrit oksida mengikat guanilat siklase, meningkatkan kadar cGMP dan menyebabkan vasodilatasi. Vasokonstriktor yang berasal dari endotel, endotelin, dilepaskan sebagai respon terhadap thrombin dan epinefrin. Pengaturan Otonom Vaskularisasi Sistemik Meskipun sistem simpatis dan parasimpatis keduanya dapat memberikan pengaruh penting pada sirkulasi, pengaturan otonom vaskularisasi terutama oleh sistem simpatis. Pengaliran simpatis menuju sirkulasi berasal dari medulla spinalis seluruh segmen toraks dan segmen lumbal satu dan dua. Serabut syaraf ini mencapai pembuluh darah melalui syaraf otonom spesifik atau dengan berjalan sepanjang syaraf-syaraf spinalis. Serabut simpatis menginnervasi seluruh bagian vaskularisasi kecuali kapiler. Fungsi dasarnya adalah untuk mengatur tonus vaskular. Variasi tonus vaskuler arterial berperan mengatur tekanan darah dan distribusi aliran darah menuju berbagai organ, sedangkan variasi pada tonus vena mengubah aliran darah balik ke jantung (venous return). Vaskularisasi mempunyai serabut simpatis vasokonstriktor dan vasodilator, tetapi pada sebagian besar jaringan, secara fisiologis serabut simpatis vasokonstriktor lebih penting. Vasokonstriksi yang diinduksi oleh sistem simpatis (melalui reseptor ?1 adrenergik) dapat menjadi poten pada otot skelet, ginjal, usus dan kulit; bersifat sangat kurang aktif di otak dan jantung. Serabut vasodilator yang terpenting adalah serabut-serabut yang mensyarafi otot skelet, menyebabkan peningkatan aliran darah (melalui reseptor ??2-adrenergik) sebagai respon terhadap latihan. Sinkop vasodepresor (vasovagal), yang dapat terjadi setelah ketegangan emosional berhubungan dengan tonus simpatis yang tinggi. Dihasilkan dari aktivasi refleks serabut vasodilator vagal dan simpatis. Tonus vaskuler dan pengaruh otonom pada jantung dikendalikan oleh pusat vasomotor di formasio retikularis pada medulla dan bagian bawah pons. Area vasokonstriktor dan vasodilator yang jelas telah teridentifikasi. Vasokonstriksi diperantarai oleh area anterolateral dari pons bagian bawah dan medulla bagian atas. Sel-sel adrenergik pada area ini berada pada kolumna intermediolateral (lihat Bab 18). Sel-sel tersebut juga bertanggung jawab atas sekresi adrenal katekolamin serta peningkatan otomatisasi dan kontraktilitas jantung. Area vasodilator, yang treletak di medulla bagian bawah, juga bersifat adrenergik tetapi fungsinya memproyeksikan serabut-serabut penghambat ke atas menuju area vasokonstriktor. Output vasomotor dimodifikasi oleh input dari seluruh sistem syaraf pusat, termasuk hipotalamus, korteks serebri, dan tempat-tempat lain di batang otak. Area di posterolateral medulla menerima input dari nervus vagus dan glossofaringeal dan berperan penting dalam membantu terjadinya berbagai refleks sirkulasi. Sistem simpatis normalnya mempertahankan tonus vasokonstriksi pada pohon vaskuler. Kehilangan tonus ini setelah dilakukannya induksi anestesia atau simpatektomi seringkali menyebabkan keadaan hipotensi perioperatif. TEKANAN DARAH ARTERIAL Alirah darah sistemik bersifat pulsatil pada arteri besar karena aktivitas siklik jantung; pada saat darah mencapai kapiler sistemik, alirannya kontinyu (laminer). Tekanan rata-rata pada arteri besar, yang normalnya sekitar 95 mmHg, turun hampir mencapai nol pada vena sistemik besar yang mengembalikan darah ke jantung. Penurunan tekanan terbesar, hampir 50%, adalah melewati arteriol, dimana sangat berhubungan dengan SVR. MAP sesuai dengan hasil dari SVR x CO. Hubungan ini berdasarkan sebuah analogi dari hukum Laplace sebagaimana diterapkan pada sirkulasi: Karena CVP normalnya sangat kecil dibanding dengan MAP, maka CVP biasanya dapat diabaikan. Dari hubungan ini, sudah jelas bahwa hipotensi adalah hasil dari penurunan SVR, CO atau keduanya. Untuk mempertahankan tekanan darah arterial, penurunan dari salah satunya harus dikompensasi dengan peningkatan oleh lainnya. MAP dapat diukur sebagai rerata dari tekanan arterial. Sebagai alternatif, MAP dapat diperkirakan dengan formula berikut: Dimana tekanan nadi merupakan perbedaan antara tekanan darah sistolik dan diastolik. Tekanan nadi arterial secara langsung berhubungan dengan stroke volume tetapi tidak bersesuaian dengan komplians pohon arterial. Meskipun demikian, penurunan tekanan nadi mungkin disebabkan olej penurunan stroke volume, peningkatan SVR, atau keduanya. Transmisi gelombang arterial dari arteri besar sampai pembuluh darah yang lebih kecil di perifer lebih cepat dibndingkan kecepatan darah yang sesungguhnya; gelombangnya berjalan dengan kecepatan 15 kali kecepatan darah di aorta. Selain itu, refleksi dari dinding arteri yang menyebarkan gelombang memperluas tekanan nadi sebelum gelombang nadi mengecil seluruhnya di arteri yang sangat kecil (lihat Bab 6). Pengaturan Tekanan Darah Arterial Tekanan darah arterial diatur oleh suatu rangkaian pengaturan cepat, menengah dan jangka panjang yang melibatkan kompleks neural, humoral dan mekanisme ginjal. Pengaturan Cepat Kontrol tekanan darah menit ke menit merupakan fungsi utama dari refleks sistem syaraf otonom. Perubahan pada tekanan darah dirasakan baik di sentral (di area hipotalamus dan batang otak) dan di perifer oleh sensor khusus (baroreseptor). Penurunan tekanan darah arterial memacu tonus simpatis, meningkatkan sekresi adrenal yaitu epinefrin, dan menekan aktivitas vagal. Vasokonstriksi sistemik yang timbul, peninggian denyut jantung dan peningkatan kontraktilitas jantung meningkatkan tekanan darah. Sebaliknya, hipertensi menurunkan aliran simpatis dan memacu tonus vagal. Baroreseptor perifer terletak di percabangan (bifurkasio) antara arteri karotis komunis dan arkus aorta. Peningkatan tekanan darah meningkatkan discharge baroreseptor, menghambat vasokonstriksi sistemik dan memacu tonus vagal (refleks baroreseptor). Penurunan tekanan darah menurunkan discharge baroreseptor, menyebabkan vasokonstriksi dan penurunan tonus vagal. Baroreseptor karotis mengirimkan sinyal aferen untuk pusat batang otak yang mengatur sirkulasi melalui nervus Hering (cabang dari nervus glossofaringeus), sedangkan sinyal aferen dari baroreseptor aorta berjalan sepanjang nervus vagus. Dari kedua sensor perifer tersebut, baroreseptor karotis secara fisiologi lebih penting dan terutama bertanggungjawab dalam meminimalisir perubahan tekanan darah yang disebabkan oleh kejadian akut, seperti perubahan posisi. Baroreseptor karotis paling efektif dalam mengatur MAP bila tekanannya antara 80 sampai 160 mmHg. Adaptasi terhadap perubahan tekanan darah akut terjadi dalam waktu 1-2 hari, membuat refleks ini menjadi tidak efektif untuk pengaturan tekanan darah jagka panjang. Semua bahan agen anestesi yang dapat menguap menekan respon baroreseptor normal, tetapi isoflurane dan desflurane ternyata memiliki efek yang paling minimal. Reseptor peregangan kardiopulmoner yang terletak di atrium, ventrikel kiri, dan sirkulasi paru dapat menyebabkan efek yang sama. Pengaturan Sedang (Intermediate) Dalam waktu beberapa menit, penurunan tekanan darah yang dipertahankan bersama dengan aliran simpatis mengaktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron (lihat Bab 31), meningkatkan sekresu argininevasopressin (AVP), dan mengubah pertukaran cairan kapiler normal (lihat Bab 28). Angiotensin II dan AVP sama-sama merupakan vasokonstriktor kuat. Aksi cepatnya adalah meninkatkan SVR. Berbeda dengan pembentukan angiotensin II, meskipun demikian, hipotensi sedang sampai berat diperlukan untuk sekresi AVP yang cukup untuk menyebabkan vasokonstriksi. Angiotensin mengkonstriksikan arteiol melalui reseptor AT1. AVP memperantarai vasokonstriksi memlaui reseptor V1 dan menggunakan efek antidiuretiknya melalui reseptor V2. Perubahan tekanan darah arterial yang dipertahankan dapat pula mengubah pertukaran cairan di jaringan dengan efek sekundernyaterhadap tekanan kapiler. Hipertensi meningkatkan pergerakan interstisial dari cairan intravaskuler, sedangkan hipotensi meningkatkan reabsorpsi cairan interstisial. Perubahan kompensatorik dalam volume intravaskuler seperti inidapat mengurangi fluktuasi tekanan darah, khususnya pada keadaan dimana fungsi ginjal tidak adekuat (lihat bawah). Pengaturan Jangka Panjang Efek mekanisme ginjal yang lebih lambat menjadi jelas dalam beberapa jam terjadinya perubahan tekanan aterial yang dipertahankan. Sebagai hasilnya, ginjal mengubah sodium total di tubuh dan keseimbangan air untuk mengembalikan tekanan darah ke normal. Hipotensi menyebabkan retensi sodium (dan air), sedangakn hipertensi umumnya meningkatkan ekskresi sodium pada orang normal (lihat Bab 28). ANATOMI DAN FISIOLOGI SIRKULASI KORONER Anatomi Suplai darah miokardium seluruhnya diperoleh dari arteri koronaria kanan dan kiri (Gambar 19-12). Darah mengalir dari epikardial menuju pembuluh darah endokardial. Setelah memasuki miokardium, darah kembali ke atrium kanan melalui sinus koronaria dan vena-vena jantung anterior. Sejumlah kecil darah langsung ke ruang jantung melalui vena thebesian. Gambar 19-12 Anatomi arteri koronaria pada pasien dengan sirkulasi dominan kanan. A: gambaran oblique anterior kanan. B: Gambaran oblique anterior kiri. Arteri koronaria kanan (RCA: Right Coronary Artery) normalnya memsuplai darah ke atrium kanan, sebagian besar ventrikel kanan dan bagian-bagian tertentu pada ventrikel kiri (dinding inferior). Pada 85% orang, RCA member percabangan ke arteri desenden posterior (PDA: Posterior Descending Artery), yang mensuplai septum interventrikuler superior-posterior dan dinding inferior—sirkulasi dominan kanan; pada 15% orang lainnya, PDA adalah cabang dari arteri koronaria kiri—sirkulasi dominan kiri. Arteri koronaria kiri normalnya mensuplai atrium kiri dan sebagian besar septum interventrikuler dan ventrikel kiri (dinding septal, anterior dan lateral). Ateri koronaria kiri bercabang menjadi arteri desenden anterior kiri (LAD) dan arteri sirkumfleksa (CX); LAD mensuplai dinding septum dan dinding anterior dan CX mensuplai dinding lateral. Pada sirkulasi dominan kiri, CX melanjut sebagai PDA yang juga mensuplai sebagian besar dinding septum posterior dan dinding inferior. Suplai arterial ke nodus SA diperoleh dari RCA (pada 60% orang) atau LAD (pada 40% orang). Nodus AV biasanya disuplai oleh RCA (85-90%) atau, lebih jarang lagi, oleh CX (10-15%); Bundle His memiliki dua suplai darah yaitu dari PDA dan LAD. Otot papilaris anterior dari katup mitral juga memiliki dua suplai darah yaitu berasal dari cabang diagonal dari LAD dan cabang marginal dari CX. Sebaliknya, otot papilaris posterior katup mitral biasanya hanya disuplai oleh PDA dan oleh karena itu lebih rawan untuk mengalami disfungsi iskemik. Determinan Perfusi Koroner Perfusi koroner sifatnya unik karena perfusinya lebih sering terjadi secara intermiten dibandingkan secara kontinyu, sebagaimana yang terjadi pada organ lain. Selama kontraksi, tekanan intramiokardium pada ventrikel kiri mendekati tekanan arteri sistemik. Kekuatan kontraksi ventrikel kiri hampir menutupi secara keseluruhan bagian intramiokardium dari arteri koronaria; pada kenyataannya, untuk sementara aliran darah masih dapat kembali di pembuluh darah epikardial. Bahkan selama akhir diastole, tekanan ventrikel kiri melebihi tekanan vena (atrium kanan). Jadi, tekanan perfusi koroner biasanya ditentukan oleh perbedaan antara tekanan aorta dan tekanan ventrikel, dan ventrikel kiri mendapat perfusi hampir seluruhnya selama fase diastol. Sebaliknya, ventrikel kanan mendapatkan perfusi selama fase sistol dan diastol (Gambar 19-13). Selain itu, sebagai determinan/penentu aliran darah miokardium, tekanan diastolic aterial lebih penting daripada tekanaan arterial rata-rata. Gambar 19-13 Aliran darah koroner selama siklus jantung. (Dimodifikasi dan direproduksi, dengan ijin, dari Berne RM, Levy MD: Cardiovascular Physiology, Edidi kedua. Mosby, 1972.). Penurunan tekanan aorta atau peningkatan tekanan end-diastolic ventrikel dapat menurunkan tekanan perfusi koroner. Penngkatan denyut jantung juga menurunkan perfusi koroner karena reduksi waktu diastolik yang lebih besar yang tidak sesuai dengan peningkatan denyut jantung (Gambar 19-14). Karena hal tekanan intramural terbesar terjadi selama sistol, endokardium cenderung menjadi sangat rawan terhadap iskemia selama penurunan tekanan perfusi koroner. Gambar 19-14 Hubungan antara waktu diastolic dan denyut jantung. Pengaturan Aliran Darah Koroner Aliran darah koroner normalnya parallel dengan kebutuhan metabolic miokardium. Pada rata-rata orang dewasa, aliran darah koroner mencapai 250 mL/menit pasa saat istirahat. Miokardium mengatur aliran darahnya sendiri agar selalu mendekati tekanan diantara 50 dan 120 mmHg. Bila lebih dari kisaran ini, aliran darah akan tergantung pada tekanan yang meningkat. Di bawah kondisi normal, perubahan aliran darah seluruhnya disebabkan oleh variasi tonus ateri koronaria (resistensi) sebagai respon terhadap kebutuhan metabolic. Hipoksia—baik secara langsung, atau tidak langsung melalui pelepasan adenosine—menyebabkan vasodilatasi koroner. Pengaruh otonom biasanya lemah. Reseptor adrenergik 1 dan 2 terdapat pada arteri koronaria. Reseptor 1 terutama terletak pada pembuluh darah epikardial yang lebih besar, sedangkan reseptor 2 terutama ditemukan pada pembuluh darah intramuskuler dan subendokardial yang lebih kecil. Stimulasi simpatis umumnya meningkatkan aliran darah miokardium karena terjadi peningkatankebutuhan metabolic dan karena aktivasi predominan reseptor 2. Efek parasimpatis pada vaskularisasi koroner umumnya minor dan efeknya adalah vasodilatasi lemah. Keseimbangan Oksigen Miokardium Kebutuhan oksigen miokardium biasanya merupakan penentu terpenting dari aliran darah miokardium. Kontribusi relatif terhadap kebutuhan oksigen meliputi kebutuhan basal (20%), aktivitas elektrik (1%), kerja volume (15%), dan kerja tekanan (64%). Miokardium biasanya mengambil 65% oksigen di darah arterial, dibandingkan dengan 25% di sebagian besar jaringan lain (lihat Bab 22). Saturasi oksigen sinus koronaria biaanya adalah 30%. Oleh karena itu, miokardium (tidak seperti jaringan lain) tidak dapat mengkompensasi penurunan tekanan darah dengan mengambil lebih banyak oksigen dari hemoglobin. Setiap peningkatan kebutuhan metabolik miokardium harus diikuti dengan peningikatan aliran darah koroner. Tabel 19-6 berisi faktor-faktor yang paling penting dalam kebutuhan dan suplai oksigen miokardium. Catat bahwa denyut jantung dan tekanan end-diastolic ventrikel merupakan determinan/penentu penting bagi suplai dan kebutuhan darah. Tabel 19-6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keseimbangan Suplai dan Kebutuhan Oksigen Miokardium Suplai   Denyut Jantung     Waktu diastolik   Tekanan Perfusi koroner     Tekanan darah diastolic aorta     Tekanan end-diastolic ventrikel   Isi oksigen arterial     Tegangan oksigen arterial     Konsentrasi hemoglobin   Diameter pembuluh darah koroner Kebutuhan   Kebutuhan basal   Denyut jantung   Tengangan dinding     Preload (radius ventrikel)     Afterload   Kontraktilitas Efek Agen Anestesia Sebagian besar agen anestesi yang mudah menguap (volatil)merupakan vasodilator koroner. Efeknya pada aliran darah koroner bervariasi karena kemampuan langsung dalam menyebabkan vasodilatasi, reduksi kebutuhan metabolik miokardium (dan penurunan sekunder oleh karena autoregulasi), dan efeknya pada tekanan darah arterial. Meskipun mekanismenya tidak jelas, tetapi diketahui melibatkan aktivasi channel ATP yang sensitif terhadap K+ dan stimulasi reseptor adenosine (A1). Halotan dan isoflurane mempunyai efek yang terkuat; halotan terutama mempengaruhi pembuluh darah koroner yang besar, sedangkan isoflurane terutama mempengaruhi pembuluh darah yang lebih kecil. Vasodilatasi yang disebabkan oleh desflurane tampaknya diperantarai oleh sistem otonom, sedangkan sevoflurane kurang mempunyai efek vasodilatasi koroner. Pada penggunaan isoflurane tidak terjadi autoregulasi vasodilatasi yang tergantung pada dosis. Bukti bahwa anestesi volatil menyebabkan “coronary steal phenomena” pada manusia masih sangat kurang. Agen volatile memberikan efek yang menguntungkan pada kondisi iskemia miokard dan infark. Mereka tidak hanya menurunkan kebutuhan oksigen miokardium tetapi juga bersifat protektif terhadap kerusakan reperfusi; efek tersebut juga diperantarai oleh aktivasi channel ATP yang sensitif terhadap K+. Beberapa bukti juga mengarah bahwa agen anestesi volatil mempercepat pemulihan miokardium yang “terhenti”. Selain itu, meskipun menurunkan kontraktilitas miokardium, namun bisa menguntungkan bagi pasien dengan gagal jantung karena agen anestesi volatil menurunkan preload dan afterload. PATOFISIOLOGI GAGAL JANTUNG Gagal jantung sistolik terjadi ketika jantung gagal untuk memompa darah dalam jumlah cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Manifestasi klinis biasanya mencerminkan efek dari output jantung yang rendah pada jaringan (misalnya, fatique, kekurangan oksigen, asidosis), darah yang membendung di belakang ventrikel yang mengalami kegagalan (kongesti vena pulmonaris atau sistemik), atau keduanya. Ventrikel kiri paling sering terlibat, sering disertai dengan keterlibatan ventrikel kanan. Kegagalan pada ventrikel kanan saja dapat terjadi pada keadaan penyakit lanjut parenkim paru atau vascular paru. Kegagalan ventrikel kiri paling sering disebabkann oleh disfungsi miokardium primer (biasanya dari penyakit arteri koronaria), tetapi dapat pula disebabkan oleh disfungsi katup, aritmia atau penyakit perikardial. Disfungsi diastolic dapat pula menyebabkan gejala gagal jantung sebagai akibat dari hipertensi atrial (Gambar 19-15). Penyebab umum meliputi hipertensi, penyakit arteri koronaria, kardiomiopati hipertrofi, dan penyakit perikardial. Meskipun disfungsi diastolik dapat menyebabkan gagal jantung bahkan pada keadaan fungsi sistolik normal, disfungsi sistolik dan diastolic umumnya berhubungan. Gambar 19-15 Hubungan tekanan ventrikel–volume pada disfungsi sistolik dan diastolik. (Dimodifikasi dan direproduksi, dengan ijin, dari Zile MR: Mod Concepts Cardiovasc Dis 1990;59:1.) Cardiac output (output jantung) berkurang pada sebagian besar bentuk gagal jantung. Penghantaran oksigen yang tidak adekuat ke jaringan dicerminkan oleh tegangan oksigen vena campuran yang rendah dan peningkatan perbedaan isi oksigen arteriovenosa (lihat Bab 22). Pada gagal jantung yang terkompensasi, perbedaan arteriovena bisa normal pada saat istirahat, tetapi perbedaan tersebut meningkat dengan cepat selama stress dan beraktivitas. Gagal jantung jarang berhubungan dengan cardiac output yang meningkat. Bentuk gagal jantung ini paling sering terlihat bersama sepsis dan keadaan hipermetabolik lainnya, yang khususnya berkaitan dengan SVR yang rendah. MEKANISME KOMPENSASI Mekanisme kompensasi utama yang umumnya terjadi pada pasien dengan gagal jantung meliputi meningkatnya preload, meningkatnya tonus simpatis, aktivasi sistem renin-angitensin-aldosteron, pelepasan AVP, dan hipertrofi ventrikel. Meskipun mekanisme ini awalnya dapat mengkompensasi disfungsi jantung ringan sampai sedang, dengan meningkatnya keparahan disfungsi, mekanisme tersebut malah akan menyebabkan gangguan jantung. Meningkatnya Preload Peningkatan ukuran ventrikel tidak hanya mencerminkan ketidakmampuan untuk mengikuti venous return tetapi juga berperan memaksimalkan stroke volume dengan menaikkan kurva Starling (lihat Gambar 19-6). Bahkan ketika EF berkurang, peningkatan volume end-diastolic ventrikel dapat mempertahankan stroke volume normal. Kongesti vena yang semakin parah yang disebabkan oleh bendungan darah di belakang ventrikel yang mengalami kegagalan dan dilatasi ventrikel yang berlebihan dapat dengan cepat menyebabkan penurunan klinis. Kegagalan ventrikel kiri menyebabkan kongesti vaskuler dan transudasi cairan yang progresif, pertama menuju interstisial paru dan kemudian menuju alveoli (udem paru). Kegagalan ventrikel kanan menyebabkan hipertensi vena sistemik, yang menyebabkan udem perifer, kongesti dan disfungsi hepar, dan asites. Dilatasi annulus katup AV ,enyebabkan regurgitasi katup, lebih jauh lagi mengganggu output ventrikel. Meningkatnya Tonus Simpatis Aktivasi simpatis meningkatkan pelepasan norepinefrin dari akhiran syaraf di jantung dan sekresi epinefrin adrenal menuju sirkulasi. Kadar katekolamin plasma umumnya sesuai dengan derajat disfungsi ventrikel kiri. Meskipun aliran simpatis yang dipacu awalnya dapat mempertahankan cardiac output dengan meningkatkan denyut jantung dan kontraktilitas, fungsi ventrikel yang semakin parah menyebabkan derajat vasokonstriksi yang meningkat dalam usaha untuk mempertahankan tekanan darah arterial. Peningkatan afterload yang terkait, meskipun demikian, menurunkan cardiac output dan mempercepat kegagalan ventrikel. Aktivasi simpatis yang kronik pada pasien dengan gagal jantung pada akhirnya menurunkan respon reseptor adrenergik terhadap katekolamin (regulasi turun), jumlah reseptor, dan simpanan katekolamin jantung. Meskipun demikian, jantung yang mengalami kegagalan menajdi semakin ketergantungan dengan katekolamin yang beredar/bersirkulasi. Penarikan yang mendadak dari aliran simpatis atau penurunan kadar katekolamin yang beredar, seperti yang dapat terjadi setelah induksi anestesia , dapat menyebabkan dekompensasi jantung akut. Densitas reseptor M2 yang berkurang juga menurunkan pengaruh parasimpatis pada jantung. Aktivasi simpatis cenderung untuk mendistribusikan kembali output aliran darah sistemik keluar dari kulit, usus, ginjal, dan otot skelet menuju ke jantung dan otak. Menurunnya perfusi ginjal bersamaan dengan aktivitas adrenergik 1 pada apparatus juxtaglomerular mengaktivasi aksis renin-angiotensin-aldosteron (lihat Bab 28), yang menyebabkan retensi sodium dan edema interstisial. Selain itu, vasokonstriksi sekunder karena meningginya kadar angiotensin II meningkatkan afterload ventrikel kiri dan menyebabkan penurunan fungsi sistolik lebih lanjut. Penurunan fungsi sistolik bertanggung jawab atas efektifitas penghambat enzim yang mengubah angiotensin pada gagal jantung. Gejala-gejala dpaat mengalami perbaikan pada sebagian pasien dengan pemberian penghambat adrenergik dosis rendah secara hati-hati. AVP yang beredar kadarnya seringkali dua kali di atas normal pada pasien dengan gagal jantung berat. Peninggian AVP juga meningkatkan afterload ventrikel dan bertanggungjawab atas defek pada pembersihan air bebas yang umumnya berkaitan dengan hiponatremia (lihat Bab 28). Peptida natriuretik atrium terutama ditemukan pada jaringan atrium. Hormon ini dilepaskan sebagai respon terhadap distensi atrium dan memiliki efek yang bermanfaat pada gagal jantung. Hormon ini merupakan vasodilator kuat dan memiliki kemampuan yang berkebalikan dengan efek angiotensin, aldosteron dan AVP. Hipertrofi Ventrikel Hipertrofi ventrikel dapat terjadi dengan atau tanpa dilatasi, tergantung pada tipe stress yang terjadi pada ventrikel. Ketika jantung mengalami overload volume ataupun tekanan, rspon awalnya adalah meningkatkan panjang sarkomer dan menumpuk (overlapping) aktin dan myosin secara optimal. Dengan berjalannya waktu, massa otot ventrikel mulai bertambah sebagai respon terhadap stress yang abnormal. Pada ventrikel yang mengalami kelebihan volume, masalahnya adalah peningkatan stress pada dinding diastolik. Penambahan massa otot ventrikel hanya cukup untuk mengkompensasi peningkatan diameter: rasio radius ventrikel terhadap ketebalan dinding tidak berubah. Sarkomer bereplikasi secara bertahap, menyebabkan hipertrofi eksentrik. Meskipun RF ventrikel tetap tertekan, peningkatan volume end-diastolic dapat mempertahankan stroke volume (dan cardiac output) saat istirahat tetap normal. Masalah pada ventrikel yang mengalami tekanan berlebih adalah adanya peningkatan stress pada dinding sistolik. Sarkomer pada kasus ini terutama bereplikasi secara paralel, menyebabkan hipertrofi konsentrik. Hipertrofi tersebut seperti yang terjadi bila rasio ketebalan dinding miokardium terhadap radius ventrikel meningkat. Seperti yang terlihat pada hukum Laplace, stres dinding sistolik kemudian dapat dinormalkan. Hipertrofi ventrikel, khususnya yang disebabkan oleh tekana yang berlebihan, biasanya menyebabkan disfungsi diastolik progresif. DISKUSI KASUS : SEORANG PASIEN DENGAN INTERVAL P–R PENDEK Seorang pria 38 tahun dijadwalkan untuk pembedahan sinus dengan endoskopi setelah mengalami nyeri kepala baru-baru ini. Dia menceritakan riwayat pernah pingsan setidaknya satu kali selama mengalami nyeri kepala. Elektrokardiogram preoperatif (ECG) normal kecuali interval P-R nya 0.116 detik dengan bentuk gelombang P normal. Apa Makna dari Interval P-R Pendek? Interval P–R, yang diukur dari permulaan depolarisasi atrium (gelombang P) sampai permulaan dari depolarisasi ventrikel (kompleks QRS), biasanya menggambarkan waktu yang dibutuhkan untuk repolarisasi kedua atrium, nodus AV dan sistem His-Purkinje. Meskipun interval P-R bisa bervariasi dengan denyut jantung, normalnya berdurasi 0.12-0.2 detik. Interval P-R pendek yang abnormal dapat munucul dengan ritme atrium yang rendah (atau AV junction atas) atau fenomena preeksitasi. Keduanya biasanya dapat dibedakan dengan morfologi gelombang P: Dengan ritme atrium yang rendah, depolarisasi atrium bersifat retrograde, menyebabkan gelombang P terbalik (inverted P) pada lead II, II dan aVF; dengan preeksitasi, gelombang P normal selama ritme sinus. Bila ritme pacemaker yang berasal dari AV junction bagian bawah, gelombang P akan tertutupi oleh kompleks QRS atau mengikuti kompleks QRS. Apakah itu Preeksitasi? Preeksitasi biasanya mengacu pada depolarisasi dini dari ventrikel oleh jalur konduksi yang abnormal dari atrium. Jarang terdapat lebih dari satu jalur seperti itu. Bentuk yang paling umum dari preeksitasi disebabkan oleh keberadaan jalur tambahan (Bundle of Kent) yang menghubungkan salah satu atrium dengan salah satu ventrikel. Hubungan yang abnormal antara atrium dan ventrikel ini menyebabkan impuls elektrik dapat langsung melewati nodus AV (oleh karena itu istilahnya jalur bypass). Kemampuan untuk mengkonduksikan impuls sepanjang jalur bypass bisa sangat bervariasi dan mungkin hanya intermiten atau tergantung kecepatan. Jalur bypass dapat mengkonduksikan ke dua arah, retrograde saja (ventrikel ke atrium) atau, antegrade saja (atrium ke ventrikel). Nama sindroma Wolff–Parkinson–White (WPW) sering digunakan pada preeksitasi ventrikel yang berhubungan dengan takiaritmia. Bagaimana Preeksitasi dapat Memperpendek Interval P–R ? Pada pasien dengan preeksitasi, impuls jantung normal yang berasal dari nodus SA dikonduksikan secara simultan melalui jalur normal (nodus AV) dan tidak normal (jalur bypass). Karena konduksi melalui jalur bypass lebih cepat, impuls jantung dengan cepat mencapai dan mendepolarisasi area di ventrikel dimana jalur bypass berakhir. Depolarisasi dini dari ventrikel ini digambarkan oleh interval P-R yang pendek dan defleksi awal yang tertutup (gelombang ) pada kompleks QRS. Penyebaran impuls yang tidak normal ke bagian ventrikel lainnya tertunda karena harus dikonduksikan oleh otot ventrikel biasa, bukan oleh sistem Purkinje yang jauh lebih cepat. Bagian lain dari ventrikel kemudian mengalami depolarisasi oleh impuls normal dari nodus AV mengikuti preeksitasi yang sudah lebih dulu terjadi. Meskipun interval P-R diperpendek, QRS yang timbul hanya sedikit memanjang dan menggambarkan kompleks perpaduan antara depolarisasi ventrikel yang normal dan abnormal. Interval P-R pada pasien dengan preeksitasi tergantung pada waktu konduksi relatif antara jalur nodus AV dan jalur bypass. Bila konduksi melalui jalur nodus AV itu cepat, preeksitasi (dan gelombang ) menjadi kurang menonjol, dan QRS akan relatif normal. Bila konduksi pada jalur nodus AV terlambat, preeksitasi akan lebih menonjol, dan lebih banyak bagian ventrikel yang mengalami depolarisasi oleh impuls dengan konduksi yang abnormal. Ketika jalur nodus AV terhambat total, seluruh ventrikel mengalami depolarisasi dengan jalur bypass, menyebabkan interval P-R sangat pendek, gelombang sangat menonjol, dan kompleks QRS yang melebar dan aneh. Faktor lain yang mempegaruhi derajat preeksitasi meliputi waktu konduksi interatrial, jarak ujung atrium jalur bypass dari nodus SA dan tonus otonom. Interval P-R sering normal atau hanya sedikit memendek dengan jalur bypass lateral kiri (lokasi yang paling sering). Preeksitasi dapat lebih jelas lagi pada keadaan denyut jantung yang cepat karena konduksi memperlambat melewati nodus AV dengan bertambahnya denyut jantung. Perubahan segmen ST sekunder dan gelombang T juga umum terjadi karena repolarisasi ventrikel yang abnormal. Apakah Makna Klinis dari Preeksitasi? Preeksitasi terjadi pada sekitar 0.3% dari populasi umum. Diperkirakan 20-50% dari orang yang terkena mengalami takiaritmia paroksismal, khususnya takikardi supraventrikuler paroksismal (PSVT: Paroxysmal Supraventricular Tachycardia). Meskipun sebagian pasien tetap normal, preeksitasi dapat dihubungkan dengan anomaly jantung lainnya, meliputi anomaly Ebstein, prolaps katup mitral, dan kardiomiopati. Tergantung pada kemampuan konduksinya, jalur bypass pada beberapa pasien dpat menjadi predisposisi terjadinya takiaritmia dan bahkan kematian mendadak. Takiaritmia meliputi PSVT, fibrilasi atrium, dan lebih jarang lagi, denyut atrial. Fibrilasi ventrikel dapat dicetuskan oleh denyut atrial yang muncul terlalu dini yang berjalan melewati jalur bypass dan menyebabkan ventrikel mengalami periode yang rawan. Alternatifnya, konduksi impuls yang sangat cepat menuju ventrikel oleh jalur bypass selama fibrilasi atrium dapat dengan cepat menyebabkan iskemi miokardium, hipoperfusi dan hipoksia dan memuncaknya fibrilasi ventrikel. Pengenalan fenomena preeksitasi juga penting karena bentuk QRS pada permukaan ECG dapat menyerupai bundle branch block (blok cabang bundle), hipertrofi ventrikel kanan, infark miokard dan takikardi ventrikel (selama fibrilasi atrium). Apakah Makna Riwayat Sinkop Pada Pasien ini? Pasien ini sebaiknya dievaluasi sebelum operasi oleh ahli kardiologi untuk kemungkinan penelitian elektrofisiologi, ablasi radiofrekuensi kuratif dari jalur bypass dan kepentingan terapi obat preoperatif. Penelitian seperti ini dapat emngindentifikasi lokasi jalur bypass, memprediksikan potensi aritmia maligna akibat pemberian denyut yang terprogram dan menilai efektifitas terapi antiaritmia bila ablasi kuratif tidak memungkinkan: ablasi dilaporkan dapat menyembuhkan lebih dari 90% pasien. Riwayat sinkop mungkin merupakan hal yang tidak baik karena mengindikasikan kemampuan konduksi impuls yang sangat cepat melalui jalur bypass, menyebabkan hipoperfusi sistemik dan mungkin menjadi predisposisi bagi pasien untuk mengalami kematian mendadak. Pasien dengan takiaritmia asimtomatik yang kambuh-kambuhan umumnya tidak memerlukan investigasi atau terapi obat profilaksis. Pasien dengan takiaritmia episode sering atau aritmia yang berhubungan dengan gejala yang signifikan membutuhkan trerapi obat dan evaluasi ketat. Bagaimana Takiaritmia Umumnya Terjadi? Takiaritmia terjadi sebagai akibat dari pembentukan impuls yang abnormal atau pengembangan dari impuls yang abnormal (reentry). Impuls abnormal merupakan akibat dari otomatisasi yang dipercepat, otomatisasi abnormal atau aktivitas yang dipacu. Biasanya hanya sel nodus SA, jalur konduksi atrial khusus, area junction nodus AV, dan sistem His-Purkinje mendepolarisasi secara spontan. Karena repolarisasi diastolik (fase 4) tercepat pada nodus SA, area otomatisasi lainnya tersupresi. Meskipun demikan, otomatisasi yang dipercepat atau abnormal pada area lainnya, dapat mengambil alih fungsi pacemaker dari nodus SA dan menyebabkan takikardi. Aktivitas yang dipacu merupakan akibat dari keadaan awal setelah depolarisasi (fase 2 atau 3) atau keadaan lanjut setelah depolarisasi (setelah fase 3). Terdiri dari depolarisasi amplitudo kecil yang dapat mengikuti potensial aksi di bawah keadaan tertentu pada jaringan atrium, ventrikel dan His-Purkinje. Bila keadaan setelah depolarisasi ini mencapai potensi ambang, maka dapat menyebabkan takiaritmia ekstrasistol atau repetitif yang dipertahankan. Faktor yang dapat menyebabkan pembentukan impuls abnormal meliputi naiknya kadar katekolamin, kelainan elektrolit (hiperkalemia, hipokalemia, dan hiperkalsemia), iskemia, hipoksia, regangan mekanik dan keracunan obat (khususnya digoksin). Mekanisme takiaritmia yang paling umum adalah reentry. Empat kondisi diperlukan untuk mengawali dan mempertahankan reentry (Gambar 19-6): (1) dua area di miokardium yang berbeda dalam konduktivitas atau refractoriness dan yang dapat membentuk loop elektrik tertutup; (2) blok tidak terarah pada satu jalur (Gambar 19-16 A dan B); (3) konduksi lambat atau panjang yang cukup pada sirkuit untuk memungkinkan pemulihan blok konduksi pada jalur pertama (Gambar 19-16 C); dan (4) eksitasi jalur awal yang terblok untuk memenuhi loop (Gambar 19-16 D). Reentry biasanya dipicu oleh adanya impuls jantung yang terlalu dini (prematur). Gambar 19-16 A–D: Mekanisme reentry. Lihat teks untuk penjelasannya. Apa Mekanisme PSVT pada Pasien dengan Sindroma WPW? Bila jalur bypass sukar diperbaiki selama konduksi impuls jantung anterograde, sebagaimana kontraksi premature atrium (APC) dan impulsnya dikonduksi oleh nodus AV, impuls yang sama dapat dikonduksikan retrograde dari ventrikel kembali ke atrium melalui jalur bypass. Impuls retrograde kemudian dapat mendepolarisasi atrium dan berjalan ke jalur nodus AV lagi, menghasilkan sirkuit repetitif yang kontinyu (pergerakan sirkuler). Impuls berulang antara atrium dan ventrikel dan konduksi bergantian antara jalur nodus AV dan jalur bypass. Istilah konduksi tersembunyi sering digunakan karena tidakadanya preeksitasi selama aritmia ini menyebabkan QRS normal yang minim gelombang . Pergerakan sirkuler jarang melibatkan konduksi anterograde melalui jalur bypass dan konduksi retrograde melalui jalur nodus AV. Dalam hal ini, QRS mempunyai gelombang dan sepenuhnya abnormal; aritmia dapat disalah artikan sebagai takikardi ventrikel. Mekanisme Lain Apa yang Mungkin Berperan dalam PSVT? Berkaitan dengan sindroma WPW, PSVT dapat disebabkan oleh takikardi reentrant AV, takikardi reentrant nodus AV dan nodus SA dan takikardi reentrant atrial. Pasien dengan takikardi reentrant AV memiliki jalur bypass ekstranodal yang sama dengan pasien dengan sindroma WPW, tetpai jalut bypass hanya mengkonduksikan retrograde; preeksitasi dan gelombang tidak ada. PSVT dapat diawali dengan APC maupun kontraksi prematur ventrikel (VPC). Gelombang P retrograde biasanya tampak karena depolarisasi atrium selalu mengikuto depolarisasi ventrikel. Perbedaan fungsional dalam konduksi dan refractoriness dapat terjadi dalam nodus AV, nodus SA atau atrium; jalur bypass yang besar tidak diperlukan. Jasi pergerakan sirkular dapat terjadi pada skala kecil dalam nodus AV, nodus SA atau atrium secara berturut-turut. PSVT selalu diinduksi selama reentry nodus SA oleh APC dengan pemanjangan interval P-R; gelombang P retrograde tidak ada atau tertutup oleh kompleks QRS. APC lain dapat mengakhiri aritmia. PSVT berkaitan dengan nodus SA atau reentry atrium selalu dicetuskan oleh suatu APC. Gelombang P biasanya tampak dan memiliki pemanjangan interval P-R. Morfologinya normal dengan reentry nodus SA dan abnormal dengan reentry atrium. Bagaimana Fibrilasi Atrium pada Pasien dengan Sindroma WPW dibedakan dengan Aritmia pada Pasien Lain? Fibrilasi atrium dapat terjadi ketika impuls dikonduksikan retrograde dengan cepat menuju ke atrium dan tiba untuk mencari bagian lain dari atrium diluar fase pemulihan dari impuls. Bila fibrilasi atrium suda ditegakkan, konduksi menuju ventrikel paling sering terjadi melalui jalur bypass saja; karena jalur tambahan untuk mengkonduksikan dengan cepat (tidak seperti jalur nodus AV), kecepatan ventrikel / sangat cepat (180-300 denyut/menit). Mayoritas kompleks QRS merupakan suatu keanehan, tetapi konduksi periodic suatu impuls melalui jalur nodus AV menyebabkan kompleks QRS yang kadang tampak normal. Lebih jarang lagi, impuls selama fibrilasi atrium dikonduksikan terutama melalui jalur nodus AV (menyebabkan sebagian besar kompleks QRS normal) atau melalui jalur nypass dan jalur nodus AV (menyebabkan perpaduan kompleks QRS yang normal, fusi dan aneh). Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, fibrilasi atrium pada pasien dengan sindroma WPW merupakan aritmia yang sanbgat berbahaya. Agen Anestesi Apa yang Aman Digunakan pada Pasien dengan Preeksitasi? Hanya sedikit data yang tersedia yang membandingkan agen atau teknik anestesi pada pasien dengan preeksitasi. Hampir seluruh agen volatile dan intravena telah digunakan dengan keberhasilan yang sama. Anestesi volatile meningkatkan refractoriness retrograde pada jalur normal maupun tambahan (enflurane>isoflurane>halotan) dan meningkatkan penggandaaninterval (suatu ukuran kemampuan ekstrasistol untuk menginduksi takikardi). Propofol, opioid, dan benzodiazepine emmepunyai sedikit efek elektrofisiologis langsung tetapi dapat mengubah tonus otonom, umumnya mengurangi aliran simpatis. Faktor yang cenderung menyebabkan stimulasi simpatis dan meningkatnya otomatisasi jantung tidak diinginkan. Premedikasi dengan benzodiazepin membantu menurunkan tonus simpatis yang tinggi preoperatif. Agenyang dapat meningkatkan tonus simpatis seperti ketamin dan mungkin pancuronium dalam bolus dosis besar, sebaiknya dihindari. Antikolinergik sebaiknya digunakan dengan hati-hati; glikopirolat lebih dipilih daripada atropine (lihat Bab 11). Intubasi endotrakeal sebaiknya hanya dilakukan setelah pasien teranestesi dalam (lihat Bab 20); pretreatment dengan penghambat beta adrenergic seperti esmolol mungkin berguna. Anestesia ringan, hiperkapnia, asidosis dan bahkan hipoksia akan mengaktivasi sistem simpatis dan harus dihindari. Ekstubasi dalam dan analgesia preoperatif yang baik (tanpa asidosis respiratorik) juga dapat membantu mencegah onset aritmia. Ketika pasien dengan preeksitasi dianestesi untuk penelitian elektrofisiologi dan bedah ablasi, opioid, propofol dan bezodiazepin merupakan agen yang paling mungkin untuk mengubah karakteristik konduksi. Bagaimana Agen Antiaritmia Terpilih untuk Takiaritmia ? Sebagian besar agen antiaritmia bekerja mengubah konduksi sel miokardium (fase 0), repolarisasi (fase 3) atau otomatisasi (fase 4). Pemanjangan repolarisasi meningkatkan refractoriness dari sel. Banyak obat antiaritmia yang juga menimbulkan efek otonom langsung dan tidak langsung. Meskipun agen antiaritmia umumnya diklasifikasikan bedasarkan luas mekanisme kerjanya atau efek elektrofisiologinya (Tabel 19-7), sistem klasifikasi yang paling umum digunakan itu tidak sempurna karena beberapa agen mempunyai lebih dari satu mekanisme kerja. Selain itu agen yang lebih baru mempunyai keja yang spesifik dan unik, contohnya defetilide bekerja meralat channel potassium. Table 19-7. Klasifikasi Agen Anti aritmia Kelas Mekanisme Kerja Agen Loading Dose Intravena I Memblok cepat channel sodium ; menurunkan slope pada fase 0 (Vmax)      Ia Depresi sedang Vmax, memperpanjang APD  Quinidine2–4  NR   Procainamide (Pronestyl)1,4  5–10 mg/kg   Disopyramide (Norpace)1,4  NA Ib Efek minimal pada Vmax, memperpendek APD  Lidocaine 1–2 mg/kg   Phenytoin 5–15 mg/kg   Tocainide (Tonocard) NA   Mexiletine (Mexitil) NA   Moricizine (Ethmozine) NA Ic Depresi bermakna dari Vmax, efek minimal pada APD  Flecainide (Tambacor) NA   Propafenone (Rythmol) NA II Memblok reseptor -adrenergic Propranolol (Inderal) 1–3 mg   Esmolol (Brevibloc) 0.5 mg/kg   Metoprolol (Lopressor) 5–10 mg III Memperlama repolarisasi Amiodarone (Cordarone)5–7  150 mg   Bretylium8  5–10 mg/kg   Sotalol (Betapace)9  NA   Ibutilide (Corvert) 1 mg   Dofetilide (Tikosyn) NA IV Memblok channel kalsium yang lambat Verapamil (Calan) 2.5–10 mg   Diltiazem (Cardizem) 0.25–0.35 mg/kg V Bervariasi Digoxin 0.5–0.75 mg   Adenosine (Adenocard) 6–12 mg 1Vmax, kecepatan maksimum; APD, durasi potensial aksi ; NR, tidak direkomendasikan; NA, tidak tersedia untuk penggunaan intravena. 2Juga mempunyai efek antimuscarinic (aktivitas vagolitik). 3Juga memblok reseptor -adrenergik . 4Juga memperpanjang repolarisasi 5Juga mengikat channel sodium cepat tak teraktivasi. 6Juga memnyebabkan blokaade nonkompetitif - and -adrenergik . 7Juga memblok channel kalsium lambat. 8Melepaskan sementara simpanankatekolamin dari akhiran staraf 9Juga memiliki aktivitas pengahmbatan -adrenergik nonselektif Pemilihan agen antiaritmia umumnya tergantung pada apakah aritmia bersifat ventricular atau supra ventricular dan apakah control akut atau terapi kronik dibutuhkan. Agen intravena biasanya diberikan pada manajemen akut aritmia sedangkan agen oral diberikan pada terapi kronik. Tabel 19-8 Tabel 19-8 kemampuan farmakologis klinis obat antiaritmia 1Dari Katzung BG: Basic and Clinical Pharmacology, Edisi 8. McGraw-Hill, 2001. 2Dapat mensupresi nodus sinus yang bermasalah. 3Stimulasi awal oleh pelepasan norepinefrin endogen yang diikuti oleh depresi 4Efek antikolinergik dan aksi depresan langsung 5Khususnya pada sindroma Wolff–Parkinson–White. 6Mungkin efektif pada aritmia atrial yang disebabkan oleh digitalis. 7Waktu paruh dari metabolit aktif lebih panjang Agen mana yang paling berguna untuk takiaritmia pada pasien dengan sindrom WPW? Kardioversi (lihat Bab 47) adalah treatment pilihan pada pasien yang mengalami penurunan hemodinamik, Adenosin merupakan obat pilihan pada PSVT karena durasi kerja nya yang singkat, Dosis kecil phenylephrine (100 g) brsama dengan maneuver vagal (pemijatan karotis) membantu mendukung tekanan darah arterial dan dapat menghentikan aritmia. Agenfarmakologis yang paling berguna adalah obat kelas Ia, khususnya prokainamid. Agen ini meningkatkan periode refaraktory dan menurunkan konduksi jalur tambahan. Selain itu, obat kelasi Ia sering menghentikan dan mensupresi rekurensi PSVT dan fibrilasi atrium. Obat kelaos Ic dan amiodarone juga bermanfaat karena emperlambat konduksi dan memperpanjang refractoriness pada nodus AV dan ajlur tambahan. Aen penghambat beta adrenergic juga bermanfaat khususnya dalam mengontrol kecepatan ventrikel ketika ritmenya terjadi. Verapamil dan digoksin merupakankontraindikasi selama fibrilasi atrium karena dapat mempercepat respon ventrikel. Kedua tipe agen menurunkan konduksi melalui nodus AV, membantu menurunkan konduksi impuls jalur tambahan. Jalur bypass mampu mengkonduksi impuls menuju ventrikel lebih cepat dari jalur nodus AV. Digoksinjuga dapat meningkatkan respon ventrikel dengan memperpendek periode refractory dan meninbgkatrkan konduksi jalur tambahan. Meskipun verapamil dapat mengakhiri PSVT , penggunaannya pada keadaan ini bisa membahayakan karena pasien dapat mengalami fibrilasi atrium. Selain itu, fibrilasi atrium tidak mungkin dibedakan dari fibrilasi ventrikel pada pasein ini bila takikari PRS lebar terjadi. Prokainamid lebih dipilih daripada lidokain pada kasus ini karena umumnya efektif untuk kedua jenis aritmia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar