Jumat, 12 April 2013

CRITICAL CARE

CRITICAL CARE KONSEP UTAMA Kriteria brain death diterapkan hanya pada kejadian tanpa hipotermi, hipotensi, kelainan metaboik atau endokrin, agen blok neuromuskular, atau obat yang mendepresi fungsi otak. Resiko Retinophaty prematur pada neonatus meningkata pada BBLR dan komorbid kompleks(cth,sepsis). Kebalikan dengan toksisitas pulmo, Retinophaty prematur lebih berkorelasi dengan tekanan arteri dibandingkan dengan tekanan O2 alveous. Pressure control ventilation (PCV) sama dengan bantuan tekanan ventilasi pada tekanan puncak jalan nafas terkontrol tapi berbeda pada mandatory rate dan waktu inspirasi yang dipilih. Sama dengan tekanan bantuan, aliran gas berhenti ketika level tekanan berhasil dicapai; bagaimanapun, ventilator tidak kembali ke siklus ekspirasi sampai waktu inspirasi yang telah ditentukankan lewat. Kerugian dari PCV adalah tidak menjamin volume tidal. Ketika dibandingkan dengan intubasi oral untuk periode waktu tambahan di ICU, intubasi nasal mungkin lebih nyaman bagi pasien, lebih aman( lebih sedikit terjadi ekstubasi tanpa sengaja), dan dapat menjadi penyebab kerusakan laryng, intubasi nasal, bagaimanapun memiliki efek samping pada penggunaanya. Ketika dipasang lebih dari tiga minggu, oral tibe dan nasal translaryngeal tubes(TTs) dapat menjadi predisposisi terjadinya stenosis subglotis. Jika diperlukan periode pemakaian ventilasi mekanik yang lebih lama, tine TT harus diganti seluruhnya dengan cuffed transpharyngeal tube. efek utama dari positive end-expiratory pressure(PEEP) pada paru adalah meningkatkan kapasitas residu fungsional. Angka kejadian barotrauma pulmoner lebih tinggi ketika PEEp berlebih atau terdapat continous positive airway pressure, terutama pada angka lebih dari 20cmH2o. Gerakan yang mendukung inflasi paru maksimum seperti pada penggunaan spirometer pendorong, dapat menolong dalam menginduksi batuk untuk mencegah atelektasis dan memelihara volume normal paru. Pada pasien dengan sindrom respiratory distress akut, VT > 10mL/kg dikaitkan dengan peningkatan angka kematian. Pilihan intubasi trakeal dini dianjurkan ketika terdapat tanda luka bakar nyata pada jalan nafas. Perlu diperhatikan hemodialisis intermiten yang tekait hipotensi dapat menyebabkan trauma pada ginjal, terapi pengganti fungsi ginjal(hemodialisis) yang terus menerus daat meningkatkan fungsi ginjal pada pisien kritis dengan gagal ginjal akut yang tidak dapat ditoleransi oleh efek haemodinamik dari hemodialisis intermiten. Pada usia lanjut(>70 tahun), terapi kortikosteroid, kemoterapi, dan penggunaan alat invasif yang berkepanjangan, gagal nafas, gagal ginjal, trauma kepala, dan luka bakar menjadi suatu faktor resiko untuk infeksi nosokomial. Dilatasi vena sistemik dan transudasi cairan ke dalam jaringan mengakibatkan hipovolemi pada pasien dengan sepsis. Kebalikan dengan pasien nonstress, yang membutuhkan protein sekitar 0,5 g/kg/hari, pasien kritis umumnya 1,0-1,5 g/kg/hari. Traktus gastrointestinal merupakan jalur terbaik untuk pemberian bantuan nutrisi jika seluruhnya berfungsi dengan baik. Kemunduran mendadak Total nutrisi praenteral (TPN) dapat menimbulkan hipoglikemi karena level insulin yang beredar, tapi hal ini ini bukanlah masalah jika pasien tidak disusui berlebih; pada kasus ini, glukosa 10% dapat menjadi pengganti sementara untuk TPN dan berangsur-angsur diturunkan. Obat perawatan krisitis juga disebut obat perawatan intensive-berhubungan dengan penyakit yang berpotensi mengancam jiwa. Anestesiologi memainkan perananan penting dalam memebentuk subspesialistik multidisipliner ini. Keahlian dalam airway manjemen, ventilasi mekanik, menangani obat dengan potensi fast-acting, resusitasi cairan, dan teknik monitoring memberikan seorang anestesiolog skill-skill yang diperlukan. Terlebih lagi, penekanan dalam anestesi pada bidang fisiologi, patofisiologi, dan farmakologi memeberikan kemampuan yang baik dalam membuat diagnosis cepat, dan menyembuhkan kelainan fisiologi akut menyiapkan dasar yang penting untuk evaluasi dan penanganan pasien yang menderita penyakit kritis. Praktisi perawatan kritis (intensivist) juga membutuhkan lingkup pengetahuan dasar yang mencakup subspesialistik interna, bedah, anak, neuro, dan penanganan kegawatan. Tidak seperti pelatihan sebelumnya, yang cenderung mengutamakan satu sistem organ, pelatihan intensive care juga menyediakan pengalaman dalam [enanganan pasien Systemic inflamatory response syndrome(SIRS) dan multiple organ dysfunction syndrome(MODS). Badan Anestesi di Amerika, interna, anak, dan bedah mengetahui kebutuhan akan hal ini dan sekarang membutuhkan training spesialistik untuk sertifikasi dalam penanganan dan perawatan kritis(critical care medicine). Klinisi yang memiliki sertifikat lebih diakui oleh perusahaan multinasional dan organisasi untuk membuat kontribusi penting bagi pasien di rumah sakit. Tujuan dari bab ini hanya menyediakan survey dari pengobatan masa kritis. Banyak bagian telah dibukakan pada bagian lainnya. Hanya topik penting yang tidak pernah dibahas sebelumnya yang akan dibahas. Ekonomi, etika, dan persoalan legal dalam tarif dalam masa perawatan kritis Perawatan masa kritis sangatlah mahal. Bed Intensive care unit (ICU) hanya merupakan 8-10% dari seluruh bed yang ada pada rumah sakit kebanyakan tapi sudah mencakup lebih dari 20% anggaran Rumah Sakit. Satu persen dari Gross national proodct amerika digunakan untuk menyediakan perawatan ICU. Untuk membenarkan harga ini, Hasil nyata dalam mengurangi morbiditas dan mortalitas harus dapat diwujudkan. Sayangnya, penelitan yang mendukung sedikit dan sering cacat oleh penggunaan kontrol secara historis. Derajat penyakit, kekambuhan, status kesehatan sebelumnya, dan umur adalah faktor faktor yang mempengaruhi. Metode yang reliabel memprediksi kelebihan-kelbihan apa yang pasien dapatkan dari perawatan ICU sangat dibutuhkan. Beberapa sistem skoring berdasarkan derajat defek fisiologis dan kondisi kesehatan sebelumnya telah dikemukakan seperti Acute physiolgy ang chronic heart evaluation (APHACE) dan Therapeutic intervention scoring system(TISS), tapi tidak satupun yang cukup memuaskan. Angka keberhasilan hidup secara umum memiliki hubungan terbalik dengan derajat penyakit dan jumlah sistem organ yang terganggu. The society of critical care medicine di Inggris telah membangun proyek besar, sebuah sistem yang memungkinkan ICU untuk membandingkan keberhasilan perawatan ICU dan perawatan yang disediakan dengan jaringan nasional dan internasional ICU. Kapan cukup adalah cukup?menarik bantuan kardiopulmoner pada pasien masa kritis di Pengalaman saya lebih dari 30 tahun sebagai seorang ahli anestesiologi kardiotoraks dan seorang dokter bedah kardiotoraks dan vaskuler di ICU, membawa saya menyaksikan untuk pertama kalinya keajaiban di dalam dunia kedokteran , tetapi hal-hal itu pulalah yang menyebabkan saya menfokuskan perhatian pada pembatasan terhadap keajaiban yang mungkin dialami oleh pasien yang sudah dekat dengan akhir kehidupannya, dikarenakan oleh ganasnya penyakit yang mereka miliki dan atau penuaan dengan kehilangan cadangan material tubuh yang progresif. Hipokrates berkata, mereka menjadi “ kewalahan oleh karena penyakit mereka”. Di Amerika Serikat, kematian, akhir dari kehidupan yang normal, menjadi sesuatu yang tabu, dan kebanyakan orang cenderung tidak mempersiapkan kematiannya, sampai masa akhir kehidupannya, malahan beberapa tidak mempersiapkan sama sekali. Banyak yang mengurus wasiat terakhir dan surat wasiat, perencanaan kepemilikan harta selanjutnya, dan pajak kematian, namun kurang dari 15% dari populasi produktif yang dipersiapkan untuk mengambil keputusan mengenai pengukuran penyokong kehidupan yang agresif. Hingga kini, survey berkelanjutan menunjukkan sebuah pilihan yang kuat mengenai kematian yang terhormat, nyaman, dan damai di rumah mereka sendiri serta harapan yang kuat untuk tidak mati di rumah sakit, khususnya di ICU. Dilema akan apa yang harus dilakukan dialami oleh para pasien bedah yang memerlukan perbaikan dari simptom mereka, meningkatkan taraf fungsi organ, dan kualitas hidup yang lebih baik, namun berakhir dengan hasil yang buruk, memerlukan langkah-langkah pendukung kehidupan yang berkelanjutan dengan sedikit prospek untuk mencapai tujuan dari operasi. Sejumlah besar dokter tidak dipersiapkan untuk bekerja dalam situasi yang sulit dalam cara – cara yang manusiawi, nonthreathening, dan nonadversaial atau harus berhadapan dengan amarah, keputusasaan, dan emosi lain dari para anggota keluarga dan kerabat pasien. Organisasi profesional, lembaga pendidikan kedokteran, program pelatihan residen adalah langkah awal yang menyediakan pendidikan dan pedoman dalam menghadapi tantangan tersebut. Kemampuan komunikasi yang baik adalah dasarnya. Berkomunikasi dengan keluarga, teman, dan para perawat harus pada waktunya, konsisten (seorang dokter juru bicara memiliki keuntungan), tepat, jelas untuk orang awam, menasihati tanpa menjadi diktatoris, memfokuskan diri pada semua terbaik bagi pasie, dan selaras dengan harapan pasien. Pendekatan yang bertahap selama beberapa hari memperbolehkan keluarga dan kerabat pasien untuk mencerna informasi dan bersiap untuk kabar yang diluar harapan mereka, reaksi terhadap berita buruk. Pokok permasalahan yang akan diatasi mencakup (tetapi tidak terbatas) hal hal sebagai berikut: Penyajian yang akurat dari kondisi pasien dengan bahasa awam (memastikan kembali bahwa pesan sudah dimengerti dengan baik dengan menanyakannya kepada juru bicara keluarga pasien, mengulangnya kembali dengan bahasa mereka sendiri) Perkiraan terbaik dari ketahanan dan kesembuhan, kepada kualitas hidup pasien. (kesadaran bahwa kedkteran adalah ilmu yang tidak pasti dan mengandung berbagai kemungkinan, sehingga prediksi tidak pernah mencapai angka 0% atau pun 100%) Pemaparan yang realistis terhadap berbagai pilihan disertai keuntungan dan risikonya. (Intregasi antara pengobatan utama dan paliatif harus segera diputuskan) Pemaparan dari keseluruhan pola (bukanlah variasi harian yang tidak menetap kenaikan dan penurunannya) dari perjalanan pasien. Perbedaan di antara efek intervensi terhadaap kondisi psikologi (sebagai contoh: kenaikan tekanan darah dan curah jantung) dan efeknya pada hasil. Respon terhadap obat atau intervensi lain yang gagal dan terbatas adalah mengindikasikan bahwa gambaran bahwa dengan cara itu pasien tidak dapat ditangani. Ketegasan mengenai ketersediaan paien mengenai istilah nyeri, ketidaknyamanan, dan penderitaan jika terjadi kelemahan kondisi dan kebutuhan akan rehabilitasi tidak dapat ditemukan. Tanda apa yang mengindikasikan bahwa inilah waktunya untuk memindahkan perhatian dari suport jantung paru kepada perawatan dan penarikan dari langkah resusitasi yang berkelanjutan? Ketika sebuah intervensi yang diperlukan ditolak oleh pasien, yang idealnya harus ditegaskan pada preoperatif. Ketika ditemukan penurunan fungsi organ yang multipel secara berkelanjutan, meskipun sudah dilaksanakan langkah resusitasi. Beberapa dokter memandang bahwa sistem orang tersebut terisolasi dan meyakini bahwa organ tersebut dapat dipulihkan. Bagaimanapun juga, pada kegagalan stimulasi dalam 3 atau lebih sistem organ, dapat diprediksi bahwa kematian terjadi dalam 30 hari atau kurang. Ketika terjadi sepsis yang serius, mengindikasikan terjadinya kerusakan barier gastrointestinal terhadap flora bakterial. Ketika sudah jelas bahwa dekondisi fisik yang dihasilkan dari tirah baring yang lama dan atrofi otot berjalan progresif sampai pada suatu titik dimana pasien sudah tidak kooperatif terhadap rehabilitasi, yang sebenarnya bertujuan untuk memulihkan fungsi independen, dan dilepaskan dari ventilasi mekanik serta derajat perbaikan terakhir turun di bawah level yang dapat diterima oleh pasein preoperatif. Cedera susuna saraf pusat yang berat (misalnya: infark kortikal bilateral dan atau infark batang otak) menandakan 1 tahun survival rate (tanpa penyakit lain). Dengan penyakit lain yang menyertainya, pasien akan meninggal lebih cepat, dan harus berada dalam perawatan yang ekstra. Bagaimana seharusnya pendekatan mengenai penghentian tindakan dalam mempertahankan kehidupan pasien? Saya menilai status pasien dan penampakan harian mereka bersama dengan perwakilan dan anggota keluarga pasien, dan menyarankan untuk berpindah dari perawatan intesif ke perawatan pemulihan. Lalu saya mendiskusikan berbagai pilihan yang harus dipertimbangkan dan menawarkan salah satu pilihan dari hal-hal berikut: Status tidak melakukan resusitasi Tidak ada kemajuan terapi Pemutusan tindakan terapi yang selektif Pemutusan lengkap dari tindakan terapi dari semua organ, termasuk intubasi trakea, resusitasi cairan, dan nutrisi. (kanul intravena tetap untuk pemberian obat sedatif dan analgesik) Saya menjelaskan secara pasti apa yang akan dan tidak akan dilakukan pada masing-masing pilihan. Saya mengunjungi pasien saya sesekali selama proses pemutusan untuk menunjukan perhatian saya secara berkelanjutan, serta meyakinkan bahwa titrasi analgesik dan hipnotik sesuai yang dibutuhkan. Adalah penting bagi tiap orang untuk mengetahui bahwa 1) Obat-obatan morfin dapat menyembuhkan dan mencegah dispnea 2) pasien di masa akhir kehidupannya tidak mengalami rasa lapar atau rasa haus selama kelembapan dari orofaringeal mereka terjaga. Pada akhirnya, adalah penting untuk menyadari bahwa ada dua prinsip etik yang berperan. Yang pertama ialah prinsip efek berganda. Semua terapi dan tindakan medis mendatangkan keuntungan, namun juga kerugian dan risiko. Jika dosis dari morfin atau obat sedatif yang digunakan untuk mengurangi nyeri dan menyebabkan agitasi terlalu tinggi dan menhasilkan efek samping, kita tetapi menerima, meskipun jika kematian merupakan hasilnya. Ini bukanlah termasuk euthanasia aktif! Prinsip kedua ialah bahwa penarikan dari terapi medis dan intervensinya tidak berbeda dari upaya menahan mereka secara hormat kepada otonomi pasien. Terdapat berapa konsesus agama yang pengukuran heroiknya tidak dimandatkan untuk mendukung detak jantung di akhir kehidupan. Penarikan dari dukungan seperti itu bukanlah anasthesia pasif! Secara artifisial, hal tersebut tidak memperpanjang kejadian kematian yang natural. Etika dan Persoalan Legal Harga yang tinggi dan kondisi ekonomi yang mendesak meningkatkan peran pemerintah dan pihak ketiga, seiring peningkatan kesadaran tentang kode etik dan legalitas yang baik, telah mengubah penerapan pengobatan pada masa kritis. Sampai sekarang, hampir semluruh pasien di Amerika—bahkan dengan penyakit terminal—mendapatkan pengobatan maksimal(yang kerapkali bertentangan dengan harapan pasien atau keluarga pasien) karena takut adanya kemungkinan reaksi tuntutan legal karena sebuah terapi yang tidak diberikan. Tindakan ‘heroic’ seperti RJP,ventilasi mekanik, dan pemberian inotropik serta obat vasoaktif terus dilanjutkan sampai pasien meninggal.Memutuskan kapan inisiasi atau terminasi pengobatan dapat menjadi sangat sulit. {ada umumnya, pengobatan apapun yang memungkinkan dan cukup beralasan untuk diberikan demi menekan penyakit atau memulihkan kondisi kesahatan diperbolehkan, sebaliknya jika pengobatan yang akan diberikan tidak menekan proses penyakit atau memulihkan kondisi kesehatan, sehingga keputusan untuk memulai pengobatan seperti ini tidak diperbolehkan dan tidak etis. Keputusan sulit ini harus melibatkan pasien (wali) dan keluarga serta harus konsisten dengan peraturan rumah sakit, peraturan dan hukum. Kebetulan, Panduan legal yang dapat digunakan oleh praktisi untuk mencapai keputusan ini telah tersedia hampir diseluruh negeri; walaupun hukum berbeda antar negara bagian, namun cenderung mirip. Masalah terbesar adalah berkaitan dengan penghentian pengobatan dan tidak dilanjutkannya sistem penyokong hidup artifisial. Pasien yang berkompetensi (dengan kata lain seorang yang mampu mengerti dan membuat keputusan medis) memiliki hak untuk menolak pengobatan dan berhak mendapat penyokong hidup artifisial dan dapat melepasnya kapan diinginkan. Kebanyakan negara memperbolehkan individu yang kompeten untuk menyiapkan intruksi khusus, biasanya antara lain “living will”(terus hidup) atau “durabel power of attorney for health care”(menggunakan hak penuh dalam perawatan), untuk mencegah hidup tidak berguna yang berkepanjangan jika suatu saat individu itu menjadi tidak kompeten (koma ireversible). Penghentian pengobatan atau tidak dilanjukannya penyokong hidup artifisial bagi yang tidak berkompeten dan sudah dewasa membutuhkan ijin suami/istri,wali,sanak keluarga, atau seseorang yang kepadanya pasien memberikan kekuasaan mengenai perawatannya. Dalam beberapa kasus, klarifikasi dari pengadilan mungkin dibutuhkan. perintah ‘Jangan diresusitasi’ atau ‘Biarkan meninggal’ telah dibenarkan oleh pengadilan pada kasus dimana resusitasi telah ditawarkan dan tidak ada harapan sembuh atau menekan proses penyakit yang akan mengakibatkan kematian. Penyokong pernafasan dan sirkulasi artifisial menambah rumit definisi legal dari kematian. Sampai sekarang, banyak negara hanya membutuhkan ketetapan oleh dokter bahwa telah terjadi henti nafas dan fungsi sirkulasi yang ireversible. Seluruh negara telah menambahkan konsep brain death pada definisi ini. Bagaimanapun, beberapa negara mengenal pengecualian agama. Di New Jersey, seabgai contoh, dokter tidak dapat mengatakan brain death ‘jika itu bertentangan dengan agama kepercayaan individu’. Sebagai tambahan, walaupun brain death dapat ditegakkan pada wanita hamil, persoalan bagaimana penyokong hidup dapat dilepas menyisakan persoalan etika dan legalitas untuk diperdebatkan. Brain Death Brain dath didefinisikan sebagai berhentinya secara ireversible seluruh fungsi otak. Fungsi medula spinalis di bawah C1 mungkin masih tampak. Menegakkan brain death memberikan kejelasan dari harapan yang tidak pasti, kecemasan yang berkepanjangan, dan beban finansial keluarga dan masyarakat. Dapat juga membuat penggunaan sarana medik menjadi lebih efisien dan memberikan potensi penyumbangan organ untuk transplantasi. 1,Kriteria brain death dapat diterapkan hanya jika tidak ditemukan hipotermi, hipotensi, kelainan metabolik atau endokrin, obat blok neuromuskuler, atau obat yang diketahui dapat mendepresi fungsi otak. Screening toxicology diperlukan jika waktu yang diperlukan sejak masuk (setidaknya 3 hari) tidak cukup untuk menyingkirkan curiga efek obat. terlebih lagi, pasien harus diobservasi cukup jauh untuk menegakkan dengan alasan yang tepat trauma yang mengakibatkan kerusakan ireversible. Kriteria klinis yang dapat diterima untuk brain death antara lain: coma Ketiadan aktivitas motorik, termasuk posisi deserebrasi dan dekortikasi( reflek medula spinalis dapat tampak pada beberapa pasien) Ketiadaan reflek batang otak, termasuk reflek pupil, kornea, vestibuler, dan reflek muntah. Ketiadaan usaha ventilasi dengan tekanan CO2 artei 60mmHg atau 20mmHg di atas level sebelumnya. tes apneu harus dilakukan terakhir karena efeknya yang mengganggu tekanan intrakranial. Tes konfirmasi yang mungkin dapat menolong tetapi tidak diharuskan yaitu diantaranya elektroenchephalogram isoelektrik, tidak ada bangkitan auditorik batang otak, dab tidak ada cerbral perfusi yang didapatkan dengan angiografi, doppler transcranial, atau penelitan radioisotop. Tabel 49-1.klasifikasi hipoksia Hipoksia Kategori patofisiologi contoh klinis Hypoxic hipoksia Penurunan P atau penurunan FIO2(<21) Peninggian, kesalahan peralatan O2 hipoventilasi alveolar Overdosis obat, eksaserbasi COPD defek difusi pulmo emfisema, fibrosis pulmo ketidak seimbangan V/Q asma, emboli pulmo R—L shunt atelektasis,penyakit jantung sianotik kongenital Hipoksia sirkulasi cardiac output menurun CHF,infark miokard,methemoglobinemia Hipoksia hemic penurunan kandungan Hb anemia penurunan fungsi Hb karboksihaemoglobinemia,methaemoglobinemia Hipoksia demand peningkatan konsumsi O2 demam, kejang hipoksia histotoksik sel tidak mampu menggunakan toksisitas sianida O2 Perawatan sistem Respirasi perawatan respirasi(disebut juga terapi respiratory) melingkupi terapi pulmoner dan tes diagnostik dan dan profesi kesehatan terkait yang telah dikembangkan sejak tahun 1950 menjadi bagian dari kardiopulmoner diagnostic dan perawatan masa kritis(critical care). Bidang Ahli terapi pernafasan melingkupi praktek terapi medical gas, pemberian medikasi aerosol, manajemen airway, ventilasi mekanik, terapi tekanan airway positif, monitoring masa kritis, rehabilitasi kardiopulmoner, dan penggunaan berbagai teknik yang termasuk kelompok terapi fisik regio dada. Terakhir temasuk pemberian makanan lunak dan terpai aerosol, membersikan sekret pulmo, mengembangkan paru atelektasis, dan menjaga fungsi normal paru selama post operasi atau selama sakit. Penegakan diagnosis termasuk test fungsi paru, analisis gas darah, test elektrokardiografi, dan evaluasi kelainan pernafasan saat tidur. Prosedur perawatan respirasi berdasarkan panduan praktek klinik yang disebut juga CPGs, 50 yang telah dikembangkan oleh American association for respiratory care menggunakan kriteria pengobatan evidence based terbaik. Terapi Gas Medis(medical gas therapy) Terapi gas secara medis termasuk pemberian supplement atau hiperbarik oxygen, campuran helium-oxygen, dan nitric oxide, indikasi oksigen secara medis adalah untuk kelainan pulmoner dan nonpulmoner. Oksigen dibuat dapat dimasukkan dalam silinder bertekanan tinggi, dengan pipa segaris, dari konsentrator oksigen, seperti bentuk liquid oksigen. Heliox dipakai sebagai obat untuk meningkatkan kerja nafas(work of breathing/WOB) akibat lesi sumbatan jalan nafas atas. Nitric oxide dimanfaatkan efek dilatasinya pada struktur vaskuler paru. Tujuan utama terapi oksigen adalah untuk mencegah atau mengoreksi hipoksemi atau hipoksia jaringan, tabel 49-1 untuk menentukan kategori klasik dari hipoksia. Oksigen terapi sendiri tidak dapat memperbaiki hipoksemi atau hipoksi. Tekanan jalan nafas positif terus menerus(continuous positive airway pressure/CPAP) atau tekanan positif akhir respirasi(positive end-respiratory pressure) mungkin diperlukan untuk mendapatkan alveoli yang kolaps. Pasien dengan hipercapnia sebelumnya, memerlukan bantuan ventilator. Konsentrasi oksigen yang tinggi mingkin menandakan sebuah kondisi yang memerlukan pembebasan udara yang terperangkap (seperti nitrogen) dari rangga tubuh atau pembuluh darah. Penerapan janggka pendek dari oksigen konsentrasi tinggi relatif bebas komplikasi. Oksigen tambahan diindikasikan untuk dewasa, anak-anak dan bayi(>1bulan) ketika PaO2 kurang dari 60mmHg (7.98kPa) atau SaO2 atau SpO2 kurang dari 90% selama pernafasan istirahat. Pada neonatus pengobatan direkomendasikan jika PaO2 kurang dari 50 mmHg(6.7 kPa) atau SaO2 kurang dari 88% (atau PO2 kapiler kurang dari 40 mmHg(5.55kPa)). Terapi yang mungkin diperlukan untuk pasien ketika gejala suspek hipoksa berdasarkan tinjauan masalah kardiopulmoner atau pada pemeriksaan isik. Pasien dengan infark miokard. Pasien denganinfark miokard, edema pulmoner kardiogeik, Acute long injury(ALI), acute respiratory distress syndrome (ARDS). Fribosis pulmoner, keracunan sianida, atau karbon monoksida inhalasi seluruhnya membutuhkan suplemen oksigen. Suplemen oksigen telah diberikan selama periode perioperatif periode karena general anestesi sering menyebabkan penurunan pada PaO2 yang efek sekundernya menambah ketidak seimbangan ventilasi/perfusi paru dan menurunkan residual capacity(FRC). Oksigen tambahan harus disiapkan sebelum prosedur seperti suction trakea atau bronkoskopi, yang biasanya menyebabkan desaturasi oksigen arteri. Ada bukti yang menyatakan oksigen tambahan efektif dalam memperpanjang harapan hidup pasien dengan penyakit paru obsruktif kronis (COPD) dimana PaO2 pada saat istirahat kurang dari 60 mmHg pada permukaan laut. Terapi oksigen tambahan juga menunjukkan bahwa memeilki sedikit efek menguntungkan pada mean pulmonary arterial pressure dan indeks subjektif pada pasien dyspnea. Peralatan terapi oksigen ambient Kalisifikasi peralan terapi oksigen Oksigen dapat diberikan sendiri atau dalam gas (dicampur udara, helium, dan nitric oxide) dapat digunakan sebagai supplement parsial bagi volme tidal atau volume semenit ataupun juga sebgai sumber utama volume inspirasi. Pendekatan ini dapat menjadi dasarsebagai alat klasifikasi atau sistem yang bergantung pada kemampuan untuk menyediakan floe level yang adekuat dan range of fraction dari aksigen inspirasi (FIO2). pertimbangan lain dalam memilih terapi yaitu keinginan pasien, adanya jalan nafas artificial dan jenisnya, dan apakah perlu untuk pembasahan dan sistem pemberian aerosol. A. Aliran Rendah atau Peralatan Variabel-Performance Oksigen (biasanya 100%) diberikan ada aliran tetap yang hanya merupakan bagian dari gas inspirasi. Alat seperti ini biasanya digunakan untuk pasien dengan gambaran pernafasan stabil. Seperti pada perubahan kebutuhan ventilasi, jumlah variabel udara ruangan akan mengencerkan aliran oksigen. Sistem aliran rendah cukup adekuat untuk pasien dengan Ventilasi semenit kurang dari ~ 8-10 L/mnt frekuensi pernafasan kurang dari ~ 20x/mnt Volume tidal kurang dari ~ 0.8L aliran inspirasi normal ~ (10-30 L/mnt). B. Aliran Tinggi atau Peralatan Fixed-Performance Gas inspirasi yang ditentukan FIO2 diberikan terus menerus pada aliran tinggi atau dengan memberikan reservoir besar gas untuk gas yang akan dicampur. Idealnya, pemberian FIO2 tidak dipengaruhi oleh variasi dalam level ventilasi atau gambaran pernafasan. Dispneu berat dan pasien hipoksemi memerlukan aliran oksigen 100% yang diberikan 100L/mnt. Sistem aliran tinggi diindikasikan untuk pasien yang memerlukan FIO2 tetap dan/atau Gas dengan aliran inspirasi tinggi (>40L/mnt). 1.Peralatan Variabel-Performance (Tabel 49-2) Nasal Canul Nasal canul tersedia dalam bentuk blind-ended tabung plastik lunak dengan head-elastic diatas telinga atau dual-flow dengan tali pengatur di bawah dagu. Perekat tersedia untuk orang dewasa, anak-anak, dan bayi. Kanul dismbungkan dengan flowmeter dengan tabung small-bere dan mngkin digunakan dengan gelembung pelembab (buble humidifier). Nasal kanul dapat digunakan dengan cepat dan nyaman pada pasien. Tekanan tambahan harus dipastikan sebelum dirasakan cukup nyaman untuk mencegah sakit akibat tekanan di telinga, pipi dan hidung. Pasien dengan terapi oksigen yang lama pada umumnya kebanyakan menggunakan nasal kanul. Alat-alat biasanya ditoleransi dengan baik, masih memiliki kemampuan untuk bicara, makan/minum, dan tidak perlu ruangan khusus(sehingga tidak penyebabkan claustrophobi). Kanul dapat dikombinasikan dengan spectacel frames memberi kenyamanan atau meningkatkan penerimaan pasien dengan meningkatkan kosmetik. Kanul oxigen-conserving yang dipakai dengan inlet reservoir membuat pasien dapat menerima terapi oksigen jangka panjang. Srjak oksigen dialirkan terus menerus, sekitar 80% gas dibuang selama ekspirasi. Konsep ini berdampak pada penggunaan valved reservoir divice ntuk memudahkan penyimpanan oksigen yang masuk sampai terjadi inspirasi tabel 49-2.Alat dan sistem pemberian oksigen Alat/sistem flow rate oksigen FIO2 range Nasal kanul 1 0.21-0.24 2 0.23-0.28 3 0.27-0.24 4 0.31-0.38 5-6 0.32-0.44 Sungkup sederhana 5-6 0.30-0.45 7-8 0.40-0.60 Sungkup dengan reservoir 5 0.35-0.50 Partial rebreathing mask-bag 7 0.40-1.00 15 0.65-1.00 Non rebreathing mask-bag 7-15 0.40-1.00 Venturi mask and jet nebulizer 4-6(total flow=15) 0.24 4-6(total flow=45) 0.28 8-10(total flow=45) 0.35 8-10(total flow=33) 0.40 8-12(total flow=33) 0.50 Penggunaan FiO2 pada orang dewasa dengan kateter nasal ditentukan oleh aliran oksigen, volume nasofaringeal, dan inspirartory flow dari pasien(yang tergantung dari VT dan waktu inspirasi). Oxygen dari canula dapat memenuhi nasofaring selama ekxhalasi, lalu dengan inspirasi, oksigen dan udara yang sudah ada terhisap masuk ke dalam trachea. Persentase oksigen yang terinspirasi meningkat sekitar 1-2%(diatas 21%) per liter oksigen dengan kemampuan bernafas orang dewasa. Canula dapat diagunakan untuk menyediakan konsentrasi oksigen inspirasi hingga 30-35% dengan pernapasan normal dan aliran oksigen 3-4L/menit. Bagaimanapun juga, level 40-50% dapat dicapai dengan aliran oksigen lebih dari 10L/min dalam waktu yang singkat. Biasanya pada aliran lebih dari 5L/menit tidak dapat ditolerir oleh pasien sebab tekanan gas pada cavum nasal menyebabkan ketidaknyamanan dan menyebabkan mukosa menjadi kering dan menimbulkan krusta. Data dari ”normal-breathing subject” mungkin tidak akurat bila digunakan pada pasien dengan penyakit akut tachypneic. Peningkatan VT dan waktu inspirasi yang pendek akan mengencerkan sebagian kecil oksigen. Perbedaan kapasitas pola napas dengan hanya menggunakan mulut dengan hanya menggunakan hidung dan variasi aliran inspirasi dapat merubah FiO2 hingga 40%. Dalam praktek klinik, pemberian udara harus dititrasi berdasarkan tanda vital dan denyut nadi oksimetrik dan analisa gasn darah. Beberapa pasien dengan COPD cenderung mengalami hipoventilasi dengan aliran udara yang sangat rendah, yaitu hipoksemia pada udara ruangan. Perbaikan dapat terjadi melalui pemakaian canula dengan aliran kurang dari 1-2L/menit. Kanula untuk anak sudah tersedia, dan semakin sering digunakan. Beberapa kanul khusus yang meringankan bayi dan perawat dan dengan tingkat trauma yang lebih rendah dibandingkan masker oksigen. Karena sudah menjadi sifat bahwa tingkat ventilasi pada bayi lebih rendah tiap menitnya, maka aloran udara pada kanula juga harus disesuaikan. Intuk itu membutuhkan pressure compensated flowmeter untuk memastikan aliran oksigen kurang dari 1-3L/menit. Dari sampel oksigen yang didapat dari hipofaring bayi yang bernafas dengan kanula menunjukkan rata-rata FiO2 0.35, 0.45, 0.6, dan 0.68 dengan rata-rata aliran 0.25, 0.5, 0.75 dan 1.0 L/menit. Masker Nasal Masker nasal adalah kombinasi dari nasal kanul dan masker wajah. Masker nasal dapat digunakan baik dengan over-the-ear lariat atau dengan headband strap. Bagian bawah dari masker terpasang pada bibir atas, mengelilingi hidung. Masker nasal telah terbukti mampu menyediakan oksigen tambahan yang setara dengan nasal kanul dengan kondisi aliran rendah untuk pasien dewasa. Keuntungan utama dari penggunaan masker nasal adalah pasien merasa lebih nyaman. Rasa sakit di sekitar nares eksternal dapat muncul pada penggunaan nasal kanul jangka panjang. Oksigen tidak dihembuskan ke dalam kavum nasal seperti pada kanula. Penggunaan masker nasal harus dipertimbangkan jika dapat meningkatkan perbaikan dan kenyamanan pasien. Masker oksigen tanpa reservoir Masker yang menutupi hidung dan mulut ini tergolong ”simpel”, tanpa reservoir, dengan okxygen-free mask yang sekali pakai, ringan dan terbuat dari plastik. Masker terpasang dengan baik pada wajah pasien karena adanya elastic headband; beberapa pabrik menyediakan metal lunak sebagai nose-bridge adjustment device. Pengunci wajahnya bebas dari kebocoran; lebih jauh lagi, pasien menerima udara campuran antara oksigen murni dan udara bebas. Variasinya tergantung dari ukuran bocor, aliran oksigen, dan pola napas. Beberapa merek masker simpel menghubungkan tabung dengan tapered fitting standard; yang lain memiliki ruang udara kecil yang berhubungan dengan lubang pada salurannya. Bagian masker berfungsi sebagai reservoir bagi oksigen dan karbon dioksida sisa ekspirasi. Konsentrasi oksigen minimal yang dialirkan sekitar 5L/menit, dimaksudkan untuk menghindari rebreathing dan usaha respirasi yang berlebihan. Penggunaan masker apapaun dalam waktu lama selalu menimbulkan ketidaknyamanan. Menyebabkan kesulitan bicara serta hambatan untuk makan dan minum. Jumlah konsentrasi oksigen yang diinsipirasikan tergantung dari volume masker, pola ventilasi, dan aliran oksigen ke masker. Sulit untuk mengetahui dengan tepat aliran FiO2 yang diberikan. Selama respirasi normal, diperkirakan FiO2 sebanyak 0.3-0.6 dengan aliran 5-10L/menit. Level oksigen dapat lebih tinggi dengan VT berukuran kecil atau pernapasan yang lambat. Dengan aliran yang lebih tinggi dan kondisi yang ideal, FiO2 dapat mendekati 0.7 atau 0.8. Masker tanpa reservoir cocok digunakan oleh pasien yang memputuhkan oksigen dengan konsentrasi lebih besar dari yang disediakan kanul, dan juga membutuhkan terapi oksigen dalam waktu yang singkat. Sebagai contoh yaitu pada medical transport, terapi interim pada unit perawatan postanastesi atau unit gawat darurat. Alat ini tidak boleh digunakan pada pasien dengan penyakit pernapasan berat yang mengalami hipoksemia, tachypneu, atau tidak mampu melindungi jalan napasnya dari aspirasi. Masker dengan reservoir Penambahan semasam gas reservor adalah suatu adaptasi dari masker simpel. Ada dua tipe reservoir yang sering digunakan, yaitu: partial rebreathing mask dan nonrebreathing mask. Keduanya sekali pakai, ringan, dan transparan. Reservoir ini diletakan dibawah dagu. Perbedaan diantara keduanya adalah penggunaan katup pada masker dan diantara masker dan kantong reservoir. Masker dengan reservoir biasanya dapat menampung oksigen kira-kira sebanyak 600mL atau kurang. Istilah ”partial rebreather” merujuk pada ”bagian” dari VT yang diekspirasikan mengisi kantong tersebut kembali. Biasanya gas tersebut mempunyai dead space yang besar, yang seharusnya tidak mengakibatkan penghirupan kembali karbon dioksida yang signifikan. Alat pencegah penghirupan kembali (nonbreather) menggunakan sistem dasar yang sama dengan penghirup kembali sebagian (partial rebreather) tetapi menyatu dengan katu p yang berbentuk kelopak (flap-type valves) di antara kantong dan masker serta pada setidaknya satu dari masker ekshalasi. Kebocoran biasa terjadi, dan udara ruangan akan masuk selama aliran inspirasi yang cepat, bahkan ketika kantong tersebut terisi dengan gas. Kurangnya sistem perlekatan pada muka dan reservoir yang relatif kecil, dapat mempengaruhi konsentrasi oksigen yang dihantarkan. Faktor kunci yang menentukan keberhasilan aplikasi masker adalah dengan menggunakan aliran oksigen yang cukup, sehingga katong reservoar paling tidak dalam sudah dalam keadaan penuh sebagian selama inspirasi. Aliran minimal yang khas dari oksigen adalah 10-15 L/min. Masker rebreathing parsial yang melekat dengan pas dan baik menyediakan FIO2 dari 0,35 sampai 0,60 dengan aliran oksigen lebih dari 10L/menit. Dengan aliran inlet (pintu masuk) 15 L/menit atau lebih dan kondisi pernapasan yang ideal, FIO2 dapat mencapai 1.0. Salah satu tipe masker diindikasikan untuk pasien yang diduga hipoksemi signifikan dengan ventilasi semenit spontan yang relatif normal. Pasien tersebut mungkin termasuk korban trauma, infark miokard, atau paparan karbon monoksida. Pasien dengan dispneu berat dengan napas yang terengah-engah mungkin akan lebih cocok dengan fixed-performance, sistem aliran oksigen yang tinggi (high flow oxygen system) 2. Peralatan Fixed Performance (aliran tinggi) Kantong Anestesi atau sistem kantong-masker-katup Desain dasarnya mengikuti masker rebreathing reservoir, tetapi dengan komponen-komponen yang lebih “kapabel”. Kantong yang dapat memompa sendiri tersebut terdiri atas kantong sebesar bola futbol, biasanya dengan sebuah pintu masuk reservoir oksigen. Kantong-kantong anestesi adalah suatu 1,2, atau 3 liter non-self-inflating reservoir dengan sebuah pintu masuk gas yang berekor. Masker didesain untuk menyediakan suatu perlekatan yang bebas bocor dan nyaman untuk ventilasi manual. Sistem katup inspirasi/ekspirasi dapat bervariasi. Aliran ke reservoir sebaiknya dijaga supaya dalam keadaan tetap tinggi sehingga kantong tersebut tidak akan menggembos dalam jumlah yang besar. Ketika menggunakan sebuah kantong anestesi, operator harus sering sering menyesuaikan aliran oksigennya dan mengurangi tekanan pada pegas katup pembuangan untuk merespons perubahan pola atau kebutuhan pernapasan. Sistem yang paling umum untuk sekali pakai dan permanen kantong-kantong resusitasi self-inflating menggunakan sebuah aliran gas yang satu arah. Walaupun perlatan ini menawarkan potensial untuk FIO2 yang konstan lebih besar daripada 0,9, katup pintu masuk yang berekor (tailpiece inlet) tidak akan membuka untuk pasien yang bernapas dengan spontan. Pembukaan dari katup tersebut memerlukan tekanan negatif pada kantung yang mengempis kembali setelah terjadinya kompresi. Apabila situasi ini tidak disadari, para klinisi mungkin akan dapat mengalami kesalahan interpretasi dengan berpikir bahwa pasien menerima konsentrasi oksigen yang spesifik ketika hal yang bertentangan terjadi adalah suatu kebenaran. Terdapat batasan pada kemampuan setiap sistem untuk mempertahankan karakteristik performa nya yang tetap (fixed-performance). FIO2 yang dikirimkan dapat mencapai atau sama dengan 1.0 ddengan anestesi atau kantong self-inflating. Pasien yang dapat bernapas dengan spontan diijinkan untuk bernapas hanya isi dari sistem tersebut jika perlekatan masker sangat rapat dan reservoirnya dapat dipertahankan dengan adekuat. Operator harus menyesuaikan aliran gas ke kantong untuk mengakomodasi jika ada perubahan pada kebutuhan ventilasi; observasi pada pasien dan reservoir dapat menyediakan informasi ini. Hal paling penting yang harus diperhatikan oleh klinisi yang memakai sistem mask-bag adalah aspirasi. Kegagalan untuk mempertahankan suplai oksigen pada reservoir dan aliran pada pintu masuknya adalah hal-hal lain yang harus diperhatikan. Katup spring-loaded pada akntong anestesi harus diatur dengan benar untuk mencegah overdistensi dari kantong tersebut. Kantong self-inflating (dapat membesar sendiri) tidak terlihat berbeda ketika oksigen yang mengalir ke unit menjadi tidak adekuat dan mereka akan memasukkan/memfasilitasi masuknya udara ruangan ke dalam kantong, hal ini akan menurunkan pengiriman FIO2. Masker Venturi Air-Entrainment Pengaliran dan pencapaian gas dengan masker air-entrainment adalah sesuatu yang berbeda dengan reservoir oksigen. Tujuannya adalah untuk menciptakan suatu sistem terbuka dengan aliran tinggi di sekitar hidung dan mulut, dengan FIO2 yang tetap. Masker yang digunakan dikenal dengan masker “Venturi” atau “venti” , atau sistem aliran udara yang tinggi dengan oxygen-entrainment (High Air Flow with Oxygen-Entrained/HAFOE). Oksigen diarahken oleh suatu tabung yang diberi lubang kecil ke mesin jet pencampur; konsentrasi oksigen terakhir bergantung pada perbandingan dari udara yang dialirkan melalui tempat entrainment. Pembuat alat tersebut telah membuat baik tetap maupun yang dapat disesuaikan dalam entrainment pada rentang FIO2. Sebagian besar dilengkapi dengan instruksi untuk operator guna mengatur aliran minimum dari oksigen. Tabel 49-3 mengidentifikasi aliran total pada aliran yang bervariasi pada pintu masuk dan FIO2. Di samping konsep aliran yang tinggi, FIO2 dapat bervariasi sampai lebih dari 6% tiap pengaturan. Masker air-entrainment adalah piluhan yang logis untuk pasien yang berada dalam keadaan hipoksemia tidak dapat dikontrol dengan alat yang FIO2 nya rendah seperti kanula. Pasien dengan COPD yang berpotensi untuk mengalami hipoventilasi dengan FIO2 moderat adalah kandidat untuk masker venturi. Klinisi yang menyediakan oksigen terapi dengan HAFOE sebaiknya tanggap terhadap permasalahan yang telah disebutkan sebelumnya mengenai masker itu sendiri. FIO2 dapat meningkat jika port dari entrainment terobstruksi oleh tangan pasien, sprei, atau air yang terkondensasi. Klinisi seharusnya mendukung/menganjurkan pasien dan yang melakukan perawatan pada pasien tersebut untuk menjaga masker pada muka secara terus-menerus. Interupsi oksigen adalah suatu masalah yang sangat serius pada pasien yang tidak stabil dengan hipoksemia dan atau hiperkarbia. Analisis langsung pada FIO2 selama menggunakan masker air-entrainment mungkin dilakukan namun sulit untuk tercipata suatu hasil yang akurat. Korelasi dari gas darah dengan beberapa indeks kebutuhan pernapasan, seperti frekuensi pernapasan, sebaiknya dapat membimbing klinisi untuk mengetahui kapan perkiraan bahwa kebutuhan pasien tidak sesuai dengan kemampuan aliran pada masker. Jika hal ini terjadi, aliran oksigen pada pintu masuknya harus dinaikkan atau dilakukan pemilihan alat alternatif. Nebulizer Air-Entrainment Volume yang besar, hasil yang besar, atau seluruh keuntungan dari penggunaan nebulizer telah dipakai pada perawatan pernapasan selama bertahun-tahun untuk menyediakan suatu terapi dengan kabut yang lembut dengan beberapa kontrol pada FIO2. Unit-unit ini biasanya ditempatkan pada pasien mengikuti ekstubasi untuk peralatannya yang memproduksi aerosol. Seperti masker entrainment, nebulizer menggunakan jet pneumatik dan suatu lubang yang dapat diatur untuk pemasukkan udara yang bervariasi bagi berbagai level FIO2 pada poin pengaturan yang tetap atau diatur secara terus menerus dari 0,24-1,0. Banyak alat-alat komersial mempunyai lubang pemasukan dengan diameter maksimalnya mampu melewatkan hanya 15L/menit ketika sumber tekanannya 50 psi. Hal ini berarti bahwa pada pengaturan 100% (tidak ada air-entrainment), aliran outputnya hanya 15L/menit. Hanya pasien yang bernapas dengan kecepatan pelan dang Vt yang kecil akan menerima 100% oksigen. Permasalahan ini telah diatasi dengan pemberian aliran yang tinggi, nebulizer yang FIO2nya tinggi. Untuk aplikasi yang lebih umum yang menggunakan FIO2 antara 0,3-0,5, udara ruangan entrained, menurunkan FIO2 dan meningkatkan output aliran total menjadi 40-50L/menit. Pengetahuan tentang perbandingan udara/oksigen dan kecepatan aliran input oksigen memungkinkan outflow total dapat dikalkulasi. Sistem nebulizer dapat diaplikasikan pada pasien dengan berbagai macam alat, termasuk aerosol, trakeostomi, dome/collar, tenda muka (face tent), dan adapter T-piece. Alat-alat ini semua dapat dihubungkan dengan tabung dengan lubang kecil pada nebulizer. Sistem yang terbuka ini dapat membebaskan udara inspirasi dan ekspirasi di sekitar wajah pasien atau pada kutub distal pada adapter Briggs. Sayangnya, katup yang terbatas memungkinkan pasien untuk entrain udara ruangan secara sekunder. Hal yang biasa dilakukan adalah menggunakan kantong reservoir sebelum T atau suatu tabung reservoir pada distal T untuk menyediakan volume gas yang lebih besar daripada yang berasal dari nebulizer. Perhatian utama pada penggunaan terapi aerosol air entrainment dengan konsentrasi oksigen yang terkontrol adalah bahwa sistem tersebut menyediakan aliran yang adekuat. Klinisi seharusnya mengobservasi kabut nya untuk menentukan kecukuan aliran. Jika suatu T-piece digunakan dan jika kabut yang dapat dilihat (keluar dari port distal) menghilang selama inspirasi, alirannya tidak adekuat. Hal lain yang harus diperhatikan pada praktek klinis adalah bahwa air yang berlebihan pada tabung dapat mengumpulkan dan dapat menyumbat aliran gas secara komplit atau dapat mengakibatkan kenaikan resistensi pada aliran. Selanjutnya, dapat meningkatkan FIO2 di atas pengaturan yang diharapkan. Komplikasi yang lain adalah bronkospasme pada beberapa pasien karena air steril dapat mengiritasi. Pada beberapa kesulitan, sistem humidifikasi yang dihangatkan (non aerosol) sebaiknya dapat menggantikan. Sistem High-Flow-oxygen Dual flowmeter udara-oksigen, blender udara-oksigen, dan generator Down’s atau Caradyne Whisperflow biasanya dipakai untuk pemasukkan oksigen seperti freestanding CPAP dan sistem ventilator “add-on”. Sistem ini kontras dengan nebulizer air-entrainment, karena total aliran output nya tidak menurun pada keadaan FIO2 lebih besar dari 0,4. Dengan sistem aliran yang tinggi ini, aliran total pada pasien dapat dengan bebas diatur (versus FIO2) sampai bertemu atau melebihi kebutuhan pasien. Hal ini dapat dikerjakan dengan menggunakan kantong reservoir yang besar atau aliran yang konstan dalam rentang 50 sampai lebih dari 100L/menit. Klinisi dapat menggunakan berbagai peralatan dengan sistem ini, termasuk masker aerosol, face tent, atau sistem masker nonrebreathing yang sesuai dengan blender. Sistem masker yang melekat ke muka dapat juga dikonstruksi tapi memerlukan kantong reservoir dengan katup pengaman untuk memungkinkan bernapas jika blender gagal. Aliran gas yang timnggi memerlukan penggunaan ventilator mekanik. Humidifikasi menawarkan keuntungan bagi pasien dengan saluran napas yang hiperaktif. Karena alirannya yang tinggi, beberapa sistem di atas digunakan untuk mengaplikasikan CPAP untuk pasien yang bernapas dengan spontan. Oksigen hoods Walaupun banyak dari alat-alat yang telah disebutkan sebelumnya mempunyai pilihan ukuran pediatrik, seperti kanula dan masker, banyak bayi muda dan neonatus tidak dapat mentoleransi peralatan yang dipasang apda muka. Oksigen hoods hanya menutupi kepala, memungkinkan akses ke bagian bawah tubuh bayi sementara tetap diijinkan tetap menggunakan inkubator atau pengahangat dengan radiasi. Hood ini ideal untuk terapi oksigen yang relatif pendek untuk bayi baru lahir dan bayi indaktif. Bagaimanapun juga, untuk bayi yang sudah mampu bergerak memerlukan terapi yang lebih panjang, sebagai contohnya, nasal kanula, masker wajah, atau penutupan seluruh tempat tidur sanggaup mengatasi mobilitas yang lebih besar. Normalnya, oksigen dan udara tercampurkan melalui sebuah alat pencampur dan melewati sebuah alat pelembab udara yang hangat dan nebulizer yang berfungsi sebagai sumber gas harus dihindari. Kebanyakan mesin nebulizer tipe jet pneumatic mengeluarkan bunyi bising ( > 65dB), yang dapat menyebabkan kehilangan pendengaran pada bayi baru lahir dan adanya gas dingin yang dihasilkan dapat menginduksi terjadinya peningkatan kebutuhan oksigen. Penutup kepala yang digunakan disesuaikan dengan bayi. Beberapa merupakan kotak plexiglas sederhana, yang lainnya memiliki sistem pengaman untuk melindungi leher bayi. Tidak ada tindakan untuk menyempurnakan sistem pengaman tersebut, sebagai aliran gas yang konstan yang diperlukan unutk menyingkirkan karbondioksida (aliran minimum > 7 L/min). Penutup kepala tersebut memiliki aliran 10-15 L/min dan rata-rata cukup adekuat untuk kebanyakan pasien. Terapi Oksigen- Helium Campuran oksigen-helium (heliox) secara khusus memiliki aturan batasan secara klinis. Di dunia luar biasanya digunakan dalam bidang industri dan untuk penyelaman di dasar laut, dan beberapa diantaranya digunakan sebagai tambahan dalam dunia medis. Dibeberapa alat standar , oksigen biasanya tercampur dengan helium. Campuran terbanyak yang tersedia sekitar 80%/20% dan 70%/30% helium oksigen yang memiliki kepadatan sekitar 1.805 dan 1.586 kali lebih padat dan masing-masingnya tercampur murni dengan oksigen. Dan masing-masingnya tersedia dengan ukuran yang besar dalam bentuk gas silinder. Dalam praktek anastesi, tekanan yang diperlukan unutk ventilasi pada pasien dengan intubasi trakeal dengan diameter kecildapat dikurangi ketika campuran 80%/20% digunakan. Pasien dengan distress akut pada saluran nafas atas - lesi obstruktif seperti edema subglottic, korpus alienum dan tumor trakheal dapat ditangani sampai pertolongan definitifnya dapat diberikan. Selama ini hal ini berhasil jika digunakan dalamkasus-kasus COPD dan asma akut. Campuran helium juga biasanya digunakan sebagai gas dalam alat nebulizer dengan volume yang kecil sebagai bronkodilatator pada terapi asma. Biasanya dengan aliran helium 80%/20% diperlukan peningkatan hingga 11 L/mnt dengan oksigen 6-8 L/mnt. Pasien WOB dapat dikurangi saat heliox terlepas lewat ventilator mekanik (noninvasive atau melalui sebuah saluran udara). Pasien yang nonintubasi pada umumnya menerima terapi heliox melalui kantong reservoir. Oksigen Hiperbarik Terapi oksigen hiperbarik digunakan sebagai ruang bertekanan untuk mengekspos pasien ke lingkungan yang bertegangan melebihi tekanan barometer (biasanya >760 mmHg). Dengan ruangan hiperbarik untuk satu orang, oksigen 100% yang biasanya digunakan pada ruang bertekanan. Ruangan multi yang terbesar mengikuti perawatan simultan dari multi pasien dan kehadiran dari tenaga medis yang seruangan dengan pasien. Multi ruangan menggunkan gas bertekanan rungan dimana pasien menerima oksigen 100% dengan sungkup, kerudung, atau TT. Pada umumnya indikasi untuk oksigen hiperbarik termasuk penyakit dekompressi, emboli gas, gas gangrene, racun karbon monoksida, dan pengobatan luka tertentu. 3. Resiko terapi oksigen Tertapi oksigen dapat menghasilkan toksisitas respiratori maupun nonrespiratori. Faktor yang penting termasuk kepekaan pasien, FiO2, dan durasi terapi. Hipoventilasi Komplikasi ini terutama terlihat pada pasien dengan COPD dimana memiliki retensi CO2. Pasien ini memiliki pengarah respirasi yang berubah sebagian menjadi bagian dependen pada pemeliharaan hipoksemia relatif . Sebagai alternative, mediasi oksigen dilepaskan dari vasokonstriktor dapat menghasilkan laju aliran darah yang besar ke area dengan ventilasi atau perfusi yang tinggi (V/Q) (lihat bab 23). Peningkatan dari arteri tekanan oksigen ke “normal” dapat menyebabkan hipoventilasi berat pada pasien ini. Pada kondisi yang stabil, pasien bernafas spontan dengan hiperkarbi dalam (PaCO2 > 80 mmHg) yang di bantu dengan suplemen oksigen tidak boleh mengalami diskontinuitas suplemen oksigen, walaupun hanya sesaat. Penyerapan atelektasis Oksigen dalam konsentrasi tinggi dapat disebabkan atelektasis pulmonary pada area dengan V/Q yang rendah. Ketika oksigen dibersihkan dari paru, tekanan gas pada kapiler darah pulmonal menghasilkan peningkatan ambilan gas alveoli permukaan menjadi penyerapan atelektasis. Jika sisa area perfusi tetapi nonventilasi, hasil intrapulmonal dapat menjadi peleparan progresif dari gradient alveolar ke arterial. Toksisitas Pulmonal Konsentrasi oksigen yang tinggi dan diperpanjang diketahui merusak paru-paru. Toksisitas bergantung pada tekanan parsial oksigen pada udara inspirasi dan durasi terekspos. Tekanan oksigen arterial lebih dari alveolar adalah lebih penting pada pengembangan toksisitas oksigen. Walaupun oksigen 100% dinaikan 10-20h pada umumnya aman (pada permukaan air laut)., konsentrasi yang lebih besar dari 50-60% untuk periode yang panjang dapat menyebabkan toksisitas dan yang tidak diinginkan. Molekul oksigen dalam keadaan yang tidak biasa pada setiap atom memiliki electron bebas pada kulit luarnya (2P). Hal ini memberikan molekul yang dapat menjadi property paramagnetic yang dapat mengikuti pengukuran yang tepat dari konsentrasi oksigen. Secara khusus, penyususna kembali dari electron ini pada interaksinya dengan atom yang kain (besi) atau molekul (xanthine) dapa menghasilkan racun kimia yang potensial. Toksisitas oksigen telah dipikirkan untuk menjadi generasi interselular dari metabolit oksigen reaktif yang besar (radikal bebas) seperti superoksida, dan ion hydrogen aktif, inti dalam oksigen, dan hidrgen peroksida. Konsentrasi oksigen yang tinggi meningkatkan kemungkinan timbulnya jensi beracun. Metabolit ini bersifat sitotoksik karena bereaksi dengan DNA selular, protein sulfihidril, dan lipid. Dua enzim selular, dismutase superoksida dan katalase, membangun proteksi dengan denag perubahan sekuen dari superoksida, pertama ke hidrogen peroksida dan kemudian menjadi air. Proteksi tambahan dapat dibentuk dari antioksidan dan radikal bebas hewan pemakan bangkai seperti glutation peroksida, asam askorbat (vitamin C), α-tokoferol (vitamin E), asetilsistein, dan mungkin manitol; walaupun, bukti klinis yang mendukung agen ini dalam mencegah toksisitas pulmonal sangat kurang. Jejas mediasi oksigen dar membrane kapiler alveolar menghasilkan suatu sindrom pataologis dan klinis tidak dapat dibedakan dari ARDS. Permeabiliitas membran kapiler meningkat dan penebalan membrane dari sel alveolar tipe I berkurang dan sel tipe II berproliferasi. Trakeobronkitis dapat juga timbul pada bayi baru lahir. Toksisitas pulmonal oksigen pada bayi baru lahir bermanifestasi sebagai dysplasia bronkopulmonal. Retinopati premature Retinopati premature (ROP), sebelumnya dimasukkan dalam retrolental fibroplasias, merupakan gangguan neovaskularisasi retina yang terjadi pada 84% dari bayi prematur hidup dengan umur kurang dari 28 minggu masa kehamilan. Secara khas, (ROP) sembuh kira-kira 80% dari kasus tanpa kehilangan fungsi penglihatan dari retina atau meninggalkan parut. ROP mencapai epidemic pada tahun 1940-1950 dengan kadar oksigen yang tinggi yang tidak termonitor melalui incubator. Terapi oksigen dikenal pengganggu proliferasi vaskuler dan fibrosis sepeti detasemen retina yang menjadi kebutaan. Resiko neonatus pada ROP meningkat dengan berat lahir yang rendah dan kompleksitas komorbiditas (seperti sepsis). Sebaliknya pada toksisitas pulmonal, ROP berkorelasi lebih baik dengan oksigen arterial ketimbang tekanan oksigen alveolar. Konsentrasi oksigen yang direkomendasikan untuk bayi premature dapat menerima adalah sekitar 50-80 mmHg (6,6-10,6 kPa). Jika kebuthan bayi baru lahir membutuhkan saturasi oksigen sebanyak 96-99% untuk alas an kardiopulmonal, khawatir akan bahaya ROP bukanlah alasan untuk menahan oksigen. Toksisitas oksigen hiperbarik Tekanan oksigen yang tinggi pada inspirasi dengan terapi hiperbarik memercepat terjadinya toksisitas oksigen. Resiko dan derajat toksisitas berhubungan dengan tekanan yang digunakan sebaik dari durasi terpapar. Paparan yang lama dengan tekanan parsial oksigen pada kelebihan 0,5 nillai mutlak atmosfer (ATA) dapat menyebabkan toksisitas pulmonal. Hal ini dapat muncul sebagai rasa terbakar pada retrosternal, batuk, rasa tertindih pada dadadan akan menjadi progresif ketidak mampuan paru terhadapa paparan selanjutnya. Pasien yang terpapar dengan O2 pada 2 ATA atau yang lebih besar lagi juga beresiko mengalami toksisitas system saraf pusat. Perubahan perilaku, mual, vertigo, dan/atau kejang otot yang dapat atau tidak didahului dengan gangguan hebat yang nyata. Resiko terbakar Oksigen adalah bahan yang sangat mudah terbakar. Oksigen berpotensi untuk menyebabkan terjadinya kebakaran dan ledakan yang didiskusikan pada bab 2. VENTILASI MEKANIK Di samping intervensi awal dan perawatan agresif respiratori, pasien ICU akan sering membutuhkan ventilasi mekanik. Ventilasi mekanik menggantikan atau menambahkan ventilasi normal pada system pernafasan. Pada banyak kejadian, problem pertama adalah ketidakmampuan mengeliminasi CO2 (kegagalan ventilator). Di samping itu,ventilasi menkanik dapat digunakan sebagai tambahan yang penting. (biasanya untuk terapi tekanan positif; lihat dibawah) pada pengobatan hipoksemia (gagal paru hipoksemik). Penentu inisisasi ventilasi mekanik adalah tanda klinis, tetapi parameter terpenting sudah dicantumkan pada petunjuk. (table 49-4) Tebel 49-4 Petunjuk yang disarankan untuk membutuhkan ventilasi mekanik Tekanan gas respirasi Indikasi langsung Tekanan oksigen arterial < 50 mmHg pada udara ruang, atau tekanan CO2 arterial<50 mmHg tanpa alkalosis metabolic Indikasi tidak langsung Rasio PaO2/FiO2 <300 mmHg Gradien PA-aO2 >350 mmHg VD/VT>0,6 Indikasi klinis Laju nafas >35 kali/ menit Indikasi mekanik Volume tidal <5 mL/kg Kapasitas vital <15 mL/kg Kekuatan inspirasi maksimum < -25 cm H2O (dengan kata lain, -15 cm H2O) Dari dua teknik yang tersedia, ventilasi tekanan positif dan ventilasi tekanan negative, bentuk yang mempunyai aplikasi yang luas dan yang banyak digunakan. Walaupun ventilasi tekanan negative tidak memrlukan intubasi trakeal, itu tidak dapat menjadi substansi yang meningkatkan resistensi airway atau menurunkan pemenuhan pulmonal, dan juga membatasi akses untuk pasien. Selama ventilasi tekanan positif, inflasi paru yang dicapai dengan menerapkan ventilasi tekanan positif untuk saluran nafas bagian atas melalui masker yang pas (non invasif ventilasi mekanik) atau melalui trakea atau tabung trakeostomi. Peningkatan resistensi saluran nafas dan penurunan pemenuhan pulmonal dapat dicapai dengan memanipulasi laju gas inspiratori dan tekanan. Kerugian utama dari ventilasi tekanan positif yang digunakan ventilasi berhubungan dengan perfusi, efek potensial yang kurang baik pada sirkulasi, dan resiko barotrauma dan volutrauma pada pulmo. Ventilasi tekanan positif meningkatkan fisiologi dead space karena aliran gas secara khusus mengakibatkan lebih banyak komplikasi, area nondependent dari paru, sedangkan laju aliran udara (dimana dipengaruhi oleh gravitasi) baik area dependen. Reduksi cardiac output secara primer berhubungan dengan pengurangan venous return ke jantung carena peningkatan tekanan intratorakal. Barotrauma berhubungan erat dengan tingginya puncak tekanan inflasu dan penyakit paru yang mendasari, sedangkan volutrauma berhubungan dengan kolaps yang berulang dann reekspansi dari pat=ru yang normal atau yang sakit. Ventilasi tekanan positif Ventilasi tekanan positif secara periodic menciptakan gradient tekanan antara sirkuit mesin dan alveoli yang menghasilkan laju gas inspiratori. Pernafasan menjadi pasif. Ventilator dan mekanisme kontrolnya dapat menjadi bertenaga mesin pneumatically (oleh sumber gas bertekanan), elektrikal, atau oleh kedua mekanisme tersebut. Laju aliran gas juga berasal langsung dari sumber tekanan gas atau diproduksi oleh piston berputar atau linear. Aliran udara ini kemudian masuk secara langsung kepada pasien (sistem sirkuit tunggal) atau secara umum terjadi dengan ventilator ruang operasi, kompresi dari kantong reservoir yang merupakan bagian dari sirkuit pasien (system sirkuit ganda) Semua ventilator mempunyai empat fase: inspirasi, perubahan drai inspirasi ke ekspirasi, ekspirasi, dan perubahan kespirasi ke inspirasi (lihat bab 4). Manipulasi dari fase-fase ini menentukan VT, laju ventilator, waktu inspirasi, laju aliran udara inspirasi, dan waktu ekspirasi. Klasifikasi dari ventilator Kompleksitas dari ventilator modern diklompokkan menjadi klasifikasi yang mudah. Persatuan dari teknologi mikroprosesor kepada generasi terbaru dari ventilator menjadi lebih komplikated. Meskipun begitu, ventilator secara umum diklasifikasikan berdasarkan karakteristik fasi inspiratori dan metode mereka dari perubahan inspirasi ke ekspirasi. Karakteristik inspiratori Banyak dari ventikator modern berlaku sperti laju generator. Laju konsatan dari generator mengirimkan laju aliran udara inspirasi yang konstan tanpa melihat tekanana dari sirkuit saluran nafas. Laju konstan diproduksi oleh pengunaan dari solenoid ( on-off) katup dengan sumber gas bertekanan tinggi (5-50 psi) atau melalui sebuah injector gas (venture) dengan sumber bertekanan rendah. Mesin dengan sumber gas bertekanan tinggi mengikuti laju aliran gas inspiratori untuk mengingat keburukan konstan dari perubahan besar dari resistensi saluran udara atau pemenuhan kebutuhan paru. Laju nonkonstan dari generator secara konsisten bertukar laju inspiratori dengan setiap siklus inspirasi (seperti oleh piston yang berputar); pola gelombang sinus adalah yang terumum. Generator bertekanan konstan memelihara tekanan konstan aliran udara konstan dalam keseluruhan inspirasi dan tanpa tegantung dengan laju aliran gas inspiratori. Aliran gas berhenti ketika tekanan saluran udara sama dengan tekanan inspiratori. Tekanan generator secara khas dioperasikan (hanya diatas tekanan puncak inspirasi). Perputaran (perubahan dari inspirasi ke ekspirasi) Ventilator time-cycled berputar pada fase ekspirasi sekali pada interval prederminasi yang beralau dari permulaan inspirasi. Vt adalah produk dari dari set waktu inspiratori dan laju aliran inspiratori. Ventilator time-cycled pada umumnya digunakan untuk neonates dan pada ruang operasi. Ventilator volume-cycled menghentikan inspirasi ketika volume preseleksi dikirimkan. Banyak ventilator orang dewasa merupakan volume-cycled tetapi juga mempunyai batas tekanan inspiratori untuk menjaga dari bahaya barotraumas. Jikan tekanan inspiratori melebihi batas tekanan, mesin berputar ke fase ekspirasi jika volume yang dipilih tidak dapat dikirimkan. Pada kenyataannya, kebaikan fungsi dari ventilator volume- cycled masih tidak dapat dikirimkan volume yang di set kepada pasien. Sebuah presentasi dari sebuah set VT selalu kehilangan perluasan dari sirkuit pernapasan selama inspirasi. Pemenuhan su=irkuit biasnaya berkisar 3-5 mL/cm H2O; seperti , bila tekanan 30 cm H2O dihasilkan selama inspirasi, 90-150 mL dari VT set hilang ke sirkuit. Kehilangan dari VT ke sirkuit pernafasan berhubungan kebaliakn dari pemenuhan apru. Untul pengukuran yang akurat dari ekshalasi VT, spirometer harus ditempatkan pada TT lebih dari katup ekshalasi dari ventilator. Ventilator pressure-cycled berputar pada fase ekspirasi ketika tekanan saluran nafas mencapai tingkat predeterminan. VT dan waktu inspirasi bertukar-tujar, berhubungan dengan resistensi jalan nafas dan pulmonary dan pemenuhan sirkuit. Kebocoran yang signifikan dari sirkuit pasien dapat dicegah dengan membangkitkan kebutuhan dari tekanan sirkuit dan mesin pemutar. Sebaliknya, pada peningkatan akut dari resistensi saluran nafas atau penguranagn dari pemenuhan pulmonary, atau pemenuhan sirkuit (titik temu) memyebabkan perputaran premature dan pengurangan VT yang dikirim. Ventilasi pressure-cylced biasanya sangat berguna hanya pada penggunaan jangka pendek. (transport). Ventilator flow-cycled mempunyai tekanan dan mengalirkan sensor yang mengikuti ventilator untuk memonitor laju inspiratori pada tekanan inspiratori preseleksi yang tetap (biasanya 25% dari awal puncak laju aliran mekanik inspiratori), peprutaran ventilator dari inspirasi ke ekspirasi (melihat bagian dari bantuan tekanan/ control tekanan ventilasi). Ventilator yang dikontrol oleh mikroprosesor Mesin serbaguna yang dapat diatur ke fungdi pada varietas apapun dari laju inspiratori dan pola perputaran. Mikroprosesor mengikuti kendali pengulangan semua performa karakteristik ventilator. Ventilator dengan pengendalian mikroprosesor termasuk Puritan-Bennet 7200 dan 840, Siemen servo 300, Respironics Espirit dan Hamilton Veolar Ventilator, dan ventilator daro Ohmeda 7600 dan mesin anesthesia Drager 6000. Tabel 49-5. Model Ventilatory Model Perputaran inspirasi ke ekspirasi Perubahan inspirasi ke ekspirasi Mengikuti Ventilasi spontan Model weaning Volume Waktu Tekanan Laju Waktu Tekanan CMV + + AC + + + IMV + + + + SIMV + + + + + PSV + + + PCV + + MMV + PC-IRV + + APRV + + + HFJV + + + CMV, controlled mechanical ventilation (ventilasi tiruan yang dikendalikan); AC, assist-control ventilation (pengendali pembantu ventilasi); IMV, intermittent mandatory ventilation (ventilasi yang diperintahkan secara intermitten) ; SIMV, synchronized intermittent mandatory ventilation( ventilasi yang diperintahkan secara sinkron dan intermitten); PSV, pressure support ventilation( ventilasi dengan tekanan); MMV, mandatory minute ventilation(ventilasi yang dipoerintahkan dalam menit); IRV, inverse I:E ventilation (ventilasi dengan kebalikan I:E); APRV, airway pressure release ventilation (ventilasi dengan tekanan yang dilepaskan ke saluran nafas); HFJV, high-frequency jet ventilation (ventilasi pancaran frekuensi tinggi) Model Ventilator Model ventilator ditentukan oleh metode yang digunakan oleh ventilator yang berputar dari ekspirasi menuju inspirasi seperti halnya pasien dapat bernafas spontan. (table 49-5 dan Gambar 49-1). Banyak ventilator modern lebih mampu daripada satu model ventilator, dan beberapa (ventilator dengan pengendalain mikroprosesor) dapat dikombinasikan secara serempak Mesin ventilasi yang dikendalikan (CMV) Pada model ini, perputaran ventilator dari ekspirsi ke inspirasi setekah interval waktu yang tetap. Interval menentukan laju inspiratori. Pengaturan dari model ini menyediakan VT yang tetap dan laju yang tetap (dan, oleh karena itu, ventilasi menggunkana wkatu dalam menit) dengan mengabaikan usaha pasien, karena pasien tidak dapat bernafas spontan. Pengaturan untuk batas tekanan inspiratori member petunjuk untuk menghindari barotrauma pulmonary. Pengendalian ventilasi baik dipersiapkan bagi pasien yang mampu sdikit atu tidak ada usaha ventilator. Pasien yang sadar dengan usaha ventilasi aktif membutuhkan sedasi atau pelumpuh otot. Ventilasi pengendali pembantu Dengan menyertakan sensor tekanan pada sirkuit pernafasan, usaha inspiratori pasien spat digunakan untuk penanda respirasi. Kontrol sensitivitas mengikuti sleksi dari usha nafas yang diperlukan. Ventilator dapat diatur sebagai laju ventilator yang tetap, tapi usaha nafas yang cukup besar akan menjadi penanda untuk mengatur VT. Gambar 49-1. Tekanan jalan nafas bentuk gelombang dari model-model ventilasi Jika usaha inspirasi spontan tidak terdeteksi, fungsi mesin seperti pada bentuk kontrol. C. Ventilasi intermiten yang mandatoris (IMV=intermittent mandatory ventilation) IMV mengizinkan ventilasi spontan ketika pasien menggunakan ventilator. Nafas mekanik yang terseleksi (dengan VT yang tetap) diberikan untuk nafas tambahan spontan. Di tingkat mandatoris yang tinggi (10-12 nafas/menit), IMV secara essensial menyediakan ventilasi mekanik minimal dan mengizinkan pasien bernafas relatif independen. VT dan frekuensi nafas spontan ditentukan oleh kekuatan otot dan gerakan ventilasi pasien. Laju IMV dapat disesuaikan untuk menjaga ventilasi menit yang diinginkan. IMV menemukan pemakaian terbesar sebagai teknik sapihan. Ventilasi intermiten mandatoris yang tersinkronisasi (SIMV=synchronized intermittent mandatory ventilation) mengatur nafas mekanik, kapan saja mungkin, untuk menyamakan dengan awal usaha nafas spontan. Sinkronisasi yang tepat mencegah pengadaan berlebihan nafas mekanik ditengah-tengah nafas spontan, menghasilkan VT yang sangat besar. Seperti CMV dan AC, mengatur batas tekanan inspirasi menjaga terjadinya barotrauma pulmoner. Keuntungan SIMV termasuk kenyamanan pasien, dan juka digunakan untuk sapihan, mesin nafas menyediakan cadang jika pasien menjadi lelah. Bagaimanapun juga, jika lajunyaterlalu rendah (4 nafas/menit) , cadangan mungkin terlalu rendah, khususnya untuk pasien-pasien yang tidak dapat mengatasi WOB tambahan yang masuk berlebihan dengan ventilator selama nafas spontan. Sirkuit IMV menyediakan suplai aliran uadara yang berkelanjutan untuk ventilasi spontan antara nafas-nafas mekanik. Ventilator modern memasukkan SIMV kedalam desain mereka, tetapi model-model yang lebih lama harus dimodifikasi oleh sebuah sirkuit yang parallel, sebuah sistem aliran yang berkelanjutan, atau sebuah permintaan untuk katup arus. Terlepas dari sistem, fungsi yang tepat dari katup satu arah dan aliran udara yang cukup dibutuhkan untuk mencegah peningkatan WOB pasien, khususnya ketika PEEP juga digunakan. D. Ventilasi menit yang mandatoris (MMV=mandatory minute ventilation) Pasien dapat bernafas secara spontan dan juga menerima nafas mekanik ketika mesin memonitor ventilasi menit yang dikeluarkan. Pada bentuk ini, mesin secara terus-menerus menyesuaikan jumlah nafas mekanik sehingga total nafas spontan ditambah nafas mekanik dikalikan oleh VT sama dengan ventilasi menit yang diinginkan. Peran dari bentuk ini dalam penyapihan (weaning) tetap tegas. E. Ventilasi penyokong tekanan (PSV=pressure support ventilation) Ventilasi penyokong tekanan didesain untuk menambah VT dari nafas spontan pasien-pasien dan mengatasi peningkatan tahan inspirasi dari TT, sirkuit nafas (tabung, konektor, humidifier), dan ventilator (sirkuit dan katup pneumatic). Mesin-mesin mikroprosesor terkontrol memiliki mode ini, yang mengirim aliran udara yang cukup di setiap usaha inpirasi untuk mejaga tekanan positif yang ditetapkan melalui inspirasi. Ketika aliran inspirasi menurun di tingkat yang ditentukan, Putaran aliran balik ventilator (servo) memutar mesin menjadi fase ekspirasi, dan tekanan aliaran udara kembali ke garis batas (baseline) (gambar 49-2). Pengaturan satu-satunya pada mode ini adalah tekanan inspirasi. Pasien menentukan laju respirasi dan variasi VT berdasarkan aliran udara inspirasi, mekanik paru-paru, dan usaha inspirasi pasien sendiri.PSV dengan tingkat yang rendah ( 5-10 cm H2O) biasanya cukup untuk mengatasi halangan yang ada yang dibentuk oleh perlengkapan pernafasan. Tingkat yang tinggi ( 10 – 40 cm H20) dapat berfungsi sebagai mode ventilator yang berdeiri sendiri dan makanik paru yang stabil. Keuntungan yang prinsip dari PSV adalah kemampuannya untuk memperbesar VT spontan, menurunkan WOB, meambah kenyamanan pasien. Bagaimanapun juga jika pasien lelah atau mekanik paru berubah, VT mengkin dapat tidak adekuat, dan tidak ada laju cadangan jika laju respirasi intrinsic pasien menurun atau pasien menjadi apneu. Penyokong tekanan sering kali digunakan sebagaipenghubung dengan IMV (gambar 49-3). Mesin nafas IMV menyediakan cadangan, dan sebuah penyokong tekanan level rendah digunakan untuk mengimbangi WOB berlebih dari sirkuit dan mesin nafas. Gambar 49-2. Ventilasi penyokong tekanan. Pasien menginisiasi sebuah nafas; mesin diarahkan untuk mengirin tekanan 15 cm H2O (diatas 5 cm H2O tekanan udara positif yang berkelanjutan (CPAP)). Ketika aliran berhenti, mesin berubah menjadi mode ekspirasi. F. Ventilasi Pengontrol Tekanan ( PVC = preassure ventilation control) Ventilasi Pengontrol Tekanan ( PVC = preassure ventilation control) sama dengan ventilasi penyokong tekanan di dalam hal puncak tekanan aliran udara yang terkontrol tetapi berbeda dalam hal laju mandatoris dan waktu inspirasi yang dipilih. Seperti penyokong tekanan, aliran udara berhenti ketika level tekanan dicapai; bagaimanapun juga, ventilator tidak berubah ke ekspirasi sampai waktu inspirasi yang ditetapkan berlalu. PCV dapat digunakan pada kedua mode AC dan IMV. Pada AC, semua nafas (baik diinisiasi oleh mesin atau pasien) adalah bersikluskan waktu dan dibatasi oleh tekanan. Pada IMV nafas yang diinisiasi mesin adalah bersikluskan waktu dan dibatasi oleh tekanan. Pasien mungkin bernafas secara spontan anatar laju yang ditetapkan, dan VT dari nafas spontan ditentukan oleh kekuatan otot pulmo pasien. Keuntungan dari PCV adalah dengan membatasi tekanan inspirasi, risiko barotrauma dan volutrauma dapat diturunkan. Juga, dengan melebarkan waktu inspirasi, penyembuhan alveoli yang kolaps atau terbanjiri mungkin dapat dicapai, menyediakan level PEEP yang cukup untuk digunakan. Kerugian dari PCV adalah VT tidak dapat dijamin. Perubahan pada pemenuhan atau tahanan dapat member efek VT yang dikirimkan. Hal ini merupakan masalah besar pada pasien dengan ALI karena jika pemenuhan berubah tanpa peningkatan tekanan, VT yang cukup mungkin tidak dapat didapatkan. PCV telah digunakan pada pasien dengan ALI atau ARDS , seringkali dengan waktu inspirasi yang memanjang atau rasio ventilasi I:E (IRV) (lihat bawah) yang terbalik dalam usaha memperbaiki alveoli yang kolaps dan terbanjiri. Kerugian menggunakan IRV dengan PCV adalah pasien membutuhkan sedasi yang besar atau paralisis utnuk mentoleransi mode ventilasi ini. Dengan PCV, tekanan dan waktu inspirasi ditunjukkan, sedangkan aliran udara dan volume adalah vriabel dan tergantung pada kemampuan dan tahanan pasien. Dengan ventilasi volume, disisi yang lain, waktu inspirasi juga diatur tetapi aliran dan Vt juga diatus., dan pasa situasi ini tekanan inspirasi dapat sangat tinggi. G. Ventilasi Rasio I:E yang terbalik IRV membalik rasio waktu inspirasi normal menjadi ekspirasi dari 1:3 atau lebih besar menjadi rasio yang lebih besar dari 1:1. Hal ini dapat dicapai denganmenambahkan jeda diakhir inspirasi, dengan menurunkan puncak aliran inspirasi selama ventilasi siklus volume (CMV), atau dengan mengatur waktu inspirasi sehingga inspirasi lebih panjang dari ekspirasi selama PCV ( PC-IRV). PEEP intrinsic mungkin diproduksi selama IRV dan disebabkan oleh udara yang terjebak atau pengosongan paru yang tidak komplit sampai batas dasar (baseline) tekanan sebelum memulai nafas berikutnya. Udara yang terjebak ini menambah FRC sampai equilibrium yang baru dicapai. Mode ini juga tidak mengizinkan nafas spontan dan membutuhkan sedasi berat atau blockade neuromuskuler. IRV dengan PEEP efektif untuk meningkatkan oksigenasi pada pasien dengan penurunan FRC. Oksigenasi secara umum sepadan dengan rata-rata tekanan udara. Gambar 49-3. Ventilasi mekanik intermiten dengan penyokong tekanan . M=nafas mesin, mengatur volume tidal(VT) yang dikirim. S=nafas spontan, 15 cm dari tekanan menyokong lebih dari 5 cm dari PEEP. VT tergantung dari usaha pasien dan mekanik paru. V, aliran; Paw, tekanan jalan nafas parsial; PEEP, tekanan positif akhir ekspirasi. H. Ventilasi tekanan udara yang dilepaskan (APRV = airway pressure released ventilation) APRV atau ventilasi bilevel yang menggunakan level PEEP yang tinggi, selama pasien diizinkan untuk bernafas spontan. Secara intermiten, level PEEP menurun untuk membantu memperbesar eliminasi dari CO2 (Gambar 49-4). Waktu inspirasi dan ekspirasi, tinggi dan rendahnya level PEEP,dan aktifitas respirasi spontan menetukan ventilasi menit. Pengaturan awal termasuk PEEP minimal dari 10-12 cm H2O dan level yang dilepaskan dari 5-10 cm H2O. Keuntungan APRV tampaknya adalah lebih sedikit depresi sirkulasi dan barotraumas pulmober dan juga berkurangnya kebutuhan utnuk sedasi. Teknik ini tampaknya alternative menarik untuk PC-IRV untuk mengatasi masalah-masalah dengan tekanan puncak inspirasi yang tinggi pada pasien dengan kemampuan paru yang berkurang. I. Ventilasi dengan frekuensi tinggi (HFV = high-frequency ventilation) Tiga bentuk HFV tersedia. Ventilasi frekuansi tinggi tekanan tinggi (HFPPV) termasuk pengiriman VT ‘konvensional’ yang kecil pada laju 60-120 nafas/menit. Ventilasi jet frekuensi tinggi (HFJV) memanfaatkan kanula kecil pada jalan nafas melaluinya sebuah dorongan udara bertekanan tinggi dikirimkan pada frekuensi yang diatur 120-160 kali/menit (2-10 Hz). Dorongan gas mungkin memasuki udara secara tiba-tiba (efek Bernoulli), mungkin memperbesar VT. High frequency oscilation (HF) memakai sebuah poros penggerak (biasanya sebuah piston) yang menciptakan pergerakan gas to and fro di jalan nafas pada laju 180-3000 kali/menit (3-50 Hz). Gambar 49-4. Ventilasi tekanan udara yang dikeluarkan Semua ventilasi bentuk ini memproduksi VT pada atau dibawah anatomic dead space. Mekanisme yang pasti dari pertukaran gas tidak jelas tetapi kemungkinan merupakan sebuah kombinasindari efek-efek termasuk ventilasi konvektif, profil-profil kecepatan yang asimetris, dispersie Taylor, pendelluft, difusi molekuler, dan pencampuran kardiogenik. HFJV telah menemukan kegunaan yang besar di ruang operasi. Dapat digunakan untuk prosedul laryngeal, trakeal, dan bronchial dan dapat sangat berguna pada pengelolaan emergensi jalan nafas ketika intubasi trakeal dan ventilasi tekanan positif konvensional tidak berhasil (lihat bab 5). Di ICU, HFJV mungkin berguna untuk mengatur beberapa pasien dengan fistula bronkopleura dan fistula trakeoesofagus ketika ventilasi konvensional gagal. Kadang-kadanga, HFJV atau HFO digunakan pada pasien dengan ARDS untuk meningkatkan oksigenasi. Pemanasan yang tidak adekuat dan humidification dari gas inspirasi selama HFV yang memanjang dapat menjadi sebuah masalah. Pengaturan awal untuk HFJV di ruang operasi adalah laju 120-240 nafas/menit, waktu inspirasi 33%, dan tekanan pendorong 15-30 psi. rata-rata tekanan jalan nafas harus diukur pada trakea paling tidak 5 cm dibawah injector untuk menghindari kesalahan atrifisial dari gas yang masuk secara cepat. Eliminasi karbondioksida umumnya berbanding lurus dengan tekanan pendorong (drive pressure), sedangkan oksigenasi berbanding lurus dengan rata-rata tekanan jalan nafas. Efek PEEP intrinsic dilihat selama HFJV pada tekanan pendorong yang tinggi dan waktu inspirasi yang lebih besar dari 40%. J. Ventilasi Paru Diferensial (DLV = Differential lung ventilation) Teknik ini, juga disebut sebagai ventilasi paru independent (ILV = independent lung ventilation), padat digunakan pada pasuen-pasien dengan penyakit paru atau fistula bronkopleural. Penggunaan ventilasi tekanan positif konvensional dan PEEP dengan instant dapat memperburuk ketidaksesuaian ventilasi atau perfusi atau, pada pasien dengan fistula, menghasilkan ventilasi yang tidaka adequate dari paru yang tidak terkena. Pasien dengan penyakit restriktif pada salah satu paru, distensi berlebihan dari paru yang normal dapat menyebabkan hipoksemia yang makin memburuk atau barotrauma. Setelah memisahkan paru-paru dengan pipa bronchial dengan lumen ganda, ventilasi takanan positif diferensial dengan dua ventilato dipasang ke setiap paru secara independen. Ketika kedua ventilator digunakan, waktu nafas mekananik beiasanya disinkronkan dengan satu ventilator, the ‘master’, mengatur laju untuk ventilator ‘slave’. 2. Perawatan pasien yang memerlukan ventilasi mekanik Intubasi trakea Intubasi trakea untuk ventilasi mekanik umum dilakukan pada pasien-pasien ICU untuk mengelola kegagalan pulmoner. Intubasi trakea nasala dan oral tampaknya relative aman untuk paling sedikit 2-3 minggu. Ketika dibandingkan dengan intubasi oral untuk periode waktu yang panjang di ICU, intubasi nasal mungkin lebih nyaman untuk pasien, lebih aman ( kecelakaan ektubasi instan lebih sedikit), krang menyebabkan kerusakan laryngeal. Intubasi nasal, bagaimanapun juga, memiliki efek samping yang signifikan yang dihubungkan dengan penggunaannya, termasuk perdarahan nasal yang signifikan, bakteremi transient, diseksi submukosa dari nasofaring atau orofaring, dan sinusitis atau otitis media (dari obstruksi pipa auditorik). Intubasi dapat sering dilakukan tanpa penggunaan sedasi atau pelemah otot pada pasien-pasien agonal atau tidak sadar. Anestesi topical pada jalan nafas atau sedasi, bagaimanapun juga, membantu pasien-pasien yang masih memiliki reflek saluran nafas yang aktif. Pasien yang lebih bertenaga dan tidak kooperatif membutuhkan berbagai macam derajat sedai; pemberian NMBA sangat memfasilitasi intubasi orotrakeal. Dosis kecil dari agen-agen short-acting digunakan secara umum; agen yang popular termasuk midazolam, atomidate, propofol, dan methohexital. Succylcholine atau NMBA nondepolarisasi (mivacuronium atau rocuronium) dapat digunakan untuk paralisis setelah agen hipnotok diberikan. Waktu intubasi trakea dan inisiasi ventilasi mekanik sering merupakan suatu periode dari ketidakstabilan hemodinamik. Hipertensi atau hipotensi dan bradikardi atau takhikardi mungkin ditemui. Factor yang bertanggung jawab termasuk aktifasi reflek otonom dari stimulasi jalan nafas, depresi myiocard dan vasodilatasi dari agen-agen hipnotik sedatif, pasien tegang, withdrawal intens dari aktifitas simpatik, pengurangan aliran balik vena karena tekanan positif jalan nafas. Pengawasan yang cermat diperlukan selama dan segera setelah intubasi. Saat digunakan lebih dari 2-3 minggu, TT translaringeal nasal dan oral, keduanya dapat memberi kencederungan pasien untuk stenosis subglotik. Jika ventilasi mekanik periode panjang dibutuhkan, TT seharusnya diganti dengan pipa trakeostomi. Jika terantipasi bahwa TT akan dibutuhkan lebih dari 2-3 minggu, dan dibeberapa institusi lebih dari 1 minggu, trakeostomi dilakukan dalam beberapa hari pertama intubasi. Pengaturan Awal Ventilator Tergantung dari tipe kegagalan pulmoner, ventilasi mekanik digunakan untuk memberikan sokongan ventilasi sebagian ataupun penuh. Untuk sokongan penuh ventilasi, CMV, Ac, atau PVC umumnya dipekerjakan dengan laju respirasi 10-12 nafas.menit dan VT 8-10 mL/kg; VT yang lebih rendah (6-8 mL/kg) mungking diperlukan untuk menghindari tekanan puncak inflasi yang tinggi (> 35-40 cm H2O) dan barotraumas dan volutrauma pulmoner. Tekanan jalan nafas yang tinggi yang menyebabkan overdistensi alveoli ( tekanan transalveoler > 35 cm H2O) dapat menyebabkan kerusakan paru dan dapat dilihat sacara eksperimental. Demikian juga, Vt yang lebih besar dari 10mL/kg telah dihubungkan dengan peningkatan mortalitas pasien-pasien ARDS. Penyokong ventilasi parsial biasanya disediakan oleh SIMV ( <8 nafas/menit), dengan atau tanpa penyokong tekanan. Rata-rata tekanan saluran nafas yang rendah (<20-30 cm H2O) dapat membantu menjaga cardic output dan kurang menyebabkan perubahan hubungan ventilasi/perfusi. Pasien bernafs secara spontan pada SIMV harus mengatasi hambatan tambahan dari TT, tuntutan katub, dan sirkuit nafas dari ventilator. Perlawanan yang dipaskakan ini meningkatkan WOB. TTs yang kecil ( <7,0-7,5 mm i.d.) sebaiknya dibindari sebisa mungkin. Pengguanaas penyokong tekanan yang serentak 5-15 cm H2O selama SIMV dapat mengkompensasi untuk hambatan TT dan sirkuit. Penambahan PEEP 5-8 cm H2O selama ventilasi tekanan positif mempertahankan FRC dan pertukaran gas. PEEP ‘fisiologis’ ini bertujuan untuk mengkompensasi kehilangan jumlah yang sama PEEP intrinsic (penurunan FRC) pada pasien-pasien setelah intubasi trakeal. Periodik VT yang besar (desahan nafas) tidak diperlukan ketika PEEP fisiologis (kira-kira 5 cm H2O) dan VT 6-10 ml/kg digunakan. Sedasi dan paralisis Sedasi yang berat mungkin diperlukan untuk pasien-pasien yang gelisah dan ‘melawan’ ventilator. Batuk dan ketegangan yang berulang dapat memiliki efek samping hemodinamik, dapat menggangu pertukaran gas, dan memiliki kecenderungan terjadinya barotraumas pulmoner dan luka self-inflicted (ditimbulkan dari diri sendiri). Sedasi dengan atau tanpa paralisis dapat diperlukan ketika pasien terus mengalami takhipneu meskipun laju respirasi mekanik yang tinggi ( >16-18 nafas/menit) Sedasi yang umumnya digunakan termasuk opoid (morfin dan fentanyl), benzodiazepam (diazepam, midazolam, atau lorazepam), propofol, dan dexmedetomidine. Agen-agen ini dapat digunakan sendiri-sendiri atau dalam kombinasi dan paling efektif dimasukkan melalui infuse. NMBAs nondepolarisasi digunakan untuk paralisis (bersamman dengan obat sedatif dosis adekuat) ketika semua cara lain untuk memventilasi pasien telah gagal. Pengawasan Pasien dengan ventilasi mekanik membutuhkan pengawasan efek samping hemodinamik dan pulmoner terus-menerus hasil dari tekanan positif di jalan nafas. Pengawasan lektrokardiografi, nadi, oksimetri, dan tekanan intraarteri direct(langsung) yang terus-menerus sangatlah berguna. Yang terakhir, sering juga memungkinkan pengambilan sampel tekanan darah arteri untuk analisis gas darah. Pencatatan masuk dan keluarnya cairan dengan hati-hati diperlukan untuk menilai keseimbangan cairan secara akurat. Tinggalnya kateter urine sangatlah membantu. Pengawasan tekanan vena dan atau arteri pulmoner sentral diindikasikan pada pasien-pasien yang secara hjemodinamik tidak stabil dan yang dengan pengeluaran urine yang rendah. Radiografi dada harian umumnya diperoleh untuk mengakses TT dan garis posisi sentral, mencari bukti-bukti barotraumas pulmoner, membantu evaluasi keseimbangan cairan, dan mengawasi progesi dari penyakit pulmoner. Tekanan jalan nafas (baseline, puncak, dan rata-rata), Vt inhalasi dan ekshalasi (mekanik dan spontan), dan konsentrasi oksigen fraksional sebaiknya diawasi dengan teliti. Pengawasan parameter-parameter ini tidak hanya mengizinkan penyesuain pengaturan ventilator tetapi juga membantu mendeteksi masalah-masalah TT, sirkuit nafas, dan ventilator. Suctioning (penyedotan) sekret jalan nafas yang tidak adekuat dan adanya sumbatan besar mukous sering bermanifestasi sebagai peningkatan titik puncak inflasi tekanan (peak inflasion pressure) dan penurunan VT ekshalasi. Terlebih lagi, peningkatan titik puncak inflasi tekanan (peak inflasion pressure) yang mendadak bersaman dengan hipotensi yang mendadak sangat memberi kesan adanya pnumothorak. 3. Penghentikan Ventilasi Mekanik Kemudahan menyapih (atau membebaskan) pasien dari ventilator umunya berbanding terbalik dengan durasi dari ventilasi mekanik. proses yang mengharuskan ventilasi mekanis harus dibalik atau di bawah kontrol sebelum penyapihan dilakukan. Factor-faktor komplikasi juga sebaiknya diobati dengan adekuat, termasuk bronkospasme, gagal jantung, infeksi, malnutrisi, alkalosis dan asidosis metabolic, anemia, peningkatan produksi CO2 karena muatan karbohidrat yang tinggi, status mental yang berubah, dan depriviasi tidur. Penyakit paru yang mendasari dan wasting otot pulmoner dari disuse yang panjang sering merupakan faktor mayor yang menyulitkan penyapihan. Penyapihan dari ventilasi mekanik mungkin dipertimbangkan ketika pasien tidak lagi memenuhi criteria umum untuk ventikasi mekanik (lihat table 49-4). Indices mekanik tambahan telah juga menyarankan (table 49-6). Tanda-tanda klinik perbaikan sebaiknya disokong dengan penemuan laboratori dan radiografik. Parameter penyapihan yang paling berguna adalah tegangan(tensi) gas darah arteri, laju respirasi, dan indeks pernafasan dangkal yang cepat (RSBI = rapid shallow breathing index). Reflek jalan nafas yang intak dan pasien yang kooperatif juga wajib diperlukan sebelum proses penyapihan selesai kecuali pasien memiliki ikatan dengan tabung trakeostomi. Demikian juga, oksigenasi yang adekuat (saturasi hemoglobin arteri > 90%) di O2 40-50% dengan PEEP kurang dari 5 cm H2O sangat penting sebelum ekstubasi. Ketika pasien disapih dari ventilator dan ekstubasi direncanakan, RSBI sering digunakan untuk membantu memprediksi siapa yang dapat disapih dengan berhasil dari ventilator dan ekstubasi. Dengan pasien bernafas spontan pada T-piece, VT dan laju respirasi diukur: RSBI = f (nafas/menit) VT (L) Pasien dengan RSBI kurang dari 100 dapat diekstubasi dengan sukses. Mereka yang denga RSBI lebih dari 120 sebaiknya tetap berada pada ventilasi mekanik derajat tertentu. Teknik paling umum untuk menyapih pasien dari ventilator termasuk SIMV, penyokong tekanan, atau periode-periode nafas spontan pada T-piece atau CPAP level rendah. Ventilasi menit madatoris juga disarankan sebagai teknik penyapihan yang ideal, tetapi pengalaman dalam hal ini lebih terbatas. Penyapihan dengan SIMV Dengan SIMV jumlah nafas mekanik secara progresif menurun (1-2 nafas / menit) selama tegangan CO2 arteri dan laju respirasi tetap dapat diterima (umumnya <45-50 mmHg dan <30 nafas/menit). Jika penyokong tekanan secara bersamaan digunakan, sebaiknya umumnya diturunkan samapai 5-8 cm H2O. pada pasien-pasien dengan gangguan asam basa atau retensi CO2 kronik, pH arteri (> 7,35) lebih berguna daripada tegangan CO2. Pengukuran gas darah dapat diperiksa setelah minimal 15-30 setelah pengaturan. Ketika IMV 2-4 nafas tercapai, ventilasi mekanik diputus jika oksigenasi arteri dapat diterima. Tabel 49-6 Kriteria mekanik untuk penyapihan/ektubasi Kriteria Ukuran Tekanan inspiras < - 25 cm H2O Volume tidal > 5 ml/kg Kapasitas Vital > 10 ml/kg Ventilasi menit < 10 ml Indeks nafas dangkal yang cepat < 100ml Penyapihan dengan T-piece atau CPAP Percobaan T-piece memperbolehkan obeservasi ketika pasien bernafas spontan tanpa nafas mekanik. T-piece melekat langsung ke TT atau tabung trakeostomi dan memiliki pipa yang bergelombang dikedua cabang. Campuran oksgen-udara yang humidified mengalir kedalam cabang proksimal dan keluar dari cabang distal. Aliran gas yang cukup harus diberikan pada lengan proksimal untuk mencegah kabut(mist) tertarik kembali di cabang distal selama inspirasi; hal ini memasitikan bahwa pasien mendapat konsentrasi oksigen yang diinginkan. Pasien diamati dengan teliti selama periode ini; adanya tanda-tanda nyata kelelahan, retraksi dada, takhipnea, takhikardi, aritmia, atau hipertensi atau hipotensi sebaiknya mengakhiri percobaan. Jika pasien tampaknya dapat mentoleransi periode percobaan dan RSBI kurang dari 100, ventilasi mekanik dapat diputus secara permanen. Jika pasien juga dapat menjaga dan membebaskan jalan nafas, TT dapat dipindahkan. Jika pasien telah diintubasi dalam waktu yang lama atau memiliki penyakit paru berat yang mendasari, percobaan T-piece kedua mungkin diperlukan: periode percobaan 10-30 menit diinisiasi dan ditingkatkan secara progresif 5-10 menit atau lebih lama tiap percobaan selama pasien tampak nyaman dan gas darah arterinya terjaga ditingkat yang dapat diterima. Banyak pasien mengalami atelektasis yang progresif salama percobaan T-piece yang diperpanjang. Hal ini mungkin merefleksikan ketiadaan PEEP “fisiologis” normal ketika laring di-bypass dengan TT. Jika hal tersebut terjadi, percobaan nafas spontan pada CPAP tingkat rendah (5 cm H2O) dapai dicoba. CPAP membantu menjaga FRC dan mencegah atelektasis. Terapi Tekanan Positif Jalan Nafas Terapi Tekanan Positif Jalan Nafas dapat digunakan pada pasien-pasien yang bernafas spontan seperti juga yang menggunakan ventilasi mekanik. Indikasi dasar untuk Terapi Tekanan Positif Jalan Nafas adalah penurunan FRC simptomatik, peningkatan compliance(kepenuhan) paru, ketidakcocokan ventilasi/perfusi. Yang terakhir direfleksikan dengan penuruna admixture(campuran) vena dan perbaikan tekanan O2 arteri. Tekanan positif akhir ekspirasi Aplikasi tekanan positif selama ekspirasi sebagai tambahan untuk nafas yang dikirim secara mekanik selama ekspirasi disebut sebagai PEEP. Katup PEEP ventilator menyediakan ambang batas tekanan yang memperbolehkan aliran ekspirasi hanya ada ketika tekanan jalan nafas sama atau melebihi tingkat PEEP yang ditetapkan. Ambang batas ini biasanya disediakan oleh katup ekspirasi bertekanan atau diafragma. Tekanan positif jalan nafas yang berkelanjutan (continue) Aplikasi tekanan positif selama inspirasi dan ekspirasi dengan nafas spontan mengarah pada CPAP. Tingkat yang konstan oada tekanan hanya dapat dicapai jika sumber gas high-flow dipakaikan. Jika pasien tidak memiliki jalan napas artificial, sungkup muka yang baik, sungkup hidung, nasal “pillows” (sirkuit ADAM), atau nasal prongs (untuk neo natus) dapat digunakan.karena adanya resiko untuk distensi lambung dan regurgitasi, sungkup CPAP harus digunakan pada pasien yang perlu pengawasan dengan reflex jalan napas yang intak dan dengan tingkat CPAP kurang dari 15 cmH2O (kurang dari tekanan spingter esophagus distal pada orang normal). Tekanan ekspirasi di atasi 15 cm H2O membutuhkan jalan napas artificial. CPAP VS PEEP Perbedaan PEEP dan CPAP seringkali kabur karena pasien mungkin saja benapas dengan kombinasi antara pernapasan mekanik dan pernapasan spontan. Oleh karena itu, kedua istilah tersebut sering dipakai saling menggantikan. Dalam kasus-kasus tertentu, PEEP murni adalah pern apasan yang selurus system pernapasan yang sirkulasinya diatur oleh ventilator. Sebaliknya, CPAP murni adalah pernapasan yang diatur/ dibantu dengan aliran udara (60-70 L/menit) untuk mencega kolapsnya system jalan napas dibawah tingkat ekspirasi selama napas spontan. Oleh karena itu, jika dibandingkan dengan PEEP, CPAP memberikan suplai yang lebuh sedikit tetapi dengan tekanan jalan napas yang lebih kecil pula. Beberapa ventilator dengan system demand valve-based CPAP mungkin tidak cukup reszponsif dan mengakibatkan naiknya WOB inspiratorik. Situasi ini, dapat dikoreksi dengan penambahan PSV (inspiratorik) dengan tingkat rendah, jika dalam modus dengan target volum, atau mengubahnya jadi modus yang bertarget tekanan. Pada praktek klinis, dukungan ventilasi terkontrol, PSV, dan CPAP/PEEP dapat diberikan melalui ventilator ICU yang modern. Pabrik-pabrik juga telah mengembangkan alat spesifik untuk menyuplai bilevel inspiratory positive airway pressure (IPAP) dengan expiratory positive airway pressure (EPAP)dalam tipe spontan ataupun siklus waktu. Efek pulmoner PEEP dan CPAP Efek mayor PEEP pada paru adalah meningkatkan FRC. Pada pasien dengan volum paru yang mengecil, baik PEEP dan CPAP meningkatkan FRC dan ventilasi tidal diatas kapasitas (closing capacity), meningkatkan kompliansi paru dan mengoreksi abnormalitas perfusi/ ventilasi. Penurunan ygang dihasilkan dari intra pulmoner shunting, akan meningkatkan oksigenasi arterial. Mekanisme prinsip dari aksi tersebut adalah stabilisasi dan ekspansi dari sebagian alveoli yang kolaps. Reekspansi dari alveoli yang kolaps tersebut muncul pada tingkat PEEP atau CPAP diatas titik infleksi, yang ditetapkan sebagai kurva tingkat tekanan terhadap sebuah volume tekanan dimana alveoli yang kolaps dibuka, dengan perubahan-perubahan kecil pada tekanan, disitu akan terjadi perubahan volume yang besar. Walaupun, baik kedua PEEP ataupun CPAP, tidak dapat menurunkan/ mengurangi cairan paru ekstravaskuler total, penelitian menunjukan bahwa keduanya dapat meredistribusikan cairan ekstravaskuler paru dari ruang interstitial, antara alveoli dan sel endotel melalui area peribronkial dan perihilar. Kedua efek tersebut dapat berpotensi meningkatkan oksigenasi arterial. Tetapi, PEEP ataupun CPAP yang berlebihan, dapat menimbulkan over distensi pada alveoli dan bronkusm meningkatkan ventilasi dead space, dan menurunkan kompliansi paru, kedua efek dapat meningkatkan WOB secara signifikan. Dengan menekan kapiler-kapiler alveoli, overdistensi dari alveoli normal dapat juga meningkatkan tahanan vascular polmo dan afterload dari bilik kanan. Insiden yang lebih sering terjadi adalah barotraumas, dimana PEEP atau CPAP yang berlebihan masuk, khususnya pada level yang lebih besar dari 20cmH2O. disrupsi dari alveoli mengakibatkan udara dapat menembus secara interstisial sepanjang bronchi sampai masuk pada mediastinum (pneumomediastinum). Dari mediastinum, udara dapat mnimbulkan rupture kedalam cavum pleura (pneumotorax) atau ke pericardium (pneumopericardium) atau dapat mendiseksi sepanjang jaringan subcutan (emfisema subkutan) atau ke dalam abdomen (pneumoperitonium atau pneumoretroperitonium). Kegagalan dari penyegelan udara tersebut menghasilkan fistula bronkopleural. Barotraumas lebih mungkin berhubungan erat dengan puncak lebih tinggi dari tekanan ispiratorik yang berefek naiknya tingkat PEEP atau CPAP. Factor lain yang mungkin meningkatkan resiko barotrauma termasuk penyakit paru yang mendasari, tingginya kecepatan pernafasan mekanik seperti adanya stacking of breaths, sehingga PEEP intrinsik timbul, besarnya volume tidal (> 10-15mL/kg) dan usia muda. ADVERSE NONPULMONARY EFFECTS of PEEP and CPAP Efek yang kurang baik secara primer terhadap sirkulasi dan berhubungan dengan transmisi dari tekanan jalan napas yang meningkat terhadap isi rongga dada. Untungnya, transmisi secara langsung berhubungan dengan kompliansi paru , yang mengakibatkan pasien dengan kompliansi paru yang menurun (yang membutuhkan PEEP) adalah yang paling jarang terkena. Reduksi progfresif pada curah jantung(cardiac ouput) seringkali dilihat sebagai rata-rata dari tekanan jalan napasm dan sekundernya, rata-rata peningkatan tekanan intra torak. Mekanisme utama adalah penurunan progresif dari aliran balik vena ke jantung. Mekanisme lain dapat melibatkan dislokasi ke nkiri dari septum interventrikel karena peningkatan tahanan vaskuler paru dari overdistensi alveoli, yang mengarah pada peningkatan volum bilik kanan. Oleh karena itu, Kompliansi bilik kiri dapat dikurangi/diturunkan dikurangi, ketika hal ini terjadi maka, untuk menghasilkan preload yang sama dibutuhkan filling pressure yang lebih tinggi. Pemberian cairan intravena biasanya, setidaknya akan dapat mengurangi efek PEEP dan CPAP pada curah jantung. Depresi sirkulasi seringkali dikaitkan dengan end-expiratory ppressure yang lebih besar dari 15cm H2O. Elevasi yang dipengaruhi PEEP dalam tekanan vena sentral dan reduksi curah jantung menurunkan aliran darah ke ginjal dan hepar.tingkat sirkulasi dari ADH (anti diuretic hormone) dan angiotensin biasanya meningkat. Output urinarius, filtrasi glomerulus, dan klirens air bebas menurun. Peningkatan tekanan vena sentral juga menyukarkan hipertensi intracranial. Naiknya tekanan akhir ekspirasi (end-expiratory-pressure), karena menyebabkan turunnya aliran balik vena, dapat juga bermanifestasi sebagai peningkatan tekanan intracranial pada pasien yang kompliansi ventrikel nya menurun. Oleh karena itu, pada pasien yang menggunakan ventilasi mekanik untuk ALI dan dengan bukti adanya kenaikan ICP(tekanan intra kranial), tingkat PEEP harus dengan hati-hati dipilih untuk menyeimbangkan kebutuhan oksigenasi untuk mengindari efek pada tekanan intracranial. Penggunaan optimum PEEP dan CPAP Tujuan dari terapi tekanan posited adalah untuk menungkatkan oksigenasi jaringan, juga menghindari sekuaelae tinggi yang kurang baik (> 0.5) FiO2. Yang terakhirdapat dikatakan telah secara optimal selasai adal;ah hanya jika curah jantung yang cukup dankonsentrasi hemoglobin lebih dari 8-10g/dL dapat dipertahankan dengan baik. Idealnya, perbedaan isi tegangan campuran oksigen vena (mixed venous oxygen tension) atau arteriovenosus oksigen harus diikuti. Efek kejenuhan PEEP (atau CPAP) dalam tegangan oxygen arteri harus diseimbangkan dengan efek detrimental pada curah jantung. PEEP atau CPAP melampaui 15cmH2O biasanya membutuhkan monitoring tekanan arteri pulmonal untuk menatalaksana fungsi sirkulasi dan pengukuran dari tegangan oksigen vena dan kalkulasi dari venous admixture. Infuse volume atau support inotropik mungkin penting, dan harus dijaga dengan pengukuran haemodinamik. Pada optimal PEEP efek keuntungan maksimum dari PEEP tumpang tindih dengan edek detrimental. Secara praktis, PEEP biasanya ditambahkan pada kenaikan 3-5 cmH2O sampai titik terapeutik yang diinginkan dicapai. End-point yang paling disarankan adalah tingkat kejenuhan oksigen arteri dari hemoglobin yang lebih besar dari 80-90% pada kejenuhan konsentrasi oksigen inspiratorik nontoksik (<50%). Banyak klinisi lebih suka menurunkan konsentrasi oksigen inspirasi sampai 50% atau kurang karena potensi efek yang kurang baik akan adanya konsentrasi oksigen yang lebih tinggi dalam paru. Alternative lain, PEEP mungkin dititrasi pada kejenuhan oksigen arteri dan vena. (mixed venous artery oxygen saturation) (SvO2 > 50-60%). Disarankan untuk mengawasi kompliansi aru dan dean space. Teknik perawatan Pernapasan yang lain Beberapa teknik perawatan pernapasan yang lain untuk memelihara ataupun meningkatkan fungsi pulmo. Termasuk didalamnya mengaplikasikan aerosol atau bronkodilatator dan membersihkan sekresi pulmonair. Uap/ embun aerosol adalah gas atau campuran gas yang mengandung suspendi partikel likuid. Cairan aerosol (aerosolized water) dapat digunakan untuk mengurangi sekresi dan memfasilitasi pengeluaran sekresi dari system trakeobronkial. Embun aerosol juga dipakai sebagai cara pemberian bronkodilatator, agen mukolitik, vasokonstriktor, walaupun inhalers yang terukur dosis lebih disukai untuk sarana pemberian bronkodilatator. Batuk normal membutuhkan kaspasitas inspirasi yang cukup, glottis yang intak, dan kekuatan otot yang cukup (otot-otot abdomen dan diafragma). Terapi aerosol, dengan atau tanpa bronkodilatator dapat menginduksi batuk seperti halnya menginduksi sekresi berlebih. Pengukuran tambahan yang efektif seperti halnya pada perkusi atau terapi vibrasi dan drainase postural dari lobus-lobus paru. Maneuver yang menimbulkan inflasi paru seperti pemakaian insentif spirometer dapat membantu menginduksi batuk seperti pada pencegahan ateletaksis dan melindungi volume normal paru. Pasien harus diberitahu untuk mengambil napas kira-kira 15-20mL/kg dan menahannya 2-3 detik sebelum mengheas darah mbuskan napas. Saat sekresi kental dihubungkan dengan ateletaksis dan hipoksemia, pengukuran yang lebih lanjut dapat diindikasikan. Termasuk di dalamnya suctioning melalui kateter nasofaring atau bronkoskop fleksibel atau melalui TT. Ketika ateletaksis tidak dihubungkan dengan retensi sekresi, periode pendek masker CPAP atau ventilasi bertekanan positif melalui TT biasanya efektif. GAGAL NAFAS Gagal nafas dapat didefinisikan sebagai ketidak sesuaian pertukaran gas normal yang cukup gawat dan membutuhkan intervensi terapeutik. Definisi berdasarkan gas darah arteri tidak dapat diterapkan pada pasien dengan penyakit paru kronis, dyspnea, dan asidosis respiratorik progresifsering juga muncul pada pasien dengan retensi CO2 kronis. Gas darah arteri secara khas mengikuti satu dari beberapa pola pada pasien dengan gagal nafas. Pada keadaan ekstrim, kekacauan biasanya terjadi secara primer pada terganggunya transfer oksigen dari alveoli ke darah, menimbulkan peningkatan yang menuju hipoksemia (hypoxic respiratory failure); kecualikegawatan ventilasi/ketidaksesuaian perfusi muncul, eliminasi CO2 dalam keadaan ini biasanya normal atau malah meningkat. Pada keadaan ekstrim yang lain, ketidak mampuan system pernadasan secara primer memperngaruhi eliminasi CO2 (pure ventilator failure), yang menghasilkan/ berdampak timbulnya hiperkapnia, ketidaksesuaian ventilasi ke perfusi jarang terjadi/ minimal sekali. Tetapi, hipoksemia sendiri dapat muncul sebagai akibat tadanya kegagalan ventilasi murni ketika tekanan CO2 arterial mencapai 75-80mmHg pada pasien yang bernapas pada udara kamar. Kebanyakan pasien dengan gagal napas menunjukan pola antara dua keadaaan ekstrim ini. Penatalaksanaan Tanpa memperdulikan kelainannya, penatalaksanaan dari gagal napas secara primer adalah terapi suportif ketika komponen-komponen reversible dari penyakit yang mendasari diatasi. Hipoksemia diatasi dengan terapi oksigen dan tekanan positif jalan napas (jika FRC turun), sedangkan pada hiperkarbia (gagal ventilasi) ditasi dengan ventilasi mekanik. Pengukuran umum lainnya termasuk juga yang menggunakan bronkodilatator aerosol , antibiotic intravena, dan diuretic untuk menurunkan overload cairan dan mengoptimalkan fungsi kardiovaskularm dan support nutisi yang cukup. Beberapa pasien dapat merasakan manfaat dari aminofilin infusion, yang dapat meningkatkan fungsi diafragma. EDEMA PULMONER. Patofisiologi Edema pulmoner berasal dari transudasi cairan, pertama berasal dari kapiler pulmo ke ruang interstisial, dan kemutiad dari ruang interstisial ke alveoli. Cairan dalam ruang interstisial dan alveoli secara kolektif akan terkumpul sebagai cairan extravaskuler paru. Pergerakan dari cairan yang melintasi kapiler paru mirip dengan apa yang terjadi [ada kapiler beds yang lain dan dapat digambarkan dengan persamaan starling: Q= K x [(Pc’ – Pi) – σ (πc’ – πi)] Dimana Q adalah aliran bersih yang melalui kapiler; Pc’ dan Pi adalah tekanan hidrostatik kapiler dan interstisial; πc’ dan πi adalah tekanan onkotik kapiler dan interstisial; K adalah koefisien filtrasi yang berhubungan dengan permukaan kapiler efektif per massa jaringan, dan σ adalah koefisien yang menggambarkan permeabilitas dari endotel terhadap albumin. Sebuah σ dengan nilai 1 menggambarkan bahwa endothelium sama sekali tidak permeable (impermeable) terhadap albumin, dimana nilai 0 mengindikasikan adanya permeabilitas penuh terhadap albumin dan partikel-partikel lain. Endotel pulmo normalnya bersifat semi permeable terhadap albumin, misalnya, jika konsenrasi albumin interstisial berkisar satu setengah kali konsentrasi plasma, maka dari itu, πi harus berkisar 14mmHg (1.5x konsentrasi plasma). Tekanan hidrostatik pulmoner sangat bergantung pada ketinggian vertical paru (gravitasi)dan normalnya bervariasi antara 0 sampai 15 mmHg ( dengan rata-rata 7 mmHg). Karena Pi diperkirakan normal dengan nilai -4 sampai -8 mmHg, kekuatan yang menimbulkan transudasi (Pc’,Pi, dan πi ) biasanya hamppir seimbang dengan kekuatan yang menimbulkan reabsorbsi (πc’). Jumlah bersih cairan yang secara normal bergeser ke luar dari kapiler pulmo hanya sedikit (sekitar 10-20mL/jam pada dewasa) dan dengan cepat dikeluarkan oleh system limfatik paru, yang mengembalikannya ke sirkulasi vena. Membrane epitel alveolar, biasanya permeable terhadap gas dan air, tapi tidak permeable terhadap albumin (dan protein yang lain). Pergerakan bersih air dari interstisium ke dalam alveoli muncul hanya saat normal negative Pi menjadi positif (relative terhadap tekanan atmosfer). Untungnya, karena keunikan ultrastruktur paru dan kemampuannya untuk meningkatkan aliran limfe, , interstisium paru biasanya mempermudah peningkatan besar dari transudasi kapiler sebelum Pi menjadi positif. Ketika kapasitas ini terlampauim edema pulmo mulai timbul. Edema pulmonal seringkali digolongkan menjadi 4 tingkat (stages): Tingkat 1: hanya edema pulmo interstisial. Pasien seringkali menjadi takipnik seiring menurunnya kompliansi paru. Radiografi dada juga mngungkap adanya peningkatan marking interstisial dan cuffing peribronkial. Tingkat 2: cairan mengisi interstisium dan mulai mengisi alveoli, mulai memenuhi sudut antara septum adjacent (cresentic filling). Pertukaran gas dapat tetap dihindari. Tingkat 3: daerah alveolar yang meluap, seperti banyak alveoli yang penuh dengan air tanpa udara lagi. Luapan terjadi paling menonjol pada deopendent area of the longs. Aliran darah melalui kapiler dari alveli yang penuh dengan air tersebut memberikan hasil berupa kenaikan shunting pulmonair. Hipoksemia dan hipokapnia (akibat dispnea dan hiperventilasi) merupakan karakteristik. Tingkat 4: ditandai dengan luapan alveolar yang meluas sampai ke jalan napas sebagai buih. Pertukaran gas dapat dikompromi karena kedua shunting dan obstruksi jalan napas. Biasanya diikuti oleh hiperkapnia progresif dan hipoksenia gawat. Sebab-sebab edema pulmoner Edema pulmoner biasanya disebabkan karena kenaikan tekanan hidrostatik terhadap kapiler ( edema pulmoner dan hemodinamik) atau karena kenaikan permeabilitas membrane (edema karena kenaikan permeabilitas atau edema non pulmoner). Perbedaan mendasar seringkali didapatkan pada tekanan dari oklusi arteri pulmonalis (PAOP), yang lebih besar dari 18mm Hg yang miengindikasikan bahwa tekanan hidrostatik berperan dalam memacu pergerakan cairan dari dalam kapiler menuju interstisial dan alveoli. Kandungan protein dalam cairan edema dapat pula membedakan keduanya. Cairan yang disebabkan edema hemodinamik memiliki kandungan protein yang rendah sedangkan cairan yang disebabkan karena edema permeabilitas memiliki kandungan protein yang tinggi. Sebab yang lebih jarang dari edema adalah perpanjangan obstruksi jalan napas yang berat, reekspansi mendadak dari paru yang kolaps, altitude yang tinggi, obstruksi saluran limfe pulmonal, dan cedera kepala berat, walaupun mungkin mekanisme yang sama juga menunjuk pada diagnosis yang sama. Edema pulmoner karena peningkatan tekanan transmural Elevasi signifikan dari Pc’ dapat meningkatkan cairan extravaskuler paru dan menimbulkan edema pulmoner. Seperti tampak pada persamaan Starling, penurunan πc’ dapat memperjelas efek dari meningkatnya Pc’. Dua mekanisme peningkatan Pc’, disebut hipertensi pulmoner, dan meningkatnya aliran darah paru. Apapun bentuk peningkatan tekanan vena paru di transmisikan secara pasif dengan arah balik ke kapiler paru dan peningkatan Pc’ sekunder. Hipertensi pembuluh darah balik paru, biasanya terjadi karenagagal; bilik kiri, stenosis mitral, atau obstruksi atrium kiri. Peningkatan dalam aliran darah pulmo yang melebihi kapasitas dari pembuluh darah paru akan meningkatkan Pc’ juga. Peningkatan dalam aliran darah paru dapat merupakan akibat dari lef-to-right jantung yang besar, shunt perifer, hipervolemia, anemia berat, atau latihan. Penatalaksanaan Penatalaksanaan dari edema paru kardiogenik termasuk didalamnya menurunkan tekanan dalam kapiler paru. Biasanya, ini termasuk pengukuran fungsi ventrikel kiri jantung, mengoreksi hipervolemi dengan diuretik, atau menurunkan aliran darah paru. Medikamentosa yang digunakan biasanya adalah morfin, diuretik, vasodilatator, seperti nitrat, preload reducing agents seperti rekombinan brain peptik natriuretik (nesiritide), atau ACE-I (walaupun ACE-I menurunkan baik preload dan afterload jantung) dan inotropik seperti dobutamin. Vasodilatator, khususnya nitrat, telah terbukti efektif. Dengan menurunkan preload, kongesti pulmo akan pulih; dengan menurunkan afterload, isi curah jantung akan meningkat. ACE-I diperuntukan bagi pasien dengan edema paru yang juga hipertensi. Tekanan positif jalan napas ((positive airway pressure therapy) juga merupakan penunjang yang berguna untuk meningkatkan oksigenasi. Edema pulmoner karena kenaikan permeabiitas (edema pulmoner non kardiogenikl) ALI & ARDS Cairan paru ekstravaskuler meningkat pada peningkatan permeabilitas edema paru karena meningkatnya permeabilitas atau disrupsi kapiler membrane alveolar. efek protektif dari tekanan onkotik plasma hilang seiring meningkatnya jumlah albumin yang bocor ke dalam interstisial paru, tekanan hidrostatik kapiler normal atau bahkan rendah tidak dilawan, dan menyebabkan transudasi cairan masuk ke paru. Edema karena permeabilitas tampak disertai dengan ALI (rasio P:F <300 [P = PaO2 dan F=FiO2])dan sering berhubungan dengan sepsis, trauma, dan aspirasi paru; jika berat (rasip P:F <200) disebut ARDS. Patofisiologi ALI dan ARDS menggambarkan manifestasi paru dari SIRS. Sentral dari ALI dan ARDS adalah perlukaan / cedera berat pada membrane kapiler-alveolar. Tanpa membedakan tipe cideranya, respon paru akan terjadi sama dengan reaksi peradangan seperti cideara pada umumnya. Respon radangnya termasuk pelepasan sitokin dan mediator-mediator sekunder lain, aktivasi komplemen, koagulasi, fibrinolisis, dan kinin-cascade. Mediator awal termasuk didalam nya TNF (Tumour Necrozing Factor ), interleukin 1 dan 6 (IL-1 dan IL-6), Iplatelet activating factor,,I seperti halnya prostaglandins dan leukotriens. Aktivasi dari netrofil dan makrofag pada paru memaparkan parenkim pada radikal dan protease yang bebas derivate oksigen. Mediator yang dilepaskan akan meningkatkan permeabilitas kapiler paru, memacu timbulnya vasokonstriksi paru, dan mengubah reaktivitas vaskuler seperti hal nya vasokonstriksi paru hipoksik dihilangkan. Kerusakan sel epitel alveolar (tipe 1 dan 2) sangat menonjol. Luapan alveolar bersama dengan adanya penurunan jumlah produksi surfaktan, (karena kehilangan pneumosit tipe 2), akan menimbulkan paru menjadi kolaps. Fase eksudatif ARDS sdapat dengan cepat teratasi atau menatap untuk waktu yang bervariasi. Seringkali diikuti denganm fase fibrotik (alveolitis fibrotic), yang pada kasus tertentu menimbulkan scarring permanen. Manifestasi klinik Diagnosis ALI dan ARDS membutuhkan eksklusi dari disfungsi ventrikel kiri yang menonjol. (PAOP < 18mm Hg) ditambah dengan rasio P:F<300 dan 200, dan ,munculnya infiltrate difus pada radiografi thorax. Paru seringkali terkena pada pola yang non homogenous, walaupun daerah yang menggantung akan lebih sering terkena. ALI dan ARDS paling sering tampak pada sepsis dan trauma. Pasien akan menampakan manifestasi dispneu berat dan pernapasan yang harus dibantu. Hipoksemia karena shunting intrapulmoner adalah keadaan yang sering ditemukan. Jika ventilasi deadspace naik, tekanan CO2 arterial akan menurun karena peningkatan tertentu dari ventilasi per menit. Gagal ventilasi awalnya akan muncul pada kasus kasus gawat atau sering timbul karena adanya kelelahan otot-otot pernapasan atau destruksi membrane kapiler alveolar. Oenemuan hemodinamik yang khas adalah hipertensi pulmonal atau filling-pressure normal. Penatalaksanaan Untuk meningkatkan perawatan pernapasanm, perawatan harus juga diarahkan pada proses-proses yang reversible seperti sepsis atau hipotensi. Hipoksemia diatasi dengan pemberian terapi oksigen. Pada kasus yang lebih ringan dapat diterapi dengan masker CPAP, tetapi, kebanyakan pasien akan membutuhkan intubasi dan setidaknya beberapa derajat dari support ventilasi mekanik. Tetapi inflasi tekanan high-peak (>35cm H2O) dan tinggi nya VT(>8-10mL/kg) uga harus dihindari, karena overdistensi alveoli (high paw tau high VT) dapat menimbulkan cedera paru iatrogenic, juga pada tingginya FiO2 (>0,5). Yang terakhir belum pernah dibuktikan pada manusia, tetapi pada pasien dengan ARDS, VT >10 mL/kg berhubungan dengan naiknya mortalitas. Jika memungkinkan, FiO2 harus ditingkatkan pada <0,5 primernya dengan meningkatkan PEEP di atas titik infleksi. Maneuver lain untuk meningkatkan oksigenasi termasuk di dalamnya penggunaan inhalasi N2O, prostasilin atau prostaglandin E1 (PGE1), dan ventilasi pada posisi prone. Tiga teknik ini dapat meningkatkan oksigenasi pada mayoritas pasien dengan ALI tetapi bukan berarti bebas resiko dan belum dihubungkan dengan ketidakberhasilan. Pemberian awal steroid pada ARDS dihubungkan dengan mortalitas yang meningkat, tetapi masih sering digunakan (pada hari ke 4-10) selama fase fiberoproliferatif ARDS. Morbisditas dan mortalitas dari ARDS biasanya karena sebab tertentu atau komplikasi lebih dari pada gagal pernapasan itu sendiri. Diantara banyak komplikasi serius sepsis, gagal ginjal, perdarahan gastrointestinal. Pneumonia nosokomial secara khas biasa muncul pada pasien dengan latihan yang diperpanjang. Pneumonia nosokomial seringkali sulit terdiagnosa; antibiotic diindikasikan jika ada indeks suspek kuat (demam, secret purulen, lekositosis, perubahan pada radiologi thorax). Specimen terlindung dan sampling lavage bronkoalveolar melalui bronkoskop yang fleksibel. Kolonisasi bakteri gram negative, perusakan barrier mukokutan oleh kateter, malnutrisi, dan imuniti host yang menurun, dapat menaikkan angka kejadian. Gagal ginjal biasanya disebabkan oleh deplesi volume, sepsis, nefrotoxin, meningkatkan mortalitas (sampai >60%). Profilaksis untuk perdarahan gastrointestinal dengan sukralfat, antacid, H2 bloker, atau inhibitor pompa proton, di rekomendasikan. DROWNING & NEAR-DROWNING (Tenggelam & Hampir tenggelam) Drowning (tenggelam) dengan atau tanpa aspirasi air adal;ah kematian yang terjadi di dalam air. Hamper tenggelam dengan atau tanpa aspirasi, adalah usaha menyakiti dengan menenggelamkan dan selamat atau setidaknya sementara tenggelam. Keduanya baik tenggelam atau hamper tenggelam dapat terjadi inhalasi air atau tidak (aspirasi).jika air tidak memasuki jalan napas, pasien nya mungkin akan menderita asfiksia; tetapi, jika pasien menghirup air, maka akan terjadi shunting intrapulmoner. Keselamatan akn tergantung pada intensitas dan durasi hipoksia serta suhu air. Patofisiologi 90% pasien tenggelam yang menghirup air bersih, air kotor, air payau, dan cairan lain. Walaupun secara umum jumlah air yang di aspirasi terhitung kecil, kesalahan pada ventilasi/perfusi dapat terjadi karena caran dalam alveoli dan jalan napas, reflek bronkospasme, dan kehilangan surfaktan. Aspirasi isi lambung juga dapat menjadi komplikasi tenggelam sebelum dan setelah kehilangan kesadaran atau saat resusitasi dilakukan. Aspirasi cairan hipotonik (seperti aspirasi air bersih) saat tenggelam akan diserapo dengan cepat ke salam sirkulasi pulmonal.; biasanya air tidak dapat dengan mudah disingkirkan dari jalan napas. Jika jumlah yang di aspirasi banyak, (>800 mL pada dewasa dengan berat 70 kg)maka dapat timbul: hemodilusi transien, hiponatremia, bahkan hemolisis. Sebaliknya, aspirasi air asin, yang hipertonik, menarik air dari sirkulasi pulmonal ke dalam alveoli, dan memenuhinya. Hemokonsentrasi dan hipernatremi dapat muncul mengikuti tenggelam pada air asin, tetapi, hal ini jarang terjadi. Hipermagnesemia dan hiperkalsemi juga pernah dilaporkan mengikuti tenggelam air asin. Pasien yang tenggelam pada air dingin, akan kehilangan kesadaran saat suhu tubuh turun mencapai 32°C. Fibrilasi ventrikel timbul pada suhu 28°-30°C.tetapi, hipotermia nya memiliki efek protektif terhadap otak dan dapat meningkatkan pengukuran resusitasi menjadi sukses. manifestasi klinis Hampir semua pasien dengan episode hampir tenggelam memiliki hipoksemia, hiperkarbia, dan asidosis metabolik. Pasien juga dapat saja terkena cedera lain seperti patah tulang belakang setelah kecelakaan saat menyelam. Cacat neurologi secara umum berhubungan dengan durasi dan beratnya asfiksia. Edema serebral akan mengkomplikasi prolonged asfiksia. ALI dan ARDS timbul pada pasien setelah resusitasi. Penatalaksanaan Penatalaksanaan awal untuk near-drowning ditujukan uintuk mengembalikan ventilasi, perfusi, oksigenasi, dan keseimbangan asam-basa secepat mungkin. Pengukuran yang segera termasuk membersihkan dan memperbaiki jalan napas, memberikan oksigen, dan mengadakan resusitasi jantung paru (CPR). Stabilisasi segmen servikal penting saat mengintubasi pasien yang hamper tenggelam (near-drowning) setelah menyelam. Walaupun air asin seringkali dapat didrainase dari paru oleh gravitasi, tindakan ini tidak boleh ditunda menilik intuisi resusitasi jantung paru, abdominal thrust dapat menimbulkan aspirasi isi lambung. Usaha resusitasi selalu terus dilanjutkan sampai pasien telah tertangani dan dirawat oleh rumah sakit, biasanya mengikuti pada tenggelam pada air dingin. Penyembuhan sempurna mungkin terjadi segera atau pada periode memanjang asfiksia. Managemen termasuk intubasi trakeal, tekanan ventilasi positif dan PEEP. Bonkhospasme harus ditangani dengan bronkodilatator, abnormalitas elektrolit harus terbenahi, ALI dan ARDS di rawat seperti dibicarakan diatas. Jika pasien mengalami hipotermi, penghangatan (kompres hangat) harus dilakukan selama beberapa jam. Inhalasi asap Inhalasi asap sering kali menjadi sebab kelainan paru utama pada kebakaran. Orang yang terkena dapat/ tidak dapat terkena kebakaran. Korban kebakaran yang menginhalasi asap memiliki mortalitas yang jauh lebih tinggi daripada korban kebakaran lain. Paparan apapun dengan asap pada kebakaran membutuhkan diagnosis presumtif dari inhalasi asap sampai dibuktikan. Diduga riwayat kehilangan kesadaran atau disorientasi, atau kebakaran yang terjadi di ruangan tertutup. Patofisiologi Konsekuensi dari menghirup asap sangatlah kompleks, karena dapat melibatkan tiga tipe cedera; cedera panas pada jalan nafas, paparan dari gas-gas toksik, dan pembakaran kimia dengan meninggalkan sisa-sisa partikel carbon di jalan nafas bawah. Respon system pernafasan terhadap asap sangat kompleks dan bergantung pada lama paparan, komposisi material yang dibakar, dan adanya penyakit-penyakit yang mendasari. Pembakaran banyak material sintetik menghasilkan gas-gas yang sangat toksik seperti karbon monoksida, hydrogen sianida, ammonia, klorida, benzana dan aldehid. Ketika gas-gas ini bereaksi dengan air di jalan nafas, gas ini menghasilkan hidroklorida asam asetat, formic dan sulfur . Karbonmonoksida dan sianida adalah yang paling beracun. Patofisiologi yang berkaitan dengan inhalasi asap meliputi cedera mukosa langsung yang mengakibatkan edema, inflamasi, dan slounghing. Hilangnya akitivitas silia mengganggu proses pembersihan mucus dan bakteri. Manifestasi ALI dan ARDS biasanya terjadi 2-3 hari setelah cedera dan tampaknya lebih berhubungan dengan terjadinya SIRS dibandingkan dengan inhaslasi asap akut itu sendiri. Manifestasi Klinis Pasien pada awalnya hanya mengalami beberapa gejala dari inhalasi asap. Temuan fisik yang biasa didapatkan meliputi luka bakar fasial atau intraoral, terbakarnya rambut hidung, batuk, sputum yang kehitaman, dan wheezing. Diagnosis dapat ditegakkan dengan menggunakan bronchoscope fleksible pada jalan nafas atas dan traktus trakeobronkial. Bronchoscopi memperlihatkan eritema, edema, ulkus mukosa, dan deposit karbon. Gas darah arteri pada awalnya normal atau menunjukkan hanya sedikit hipoksemia dan asidosis metabolic karena adanya karbon monoksida. Radiografi thoraks biasanya juga tidak ditemukan adanya kelainan. Cedera panas pada jalan nafas biasanya terbatas pada struktur supraglotis, hanya jika paparan terjadi terus menerus. Hoarseness yang progresif dan stridor adalah tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas, yang dapat terjadi lebih dari 12-18 jam. Resusitasi cairan kadang-kadang meningkatkan resiko terjadinya edema. Keracunan karbon monoksida biasanya diartikan sebagai adanya lebih dari 15% karboksihemoglobin dalam darah. Diagnosis ini dibuat dengan melakukan pengukuran cooxymetric pada darah. Karbon monoksida memiliki afinitas 200-300 kali lebih kuat dibanding oksigen. Ketika sebuah molekul karbon monoksida berikatan dengan hemoglobin untuk membentuk karboksihemoglobin, terjadi penurunan afinitas untuk oksigen, menyebabkan pergeseran kurva disosiasi hemoglobin ke kanan. Hasilnya adalah pengurangan yang bermakna dari kapasitas oksigen di darah. Lebih jauh lagi, rata-rata disosiasi untuk karbonmonoksida dari oksigen adalah lambat dengan waktu paruh kira-kira 2 – 4 jam. Manifestasi klinis yang timbul diakibatkan dari hipoksia jaringan karena ganggungan transport oksigen. Level dengan lebih dari 20-40% karboksihemoglobin berkaitan erat dengan kejadian gangguan neurologis, mual, fatique, disorientasi dan shock. Level yang lebih rendah dapat juga menimbulkan gejala yang berat karena karbon monoksida juga berikatan dengan sitokrom c dan mioglobin Mekanisme kompensasi meliputi meningkatnya cardiac output dan vasodilatasi perifer. Keracunanan sianida dapat timbul pada pasien yang terpapar gas dari hasil bakaran material-material sintesis, khususnya yang mengandung lopturethane. Sianida, yang dapat dihirup atau diserap melalui permukaan mukosa dan kulit, berikatan dengan system sitokrom dari enzim dan menghambat produksi ATP sel. Pasien dengan gangguan neurologis dan asidosis laktat; secara khas mengalami aritmia, cardiac output yang tinggi dan vasodilatasi yang bermakna. Proses pembakaran kimiawi pada mukosa saluran pernafasan biasanya diikuti dengan inhalasi material karbon dalam jumlah besar ketika dikombinasikan dengan asap toksik. Inflamasi pada jalan nafas berakibat bronchorhea dan wheezing. Edema bronkus dan slonghing pada mukosa menyebabkan timbulnya obstruksi jalan nafas bawah dan atelektasis. Kegagalan ventilasi yang berlangsung terus-menerus menyebabkan terjadinya hipoksia yang bermakna dalam 24 – 48 jam. Perkembangan dari SIRS dapat mengarah kepada ALI atau ARDS. Penatalaksanaan Broncoscopy fiber-optic biasanya mampu mengakkan diagnosis trauma inhalasi. Broncoscopi biasanya dilengkapi dengan sebuah TT sehingga intubasi dapat tetap dapat dilakukan jika edema mengancam patensi jalan nafas. Intubasi elektif dini disarankan bila terdapat tanda-tanda nyata adanya trauma panas pada jalan nafas. Pasien dengan hoarseness dan stridor memerlukan intubasi segera; cricothyrotomi darurat atau trakeostomi bila diperlukan jika intubasi nasal dan oral gagal dilakukan. Bukti secara klinis adanya keracunan karbonmonoksida dan sianida, yang dipertegas dengan koma, juga memerlukan intubasi trakeal dan bantuan oksigen konsentrasi tinggi. Diagnosis keracunan karbonmonoksida memerlukan pengukuran cooximetri karena pulse oksimetri tidak dapat membedakan karboksihemoglobin dan oksihemoglobin. Waktu paruh karboksihemoglobin berkurang sebanyak 1 jam dengan oksigen 100%; beberapa klinisi menyarankan terapi oksigen hiperbarik bila pasien tidak merespon terhadap oksigen 100%. Diagnosis keracunan sianida lebih sulit ditegakkan karena pengukuran yang reliable untuk level sianida tidak tersedia ( secara normal 0.1 mg/L). Enzim rhodanase secara normal mengubah sianida menjadi thiosianida, dimana senyawa ini dieliminasi oleh ginjal. Penatalaksanaan untuk keracunan sianida yang berat terdiri dari pemberian sodium nitrit 300 mg intravena dalam larutan 3% dalam 3-5 menit, diikuti dengan sodium thiosulfat 12.5 gram intra vena dalam bentuk larutan 25% selama 1-2 menit. Sodium nitrit mengubah hemoglobin menjadi methemoglobin, yang memiliki afinitas lebih tinggi terhadap sianida dibanding sitokrom oksidase; sianida dimana lebih lambat dilepaskan dari cyanomethemoglobin diubah oleh rhodanase menjadi senyawa thiocyanate yang kurang toksik. Hipoksemia yang bermakna karena shunting intrapulmoner sebaiknya dilakukan intubasi trakeal, terapi oksigen, bronkodilatator, ventilasi tekanan positif, dan PEEP. Kortikosteroid tidak efektif dan eningkatkan kejadian infeksi. Sebagai bentuk lain dari ALI, infeksi pneumonia nosokomial adalah umum terjadi. INFARK MIOKARD AKUTA Infark miokard akut adalah komplikasi yang serius dari penyakit jantung iskemik, dengan angka mortalitas 25%. Lebih dari separuh kasus kematian diperkirakan terjadi dalam satu jam pertama dan biasanya karena aritmia ( fibrilasi ventrikel). Denagn adanay penemuan mutakhir dibidang kardiologi akhir-akhir ini, angka kematian di rumah sakit berhasl diturunkan menjadi kurang dari 10-15%. Kegagalan pompa ( ventrikel) saat ini merupakan penyebab utama kematian pada pasien yang dirawat. Sebagian besar infark miokard terjadi pada pasien dengan lebih dari satu arteri koroner yang mengalami penyembpitan yang berat ( >75%). Infark trasmural terjadi di area sebelah distal dari letak oklusi total. Oklusi biasanya karena thrombosis pada plak ateroma yang stenosis. Emboli koroner atau spasme berat lebih jarang menjadi penyebab. Luas dan lokasi infark bergantung pada distribusi pembuluh darah yang mengalami obstruksi dan padakah telah terbentuk pembuluh darah kolateral. Infak anterior, apical, dan septal pada ventrikel kiri biasanya karena thrombosis pada arteri descending anterior kiri; infark ventrikel lateral dan posterior kiri adalah akibat dari oklusi pada system sirkumfleksa kiri, sedangkan infark ventrikel kanan dan ventrikel kiri bagian postero-inferior adalah akibat dari thrombosis arteri koronaria kanan. Sebaliknya, infark subendocardial ( nontrasmural, atau “non-Q-wave”) biasanya terjadi pada kondisi dengan meningkatnya kebutuhan miokardial yang berat dan telah berlangsung lama pada pasien-pasien dengan stenosis berat tetapi dapat juga disebabkan oleh thrombosis koroner. Episode iskemia berat, disfungsi miokard lama dengan hanya pemulihan gungsi kointraktilitas yang lama dan bertahap dapat diobservasi. Fenomena “ stunning” ini kadang-kadang dianggap terjadi pada area sekitar infark miokard dan dapat berperan dalam terjadinya disfungsi ventrikel yang mengikuti AMI. Pemulihan kondisi iskemia pada area ini dapat mengembalikan fungsi kontraktilitas. Ketika fenomena ini diamati pada kondisi iskemia kronik yang berat, otot miokard pada area yang tidak mengalami infark tetapi kurang baik fungsi kontraktilitasnya sering disebiut sebagai “ hibernating”. Stunning dan hibernating biasa diamati pada kondisi iskemic cardiac arrest selama cardiopulmonary bypass dan mengikuti revaskularisasi miokard. Penatalaksanaan segera untuk AMI adalah pemberian oksigen ( 4-6 L/menit), aspirin (160-325 mg), nitrogliceryn ( sublingual atau spray), morfin ( 2-4 mg intavena tiap 5 menit) sampai nyeri mereda. Ingat akronim ini: MONA ( morfin, oksigen, nitrogliserin, dan aspirin) sesuai untuk semua pasien. Karena prognosis AMI secara umum berbanding terbalik dengan luasnya area yang mengalami nekrosis, tit8ik berat saat ini dalam mengelola infark miokard adalah reperfusi. Berdasarkan sumber sumber lokal dan pemilihan waktu yang tepat, angiografi dengan angioplasty dan atau sebuah stent denagn operasi coronary artery bypass lebih disukai. Alternatif yang lain, alteplase atau streptokinase dengan metode pemberian frontloaded, anistreplase (anisoylated plasminogen streptokinase activator complex (APSAC)), reteplase, atau tenecteplase akan meningkatkan harapan hidup. Manfaat terbesar diperoleh jika terapi ini diberikan dalam satu jam pertama tetapi manfaat dapat dilihat bila diberikan dalam 12 jam setelah serangan AMI. Pasien dengan depresi segmen ST atau gelombang T dinamis ( non-Q wave infarction; unstable angina)mendapat manfaat dari terapi antitrombin ( heparin) dan antiplatelet ( aspirin). Semua pasien tanpa kontraindikasi sebaiknya menerima β-bloker. Pengobatan lainnya seperti ACE inhibitor, calcium chanel bloker, statin dan sebagainya diindikasikan sesuai penyakit komorbid. Pasien dengan angina berulang sebaiknya mendapat nitrat. JIka angina tetap bertahan atau jika terdapat kontraindikasi terhadap β-bloker, calcium chanel bloker harus diberikan. Intraaortic ballon counterpulsation biasanya dilakukan pada pasien dengan hemodinamik compromised dengan iskemia refrakter. Temporary pacing yang mengikuti AMI adalah indikasi untuk Mobitz tipe II dan complete heart block, sebuah bifascicular block yang baru, dan bradikardi dengan hipotensi. Stable monomorphic ventricular tachycardia, jika diterapi secara medikamentosa dan jika ejection fraction pasien normal adalah paling baik dikelola dengan procainamide atau sotalol. JIka ejection fraction lemah, amiodarone bolus 150 mg intavena yang diberikan dalam 10 menit. Jika ventricular tachycardia berupa polymorphic dan interval QT normal, gangguan elektrolit harus dikoreksi, iskemia harus diatasi dan dapat diberikan β-bloker (amiodarone, procainamide, atau sotalol). Jika interval Qt diperpanjang, selanjutnya sebagi tambahan koreksi elektrolit, magnesium, overdrive pacing, isoproterenol, fenitoin atau lidokain direkomendasikan. Lidokain adalah pilihan kedua untuk indikasi ini. Pasien dengan stable narrow complex supraventricular tachycardia sebaikknya diterapi dengan amiodarone. Pasien dengan paroxysmal supraventricular tachycardia, dimana jection fraction dipertahankan, sebaiknya diterapi dengan calcium chanel bloker, β-bloker, digoksin, atau DC cardioversi. Jika ejection fraction kurang dari 40%, DC cardioversi harus dihindari dan digantikan dengan digoksin, amiodaron, atau diltiazem. Pasien dengan ectopic atau multifocal atrial tachycardia sebaiknya tidak mendapat DC cardioversi; sebagai gantinya sebaiknya diterapi dengan calcium chanel bloker, β-bloker atau amiodaron. Jika ejection fraction kurang dari 40%, diltiazem dapat dipertimbangkan disamping pemberian amiodaron. Tabel 49-7 Penyebab Azotemia yang revesibel Prerenal Penurunan tekanan perfusi ginjal Hipovolemia Penurunan cardiac output Hipotensi Peningkatan resistensi vaskuler ginjal Neural Hormonal Farmakologis Tromboemboli Postrenal Obstruksi uretra Obstruksi pintu vesica urinaria Prostat Tumor vesica urinaria Sistitis Neurogenic bladder Obstruksi ureter bilateral Intrinsik Calculi Tumor Bekuan darah Nekrosis papilari Ekstrinsik Tumor abdomen atau pelvis Fibrosis retroperitoneal Ligasi ureter inadvertent GAGAL GINJAL Gagal ginjal akut adalah proses kemunduran yang cepat dari fungsi ginjal yang tidak bersifat reversible walupun telah menghilangkan factor eksternal, seperti tekanan darah, volume intravaskuler, cardiac output dan produksi urin. Tanda-tanda gagal ginjal adalah azotemia dan oliguri. Meskipun demikian, tidak semua pasien dengan azotemia akut mengalami gagal ginjal akut. Seperti misalnya, > 500 mL urin tiap hari tidak serta-merta menunjukkan bahwa fungsi ginjal adalah normal. Berdasarkan diagnosis gagal ginjal akut pada level kreatinin atau meningkatknya nitrogen urea darah (BUN) masih diperdebatkan karena kreatinin clearance tidak selalu merupakan penguruan yang baik utuk fltrasi glomerulus. Secara khusus, gagal ginjal akut didoagnosis dengan memonitor peningkatan BUN dan kreatinin plasma selama 24-72 jam. Pada 50% pasien, gagal ginjal akut adalah akibat dari iskemia; pada 35% pasien, gagal ginjal akut disebabkan oleh nefrotoksik dan sisanya sebanyak 15% pasien mengalami nefritis interstitial tubuler akut atau nefritis glomerular akut. Azotemia dapat diklasifikasikan menjadi prerenal, renal dan postrenal. Lagi pula, diagnosis gagal ginjal akut atau azotemia adalah salah satu eksklusi, dengan demikian penyebab prerenal dan renal selalu dieksklusikan. AZOTEMIA PRERENAL Azotemia prerenal terjadi sebagai akibat dari hipoperfusi dari ginjal; bila tidak diobati, berkembang menjadi gagal ginjal akut. Hipoperfusi ginjal biasanya akibat dari penurunan tekanan perfusi arterial, peningkatan tekanan vena yang bermakna, atau vasokonstriksi ginjal (Tabel 49-7). Penurunan tekanan perfusi bisanya berkaitan dengan pelepasan norepinefrin, angiotensin II, arginine vasopresin ( AVP, bias any disebut hormone diuretic) dan endothelin. Hormon ini mengkontraksikan otot-otot kutan dan splanchinc vasculature dan merangsang retensi garam dan air. Proses pembentukan prostaglanding yang berefek vasodilatasi ( prostacyclin dan PGE2 ) dan nitric oxide di ginjal dan aksi intrarenal dari angiotensin II membatu mempertahankan fltrasi glomerulus. Penggunaan inhibitor cyclooxygenase atau angiotensin converting enzyme inhibitor pada azotemia prerenal dapat memacu ti,bulnmya gagal ginjal akut. Diagnosis azotemia prerenal biasanya dicurigai darai temuan klinis dan diyakinkan dengan pemeriksaan urin (Tabel 49-8). Pengobatan untuk azotemia prerenal diutamakan dalam mengkoreksi deficit volume intravaskuler, meningkatkan fungsi jantung, mengembalikan tekanan darah dan mengembalikan adanya peningkatan resistensi vaskuler. Sindrom hepatorenal akan didiskusikan dalam bab 35. Table 49-8 Indeks urin pada azotemia Index Prerenal Renal Postrenal Berat jenis >1.018 <0.012 Variabel Osmolalitas (mmol/kg) >500 <350 Variabel Rasio urea nitrogen urin/plasma >8 <3 Variabel Rasio creatinin urin/plasma >40 <20 Variabel Sodium dlm urin (mEq/L) <10 >40 Variabel Ekskresi fraksional sodium <1 >3 Variabel Indeks Gagal Ginjal <1 >1 Variabel POSTRENAL AZOTEMIA Azotemia karena obstruksi saluran kencing merupakan azotemia postrenal. Obstruks aliran urin dari kedua ginjal adalah biasa ditemui pada azotemia dan oluguri/anuria pada kondisi ini. Obstruksi total biasanya mengarah ke gagal ginjal akut, sedangkan obstruksi parsial yang berkepanjangan mengarah ke gangguan ginjal kronik. Penegakan diagnosis segera dan penanganan atas obstruksi akut biasanya mampu mengembalikan fungsi ginjal kembali normal. Obstruksi dapat diketahui dari pemeriksaan fisik ( distensi vesika urinaria) atau foto polos abdomen ( adanay batu ginjal bilateral) tetapi hal ini harus dikonfirmasi dengan adanya dilatasi di sebelah proksimal dari letak obstruksi. Ultarsonografi ginjal atau CT scan ginjal paling sering digunakan. Obstruksi pada outlet vesika urinaria dapat diatasi dengan kateterisasi vesika urinaria atau sistotomi suprapubik, sedangkan obstruksi ureter memerlukan nefrostomi atau stent ureter. AZOTEMIA REVERSIBEL DAN GAGAL GINJAL AKUT Kemampuan untuk membedakan azotemia prerenal dan azotemia postrenal dari gagal ginjal akut ( azotemia renal) adalah penting. Untuk penyingkirkan kemungkinan adanya azotemia postrenal memerlukan viasualisasi dari saluran kencing, sedangkan untuk menyingkirkan kemungkinan azotemia prerenal bergantung pada respon terhadap terapi peningkatan perfusi ginjal. Dan selanjutnya dapat diketahui dari analisis komposisi urin ( lihat tabel 49-8); Komposisi urin pada azotemi postrenal bervariasi dan bergantung pada lama dan tingkat keparahan obstruksi. Pada azotemia prerenal, kemampuan mengkonstrasikan urin oleh tubulus ginjal masih dipertahankan dan ditunjukkan dengan rendanynya kandungan natrium urin dan tingginya rasio cretainin serum/urin. Penghitungan Fractional excretion of filtered sodium ( FENa+) sangat berguna pada kondisi oliguria; FENa+ = FENa+ adalah kurang dari 1% pada pasien dengan oliguria dengan azotemia prerenal tetapi secara khusus melebihi 3 % pada pasien dengan GGA oliguri. Nilai 1-3% dapat terjadi pada pasien dengan GGA nonoliguri. Indeks gagal ginjal, dimana konsentrasi natrium urin dibagi dengan rasio creatinin urin/plasma, adalah indeks yang paling sensitive untuk mendiagnosis gagal ginjal. Pengunaan diuretika meningkatkan ekskresi natrium urin dan indeks-indeks invalid yang berdasar konsentrasi natrium urin adalah suatu cara pengukuran fungsi tubulus. Lebih jauh lagi, penyakit ginjal intrinsic yang pada awalnya menyerang system vaskuler ginjal atau glomerulus mungkin tidak mengganggu fungsi tubulus dan hal ini dikaitkan dengan indeks-indeks yang terdapat juga pada azotemia prerenal. Pengukuran tes klirens kreatinin dalam 3 jam dapat digunakan untuk meperkirakan anghka filtrasi residu glomerulus, tetapi beberapa faktor tetap harus dipertimbangkan. Agar terjadi korelasi yang baik, peninglatan kreatinin serum haruslah berbentuk plateau. ETIOLOGI GGA Penyebab GGA dapat dilihat pada table 49-9. Hampir 50% kasus diawali dari trauma mayor atau pembedahan; dalam hal ini iskemia dan nefroktoksin adalah penyebabnya. GGA yeng berhubungan dengan iskemia dan nefrotoksin secara umum mengarak ke nekrosis tubular akut. Fase selanjutnya, bagaimanapun juga, adalah tidak akuratnkarena penyakit ginjal intrinsic seperti glomerulonefritis dan nefritis interstitial, dapat menyebabkan gagal ginjal tanpa nekrosis tubuler. Lebih jauh lagi, banyak pasien dengan iskemia dan gagal ginjal nefrotoksin tidak ditemukan adanya nekrosis tubuler dari pemeriksaan patologi. Aminoglikosida, amfoterisin B, kontras radiografi, siklosporin dan cisplatin adalah nefrotoksin eksogen yang paling banyak. Amfoterisin B, kontras, dan siklosporin tampaknya juga menyebabkan vasokonstriksi ginjal secara langsung. Hemoglobin dan mioglobin adalah nefrotoksin potensial ketika Hb dan mioglobin ini delepaskan pada proses hemolisis intravaskuler dan rhabdomiolisis. Inhibitor cyclooxygenase, secara khusus antiinflamasi non steroid ( NSAIDs), mungkin berperan penting pad abeberapa pasien. Penghambatan sintesis prostaglandin oleh beberapa agen menurunkan vasodilatasi ginjal yang diperantarai prostaglandin, memungkinkan terjadinya vasokonstriksi ginjal. Faktor predisposisi lainnya untuk GGA meliputi penyakit vaskuler, diabetes dan dehidrasi. Tabel 49-9. Penyebab Gagal Ginjal Akut Iskemia ginjal (50%) Hipotensi Hipovolemi Gangguan cardiac output Nefrotoksin (35%) Pigmen endogen Hemoglobulin (hemolisis) Mioglobin (rhabdomiolisis dari crush injury dan luka bakar) Agent kontras radiografi Obat-obatan Antibiotika (aminoglikosida, amfoterisis) Obat anti infalamasi nonsteroid Agen kemoterapi ( cisplatin, metotreksat) Kristal tubuler Asam urat Oksalat Sulfinamid Keracunan metal berat Bahan-bahan organic Protein myeloma Penyakit Ginjal Intrinsik Penyakit Glomerulus Nefritis Interstitial Patogenesis GGA Kemampuan ginjal untuk meresponi trauma dapat ditunjukkan dengan tingginya angka metabolismenya dan kemampuan untuk mengkonsentrasikan substansi toksik. PAtogenesi GGA sangat kompleks dan mungkin memiliki baik dasar vaskuler maupun tubuler. Konstriksi arteriol aferen, menurunkan prmeabilitas glomerulus, trauma sel epithelial secara langsung dan obstruksi tubulus dari debris intraluminal atau edema dapat menurunkan filtrasi glomerulus. Kebocoran partikel-partikel yang melalui bagian-bagian yang rusak dari tubulus ginjal menyebabkan reabsorpsi kreatinin, urea dan buangan nitrogen lainnya. Iskemia ginjal atau hipoksia diduga memacu GGA. Ketidakseimbangan antara produksi ATP dan kebutuhan sel epithelial menyebabkan gangguan transport ion, pembengkakan sel, gangguan metabolisme fosfolipid, dan akumulasi kalsium intraseluler. Trauma sel yang diperantarai radikal bebas dapat juga terjadi selama proses reperfusi dan reoksigenasi. GGA oliguria dan GGA nonoliguria GGA biasa diklasifikasikan menjadi oliguri ( volume urin <400 mL/d), anuria (volume urin <100 mL/d), atau nonoliguria ( volume urin >400 mL/d). GGA nonoliguria ditemui pada hampir 50% kasus. Pasien dengan GGA nonoliguria secara khas memiliki konsentrasi natrium urin lebih rendah dibanding pasien oliguria. Lebih jauh lagi, mereka tampaknya memiliki lebih sedikit komplikasi dan memerlukan perawatan di rumah sakit yang lebih pendek. GGA nonoliguria menunjukkan lebig sedikit trauma ginjal berat. PAda beberapa kondisi, ada kemungkinan untuk mengubah kondisi GGA oliguria menjadi nonoliguria yaitu dengan memberikan manitol, furosemid atau dopamine dosis renal ( 1-2 µg/kg/menit). Peningkatan urin output dapat diatasi dengan mencegah obstruksi tubulus. MAnitol dapat menurunkan edema sel dan memiliki kasi membersihkan radikal bebas. Di lain pihak, respon terahadap terapi diuretika dapat membantu mengidentifikasi pasien dengan penurunan tingkat gangguan ginjal. Meskipun demikian, pad apenelitian terdahulu, ditemukan adanya peningkatan kematian pasien dengan GGA yang mendapat diuretika, pengunaan diuretika secara rutin masih diperdebatkan. Penatalaksanaan GGA Sekitar 15% pasien GGA berakhir di ICU. Meskipun pelayanan kesehatan telah mengalami kemajuan dengan pesat pada beberapa tahun terakhir, angka kematian pasien GGA masih sekitar 50%. Prinsip pengelolaan psien GGA adalah terapi suportif. Diuretika dan manitol dapat digunakan untuk mempertahankan urin output pada pasien nonoliguria. Studi prospektif mengenai penggunaan diuretika masih sanagt langka. Dopamin tidak pernah dilaporkan dapat efektif pada pengobatan pasien GGA. GGA yang disebabkan glomerulonefritis atau vaskulitis mungkin berespon terhadap glukokortikoid. Pengobatan standar untuk pasien oliguri dan anuria dimana urin output tidak meningkat pasca pemberian diuretika, meliputi pembatasan cairan, natrium, kalium, dan fosfor. Pengukuran berat badan harian membantu mengarahkan terapi cairan. Total cairan yang masuk seharusnya setara dengan 500 mL ditambah urin output. Intake natrium dan kalium maksimal 1 mEq/kg/d, sedangkan intake protein kurang dari 0.7g/kg/hari dan terutama terdiri dari protein dengan nilai biologis tinggi. Hiponatermia dapat diatasi dengan pembatasan cairan. Hiperkalemia meungkin memerlukan pemberian resin ion-exchange ( natrium polystyrene), glukosa dan insulin, calcium glukonas atau natrium bikarbonat. Terapi natrium bikarbonat dapat jug adigunakan pada kondisi asidosis metabolic ketika bikarbonat serum turun dibawah 15 mEq/L. Hiperfosfatemia memerlukan pembatasan diet fosfat dan antasida fosfat binding ( alumunium hydroxide). Dosi ekskresi on\bat melalui ginjal harus disesuaikan dengan filatrasi glomerulus atau pengukuran klirens kreatinin untuk mencegah terjadinya akumulasi. Gambar 49-8. Hubunagn infeksi, sepsi dan SIRS. ( Dimodifikasi dari the American College of Chest Physician/Society of Critical Care Medicine Consensus Conference : Definition for sepsis and organ failure and guideline for the use of innovative therapies in sepsis. Crit Care Med 1992;20:864) Dialisis dapt dilakukan untuk mengatasi atau mencegah terjadinya komplikasi uremia ( lihat table 32-4). Kateter dobel lumen yang diletakkan pada vena jugularis interna, vena subclavia, vena femoratils biasa dikerjakan. Tingginya angka morbiditas dan mortalitas pada kasus GGA terjadi sebelum dilakukan dialysis, tetapi penetilitian yang dilakuakan berkata lain. Dialisis tampaknya tidak mempercepat proses pemulihan tetapi pada kenyataannya memacu trauma ginjal jika terjadi hiptensi atau terlalu banyak cairan yang dikeluarkan. Karena mempertimbangkan hemodialisis intermiten berhubungan dengan hipotensi dapat menyebabkan cidera ginjal, continuous renal replacement therapy (CRRT) ( continuous venovenous hemofiltrasion (CVVHF) dan continuous vemovenous hemodialysis (CVVHD), yang mengeluarkan cairan dan larutan pada tingkat yang terkontrol dan sanagt lambat) sering digunakan pada pasien-pasein GGA terminal yang tidak dapat mentolerir efek hemodinamik akibat hemodialisis intermiten. Masalah utama CCRT adalah mahalnya biaya operasional, karena membrane yang digunakan mudah untuk membentuk bekuan dan oleh Karen aitu gharus digant secara periodic. Diluar kekurangan ini, para ahli percaya bahwa CCRT adalah cara terbaik untuk merawat pasien ICU dengan GGA. CCRT digunakan tidak hanya untuk GGA (oliguria dan uremia) tetapi juga untuk mengatasi asidosis metabolic, overload cairan, dan hiperkalemia. Perubahan lain dalam pengelolaan pasien GGA adalah dimana protein yan diijinkan adalah kurang dari 0.4-0.6 g/kg per hari, sebagian besar nefrologis saat ini percaya bahwa suplementasi nutrisi tidak perlu dibatasi dan protein sebanyak 1.0-1.5 g/kg per hari dapat diberikan, khususnya pada pasien CCRT. SEPSIS DAN SHOCK SEPTIK Respon inflamasi sistemik terhadap infeksi, disebut sepsis, hal ini tidak aneh terjadi pada infeksi berat karena manifestasi serupa dapat terjadi pada penyakit noninfeksi (Gambar 49-8). Lebih jauh lagi, hal ini tidak memerlukan adanya temuan bakteri. Penggunaan istilah SIRS disarankan oleh the Society of Critical Care Medicine (SCCM), European Society of Intensive Care Medicine (ESICM), American Thoracic Society (ATS), dan Surgical Infection Society (SIS) (TAbel 49-10). Konferensi SCCM/ESICM/ACCP/ATS/SIS meperkenalkan konsep predisposisi, infeksi, respon, disfungsi organ (PIRO) untuk mengklasifikasikan sepsis. Sepsis berat terjadi bila repon berhubungan dengan disfungsi organ. Istilah MODS telah disarankan untuk menggambarkan disfungsi progresifdari dua atau lebih organ yang berhungan dengan sepsis. Shock septic adalag kegagalan sirkulasi akut --- tekanan darah sistolik < 90 mmHg, tekanan arteri rata-rata < 60 mmHg atau penurunan sebesar 40 mmHg tekanan darah sitolik walaupun telah dilakukan resusitasi cairan yang cukup --- pada pasien dengan sepsis. PATOFISIOLOGI SIRS Respon sistemik ringan terhadap seluruh ancaman secara normal dapat menimbulkan efek yang positif. Meskipun demikian, respon bermakna dan lama, seperti yang dikaitkan dengan infeksi berat, kadang berakibat pada disfungsi organ secara luas. Meskipun organism gram negative merupakan SIRS terkait infeksi, bayak antigen infeksius lainnya dapat memacu timbulnya sindrom yang sama. Organisme ini memperbanyak toksin dan merangsang pelepasan substansi yang memacu respon ini. Initiator yang banyak dikenal adalah lipopolysacharide (LPSs) yang dilepaskanoleh bakteri gram negative. LPS terdiri dari suatu O polysaccharide, sebuah inti, dan lipid A. O polysaccharide mampu membedakan tipe-tipe bakteri gram negative, sedangkan lipid A, suatu endotoksin, bertanggungjawab atas reaksi toksisitas. Respon terhadap endotoksin melibatkan suatu interaksi kompleks antara makrofag/monosit, netrofil, limfosit, trombosit dan sel endotel yang dapat berefek pada setiap organ. Mekanisme utama dalam menginisiasi SIRS tampaknya adalah sekresi abnormal dari sitokin. Peptida dengan berat molekul rendah dan glikoprotein berfungsi sebagai mediator interseluler dan secara normal mengatur proses biologis, termasuk local and systemic immune renspon, inflamasi, penyembuhan luka dan hematopoesis. Sitokine yang terutama dilepaskan selama SIRS adalah IL-6, adrenomedulin, CD14 yang larut,sELAM-1, MIP-1a, fosfolipase ekstraseluler A2 dan CRP. Respon peradangan juga melepaskan phospolipid yang berpotensi membahayakan, penarikan neutrophil dan aktivasi komplemen, kinin dan kaskade koagulasi. Peningkatan kadar phospolipase A2 melepaskan asam arakidonat dari phospolipid membran sel. Siklooksigenase mengkonversi asam arakidonat menjadi tromboxan dan prostaglandin, sedangkan lipooksigenase mengkonversi asam arakidonat menjadi leukotrien ( substansi reaksi lambat dari anaphilaksis). Peningkatan aktivitas phospolipase A2 dan asetiltransferase menghasilkan suatu bentuk lain komposisi pro-inflamasi yaitu faktor aktivasi platelet (PAF). Penarikan dan pengaktivasian neutrofil melepaskan berbagai protease dan radikal bebas yang merusak endotel vaskuler. Aktivasi monosit merangsang protease dan radikal bebas ini untuk meningkatkan jumlah faktor jaringan, yang pada akhirnya dapat mengaktivasi jalur koagulasi intrinsic dan ekstrinsik. Tabel 49-10 Kriteria Diagnosa Untuk Sepsis Infeksi, terdokumentasi atau suspek, dan lain-lain Variabel Umum Demam (temperatur inti >38.30C) Hipotermia (temperatur inti <360C) Denyut jantung > 90/menit atau >2 SD di atas nilai normal untuk usia Takipneu Gangguan status mental Edema signifikan atau keseimbangan positif cairan (>20 mL/kg selama 24 jam) Hiperglikemia (glukosa plasma > 120mg/dL atau 7.7mmol/L tanpa diabetes) Variabel peradangan Leukositosis (sel darah putih > 12 ribu/uL) Leukopenia (sel darah putih < 4 ribu/uL) Jumlah sel darah putih normal dengan bentuk imatur > 10% CRP plasma > 2 SD diatas nilai normal Procalcitonin plasma > 2 SD di atas nilai normal Variabel hemodinamik Hipotensi arterial (tekanan sistolik < 90 mmHg, MAP < 70 atau penurunan tekanan sistolik > 40 mmHg pada dewasa atau < 2 SD di bawah nilai normal untuk usia) Svo2 > 70% Indeks cardiac > 3.5L/menit per m2 Variabel disfungsi organ Hipoksemia arterial (PaO2/FiO2 < 300) Oliguria akut (output urin < 0.5 mL/kg per jam atau 45mmol/L minimal selama 2 jam) Peningkatan kreatinin > 0.5 mg/dL Abnormalitas koagulasi ( INR > 1.5 atau aPTT > 60s) Ileus ( bising usus menghilang) Trombositopenia (trombosit < 100000/uL) Hiperbilirubinemia (bilirubin total plasma > 4 mg/dL atau 70 mmol/L) Variabel perfusi jaringan Hiperlaktasemia (>1 mmol/L) Pengisian kapiler menurun . INFEKSI DI ICU Infeksi merupakan penyebab pertama kematian di ICU. Infeksi yang serius bisa didapatkan di luar RS (infeksi komunitas) atau didapatkan di RS (infeksi nosokomial). Infeksi nosokomial dideskripsikan sebagai infeksi yang didapatkan di RS yang muncul setelah 48 jam perawatan di RS. Insidensi nosokomial pada pasien di ICC sekitar 10%-50%. Biasanya penyebabnya adalah bakteri komunitas yang resisten antibiotik. Imunitas host memiliki peranan penting dalam perjalanan infeksi dan jenis bakteri yang dapat menginfeksi. Oleh karna itu, organisme yang tidak mengakibatkan infeksi yang serius pada pasien imunokompeten dapat menyebabkan infeksi yang mengancam jiwa pada pasien imunocompromised (table 49-11). Yang terpenting, daya tahan tubuh pada pasien sakit berat biasanya abnormal, seperti tidak aktifnya mekanisme kemotaksis dan fagositosis, gangguan rasio limfosit T-helper dan inadekuatnya imunitas humoral. Faktor lain pada host lainnya adalah usia, terapi, intak tidaknya barier pada kulit dan mukosa dan penyakit yang mendasari. Karena itu, pasien dengan usia lanjut (>70 tahun), terapi kortikosteroid, kemoterapi, penggunaan alat-alat invasif yang berkepanjangan, gagal nafas, gagal ginjal, trauma kepala dan terbakar memiliki faktor resiko besar untuk terkena INOS. Pasien luka bakar >40% dari luas permukaan tubuhnya memiliki tingkat mortalitas akibat infeksi yang sangat tinggi. Penggunaan antibiotic topical seperti sodium mefenide, silver sulfadiazine dan nistatin hanya akan menunda terjadinya infeksi pada luka. Pembuangan jaringan nekrotik dilanjutkan dengan cangkok kulit dan penutupan luka akan mencegah gangguan imunologis dan mengurangi resiko infeksi. Sebagian besar bakteri penyebab INOS merupakan flora normal endogen. Lebih lanjut, pasien dengan sakit berat seringkali memiliki kolonisasi bakteri yang resisten. Infeksi traktus urinarius beresiko menjadi INOS sebesar 35%-40%. Infeksi urinaria biasanya disebabkan organisme gram negatif dan dihubungkan dengan penggunaan kateter yang temporer atau obstruksi traktus urinarius. Infeksi luka menjadi penyebab INOS yang kedua, yaitu sekitar 25%-30% dan pneumonia sekitar 20%-25%. Infeksi yang berhubungan dengan penggunaan kateter i.v bertanggungjawab sekitar 5%-10% pada kejadian infeksi di ICU. Pneumonia nosokomial biasanya disebabkan oleh organisme gram negatif dan merupakan penyebab utama kematian di berbagai ICU. Pertumbuhan berlebihan dari flora normal usus disertai translokasi ke dalam sirkulasi portal dan kolonisasi retrograde jalan nafas bagian atas akibat aspirasi merupakan mekanisme masuknya bakteri dari usus ke saluran pernafasan. Sebenarnya asam lambung mencegah pertumbuhan berlebihan bakteri dan migrasi bakteri ke orofaring. Tetapi penggunaan intubasi trakeal, TT-cuff, nebulizer dan humidifiers dapat menjadi sumber infeksi karena pasien akan teraspirasi cairan lambung akibat penggunaan alat-alat ini. Dekontaminasi selektif dengan antibiotic yang tidak diserap dapat mengurangi insidensi infeksi tetapi tidak akan mengubah hasil akhirnya. Luka merupakan penyebab tersering dari kejadian sepsis pada pasien trauma dan postoperasi. Pembatasan penggunaan antibiotik profilaksis mampu menurunkan insidensi infeksi postoperasi pada beberapa grup pasien. Infeksi intraabdominal berupa perforasi ulkus, diverticulitis, apendisitis, dan akalkuli kolesistitis juga dapat terjadi pada pasien dengan sakit berat. Penggunaan kateter i.v seringkali menjadi media bagi bakteri S.epidermidis, S.aureus,Streptococci, Candida, dan bakteri batang gram negatif. Bakteri penyebab sinusistis dapat menjadi sumber sepsis yang tidak terdeteksi pada pasien dengan intubasi nasal. SYOK SEPSIS Konferensi Konsensus SCCM/ESICM/ACCP/ATS/SIS mendefinisikan syok sepsis sebagai syok yang berhubungan dengan kondisi sepsis ditandai dengan hipotensi (sistolik < 90mmHg, MAP < 60 mmHg, penurunan tekanan darah sistemik < 40 mmHg) yang membutuhkan resusitasi cairan adekuat. Karakteristik syok septic yaitu perfusi jaringan inadekuat dan disfungsi seluler menyeluruh. Yang membedakannya dengan syok lainnya ( hipovolemik, kardiogenik, neurogenik dan anafilaksis), kerusakan seluler pada syok septic tidak selalu berhubungan dengan kondisi hipoperfusi tapi bisa juga akibat gangguan metabolic pada tingkat seluler yang berkontribusi pada gangguan oksidasi seluler. Patofisiologi SIRS yang berat dapat berlanjut jadi syok septic. Syok septic biasanya diakibatkan oleh infeksi gram negative yang berasal dari traktus urinarius atau respiratorius pasien rawat inap tetapi bisa juga dari pathogen lainnya. Bakterimia bisa ada bisa tidak. Peningkatan kadar NO mengakibatkan vasodilatasi. Hipotensi juga diakibatkan oleh penurunan volume intravaskuler akibat kobocoran kapiler. Beberapa pasien juga mengalami depresi miokardial. Aktivasi platelet dan jalur koagulasi dapat mengakibatkan pembentukan agregasi fibrin-platelet, yang selanjutnya menurunkan aliran darah. Hipoksemia diakibatkan oleh ARDS yang menitikberatkan jaringan hypoxia. Pelepasan zat vasoaktif, pembentukan mikrotrombi pada sirkulasi pulmonal, atau keduanya bersama meningkatkan resistensi pembuluh darah pulnomal. SUB BAGIAN HEMODINAMIK Sirkulasi pada pasien dengan syok septik seringkali menunjukkan hiperdinamik atau hipodinamik. Pada kenyataannya, keduanya mewakili proses yang sama, tetapi tanda yang muncul bergantung pada fungsi jantung sebelum terjadi syok dan volume intravaskular dan di mana pasien berada di spektrum respon. Venodilatasi sistemik dan transudasi cairan ke dalam jaringan mengakibatkan hipovolemia relatif pada pasien dengan sepsis. Syok septik hiperdinamik dikarakterisasi dengan cardiac output yang normal atau meningkat dan vasodilatasi hebat (resistensi pembuluh darah sistemik rendah). Menurunnnya kontraktilitas otot jantung seringkali dapat ditunjukkan bahkan pada pasien hiperdinamik. Saturasi oksigen vena campuran (mixed venous oxygen saturation) secara karakteristik tinggi pada ketiadaan hipoksemia dan cenderung menunjukkan cardiac output yang tinggi dan defek metabolik seluler dalam penggunaan oksigen. Syok septik hipodinamik, biasanya terlihat kemudian pada perjalanan syok, dikarakterisasi oleh cardiac output yang menurun dengan resistensi pembuluh darah sistemik yang rendah atau normal. Syok ini lebih cenderung terlihat pada pasien hipovolemik berat dan pada mereka dengan penyakit jantung. Depresi miokard merupakan ciri khas yang menonjol. Saturasi oksigen vena campuran dapat rendah pada pasien-pasien tersebut. Hipertensi pulmonal juga seringkali menonjol pada syok septik. Meningkatnya resistensi pembuluh darah pulmonal memperlebar gradien tekanan normal diastolik ke diameter lebih sempit arteri pulmonalis (normal pulmonary artery diastolic-to-wedge pressure gradient); gradien yang tinggi telah dihubungkan dengan angka mortalitas yang lebih tinggi. Peningkatan resistensi pembuluh darah pulmonal dapat berperan pada terjadinya disfungsi ventrikel kanan. Manifestasi Klinis Manifestasi syok septik tampak lebih berhubungan secara primer terhadap respon host daripada agen infektif. Syok septik secara klasik terjadi bersama menggigil dengan onset tiba-tiba, demam, nausea (dan seringkali muntah), menurunnya status mental, takipnea, hipotensi, dan takikardi. Pasien dapat terlihat kemerahan (flushing) dan merasa... Tabel 49—12. Terapi antibiotik awal untuk sindrom penyakit infeksi yang mengancam jiwa.1,2 Sindrom Patogen Preparat Empiris Awal Sepsis kriptogenik tanpa infeksi lokal teridentifikasi Didapat dari komunitas Imunokompeten Staphylococcus aureus Neisseria meningitidis Streptococcus grup A Ceftriaxone atau cefotaxime (levofloxicin atau gatifloxicin3) plus vancomycin (apabila MRSA pada infeksi yang didapat dari komunitas atau memiliki CVC dalam jangka waktu lama) Seorang anak atau dewasa tua, atau imunokompromise Sama seperti di atas plus Streptococcus pneumoniae (termasuk PRP) Salmonella Listeria Ceftriaxone atau cefotaxime plus ampicillin (vancomycin) Nosokomial S. aureus (termasuk MRSA) Enterococcus (VRE yang mungkin) Pseudomonas aeruginosa dan bakteri batang gram negatif resisten lain Cefepime, carbapenem, atau penicillin antipseudomonal (aztreonam3) plus ciprofloxacin atau tobramycin plus vancomycin (apabila resiko MRSA/MRCNS) plus obat untuk VRE saja apabila diketahui kultur positif Demam granulositopenik Sama seperti di atas Cefepime atau carbapenem Tambah vancomycin (apabila selulitis, sepsis CVC, syok septik, atau diketahui MRSA positif) Ciprofloxacin plus vancomycin3 Endokarditis bakterial akut Katub asli S. aureus Streptococcus grup A Bakteri batang gram negatif Enterococcus Penicillin plus nafcillin (vancomycin3) plus gentamycin Katub prostetik Sama seperti di atas plus Staphylococcus koagulase negatif MRSA Bakteri batang gram negatif nosokomial Candida Vancomycin plus gentamycin Sepsis curiga saluran IV Sama seperti di atas Vancomycin plus ciprofloxacin atau gentamycin Diduga pneumonia bakterial Didapat dari komunitas S. pneumonia S. aureus Bakteri anaerob oral Bakteri batang gram negatif enterik Legionella Chlamydia pneumoniae Ceftriaxone atau cefotaxime plus azithromycin Levofloxicin atau gatifloxicin3 Nosokomial atau derajat berat didapat dari komunitas yang memerlukan perawatan ICU Sama seperti di atas plus P. aeruginosa MRSA Cefepime atau piperacillin-tazobactam atau carbapenem (aztreonam3) plus ciprofloxacin, plus vancomycin (apabila resiko MRSA) Sinusitis Didapat dari komunitas S. pneumoniae Haemophilus influenza S. aureus Cefotaxime atau ceftriaxone Levofloxicin atau gatilofloxicin3 Tambah vancomycin (apabila resiko MRSA) Nosokomial S. aureus (termasuk MRSA) Bakteri batang gram negatif Fungi Sama seperti pneumonia nosokomial Diduga meningitis bakterial Didapat dari komunitas S. pneumoniae H. influenzae tipe B Neisseria meningitidis Listeria monocytogenes Ceftriaxone, cefotaxime atau cefepime dan vancomycin, tambah rifampin (apabila juga memberi kortikosteroid) Nosokomial Bakteri batang gram negatif enterik P. aeruginosa S. aureus (termasuk MRSA) Staphylococcus koagulase negatif Cefepime atau piperacillin-tazobactam plus ciprofloxacin plus vancomycin Infeksi intraabdominal Kolangitis Bakteri batang gram negatif Enterococcus Clostridium Ciprofloxacin atau gentamycin plus ampicillin (vancomycin3) Cephalosporin generasi ketiga plus ampicillin (vancomycin) Carbapenem Peritonitis sekunder atau abses intraabdominal, typhlitis granulositopenik Sama seperti di atas plus Bacteroides fragilis Bakteri anaerob lain Metronidazole atau clindamycin, plus gentamicin atau ciprofloxacin plus ampicillin (vancomycin) Ampicillin-sulbactam dan gentamicin Piperacillin-tazobactam dan gentamicin Carbapenem Peritonitis bakterial spontan Bakteri gram negatif S. pneumoniae Ceftriaxone atau cefotaxime Ciprofloxacin dan vancomycin3 Levofloxacin atau gatifloxicin3 Urosepsis4 Didapat dari komunitas Bakteri batang gram negatif enterik Enterococcus Ciprofloxacin dan ampicillin (vancomycin3) Gentamicin (tobramycin) dan ampicillin (vancomycin3) Nosokomial Sama seperti di atas plus P. aeruginosa VRE Sama Carbapenem Beri quinupristin atau linezolid saja untuk VRE terdokumentasi Tabel 49-12 Terapi antibiotik untuk sindrom penyakit infeksi (lanjutan) Sindrom Patogen Resimen inisial empirik Kulit dan jaringan Tidak lengkap, tanpa S.aureus Nafsilin dengan atau tanpa penisilin(vankomisin) granulositopeni Streptokokus beta hemolitikus Vankomisin, ceftriakson atau cefotaksim (anak) granulositopeni S.aureus, bakteri gram negatif termasuk P aeruginosa Cefepim atau tikarsilin clavikulat atau piperasilin tazobaktam dan siprofloksasin atau tobramisin ditambah vankomisin Fasilitis nekrosis Bakteri gram negatif, klostridia dan B fragilis, S.aureus streptokokus grup a, vibrio vulnivisan Sama dengan peritonitis sekunder Doksisiklin, seftriakson atau sefotaksim Sindrom Syok streptokokus dengan selulitis nekrosis Toksigen, streptokokus grup a Penisilin (vankomisin) tambah klindamisin Infeksi enterik Bakteri patogen Salmonela, shigela, kampilobakter, enteropatogen e coli, vibrio Ciprofloksasin oral Seftriakson atau sefotaksim 4 Antibiotik asosiasi kolitis C difisil Metronidasol (derajat sedang atau berat), vankomisin (berat) juga diberikan metronidasol 4 (ileus) Sindrom syok toksik S aureus streptokokus grup a Nafsilin dan klindamisin Penisilin g dan klindamisin Malaria Spesies bukan falsiparum P vivax, p malaria, p ovale Klorokuin Diikuti primakuin falsiparum P falsiparum Kina oral (4) tambah doksisiklin atau klindamisin, atrovakuon, proguanil, meflokuin, artesunat tambah meflokuin Infeksi riketsia R riketsii R thypi r prowazeki, r akari, coksiela burneti, ehlichia chaafensis, ehrlichia fagositofilia Doksisiklin Kloramfenikol Atau pucat dengan sianosis ekstremitas (hipodinamik); dalam kasus akhir, indeks yang tinggi dari tersangka diperlukan. Dahulu, melemahkan tenaga pasien dan bayi, diagnosis sering kurang nyata dan hipotermia dapat terlihat. Leukositosis dengan pirau kiri ke bentuk sel prematur adalah biasa, tapi leukopenia dapat terlihat dengan sepsis dan tanda tak menyenangkan. Metabolik asidosis yang lanjut (asidosis laktat) tipikali dikompensasi terpisah oleh respiratori alkalosis. Peningkatan level laktat merefleksikan keduanya baik produksi dari jaringan perfusi yang kurang dan penurunan masukan dari hati dan ginjal. Hipoksemi dapat menyuarakan dari kejadian ARDS. Oliguria sering terjadi karena kombinasi hipovlumia, hipotensi dan radang sistemik dan sering ARF yang berlanjut. Peningkatan serum aminotransferase dan bilirubin karena disfungsi dari hepar. Insulin yang resistan saat ini dibentuk dan memproduksi hiperglikemia. Trombositopeni sering dan biasa menjadi tanda sepsis. Kejadian laborat dari DIC sering terjadi namun jarang berkaitan dengan pendarahan diathesis. Hanya respon akhir untuk mengendalikan sepsis. Ulkus mukosa gaster biasa. Pernafasan dan gagal ginjal sebagai prioritas kematian. Pasien neutropeni (hitungan netrofil absolut 500/mikroL)dapat mengembangkan makular atau papular lesi yang dapat mengiritasi dan menjadi gangren (ektima gangren). Lesi ini biasa dikaitkan dengan Pseudomonas septikemia tapi dapat disebabkan oleh organisme lain. Abses di sekitar rektum dapat berkembang cepat pada pasien neutropeni dengan sedikit tanda luar; pasien dapat mengeluh nyeri sekitar rektum. Penanganan Syok septik adalah kegawatan medis yang memerlukan penanganan yang agresif. Penanganan : (1) Mengendalikan dan mengeradikasi infeksi dari kecocokan dan waktu antibioktik intravena (tabel 49-12) , pengeluaran abses, pembersihan jaringan nekrosis, dan pengeluaran infeksi zat asing (2) Penanganan yang cukup dari perfusi dengan cairan intravena dan inotropik dan agen penekan pembuluh darah, (3) Penanganan suportifdari komplikasi seperti ARDS, ARF, perdarahan GI dan DIC. Penanganan antibiotik harus diinisiasi sebelum zat patogen diidentifikasi, tapi setelah budaya yang cukup didapat (darah, urin, luka, sputum). Kombinasi terapi dengan dua atau lebih antibiotik diindikasikan secara umum sampai patogen diketahui. Beberaoa kejadian, kombinasi dari penghambat penisilin beta laktamase atau generasi ketiga sefalosporin dengan amiloglikosida yang cukup. Penambahan pembelajaran yang cukup diindikasikan (contoh thoraksintesis, parasintesis, pungsi lumbal, atau CT scan). Pembersihan dan pengeluaran dari infeksi dan abses seharusnya ditangani dengan baik. Terapi antibiotik empirik dalam pasien imunokompremised seharusnya dapat didasarkan patogen yang secara umum berkaitan dengan defek imun (tabel 49-13). Vankomisin ditambahkan jika infeksi intravaskular berdasar kateter dicurigai. Klindamisin atau metronidasol seharusnya diberikan pada pasien neutropeni jika curiga rektal abses. Banyak klinisi memakai amfoterisi b, flukonasol atau terapi caspofungi untuk infeksi jamur atau jika dengan imunokompremised untuk demam lebih dari 96 jam dari terapi antibiotik. Stimulasi koloni granulosit atau stimulasi koloni granulosit makrofag dapat digunakan pada periode yang singkat dari neutropenia; tranfusi granulosit dapat digunakan belokan bakteri gram negatif. Difusi infiltrat interstisial dari radiograf dada dapat mensugesti bakteri yang tidak biasa, parasitik, atau patogen virus; banyak klinisi menginisiasi terapi empirik dengan trimetoprim sulfametoksasol dan eritromisin. Infiltrasi nodular pada radiograf mensugesti pnemonia jamur dan dapat tuntutan terapi antijamur. Terapi antiviral seharusnya dipertimbangkan pada pasien sepsis yang lebih dari 1 bulan sehabis sumsum tulang atau transplan organ padat. Oksigenasi jaringan dan perfusi dijaga dengan terapi oksigen, cairan intravena, inotrop, vasopresor dan PRC darah merah untuk menjaga hb > 8-10g/dL. Tanda spasi ketiga mengkarakteristik syok septik. Sebuah inotrop seharusnya digunakan jika cairan intra vena gagal pulih dengan cepat. Koloid lebih cepat memulihkan volume intra vaskular dibandingkan dengan kristaloid tapi tidak terbukti keuntungan tambahan. Terapi inotropik diinisiasi jika 1-3 L cairan intravena tidak dapat memperbaiki hipotensi. Hematokrit seharusnya dijaga diatas 24-30% untuk meningkatkan penyampaian oksigen. Kateterisasi arteri pulmoner baik dalam penanganan fasilitas tiba-tiba karena mengikuti pengukuran PAOP dan kardiak output. Banyak klinisi secara umum memilih dopamin sebagai inisial inotrop; yang lain menggunakan dobutamin karena lebih efektif meningkatkan kardiak output dan penyampaian oksigen (tabel 49-14). Beberapa pembelajaran mensugesti angka kematian pasien dapat turun jika penyampaian oksigen dapat ditingkatkan. Ketika dopamin dan dobutamin efektif meningkatkan tekanan darah dan kardiak output, epinefrin (2-18 mikrog/menit) dapat menjadi pilihan. Pasien dengan hipotensi bias, norepinefrin, vasopresin, atau keduanya diadministrasikan dengan peningkatan yang baik dalam tekanan darah tapi tanpa kejadian yang mengakibatkan pengeluaran. Asidosis berat dapat turun dari inotrop dan seharusnya dapat dikoreksi (pH >7.20) dengan terpi bikarbonat pada pasien hipotensi bias. Tabel 49-13. Infeksi yang nerhubungan dengan gangguan imunitas dari penjamu Kuman patogen pada tempat terjadinya infeksi Kelainan yang ada Peredaran darah atau diseminata Paru Sistim saraf pusat Saluran cerna Hypogammaglobulinemia Streptococcus pneumonia Haemophilus influenzae Neisseria meningitidis S. pneumonia H. influenzae Branhamella catarrhalis S. pneumonia H. influenzae Giardia lamblia Splennektomi Sama seperti di atas ditambah Bartonella, Plasmodium, Babesia Sama seperti di atas Sama seperti di atas Imunitas yang diperantarai sel ( cell-mediated immunity) Listeria monocytogenes Salmonella Mycobacterium tuberculosis Coccidioides immitis Histoplasma capsulatum Cryptococcus neoformans Cytomegalovirus Varicella zoster virus Legionella Nocardia Mycobacteria C. immitis H. capsulatum Pneumocytis carinii Cytomegalovirus Listeria M. tuberculosis C. neoformans Toxoplasma gondii Herpes simplex virus Cytomegalovirus Salmonella Campylobacter Candida Cryptosporidium Entamoeba histolytica Strongyloides stercoralis Cytomegalovirus Herpes simplex virus Obstruksi tumor Cholangitis Basil gram negatif Enterococcus Clostridium Urosepsis Basil gram negatif Enterococcus Candida Pneumonia Staphylococcus S. aureus Kuman anaerob dari mulut S. pneumonia S. aureus Kuman anaerob dari mulut Basil gram negatif Enterococcus Clostridium Bacterioides fragilis Granulositopenia Basil gram negatif Pseudomonas aeruginosa Staphylococci Fusarium spp. Candida spp. Basil gram negatif Staphylococci Aspergillus Aspergillus Candida Candida Clostridium difficile Clostridia lain Herpes simplex virus Reaktivasi dari infeksi laten H. capsulatum Coccidioides immitis Plasmodium M. tuberculosis M. tuberculosis H. capsulatum C. immitis Toxoplasma gondii Strongyloides stercoralis Kateterisasi vena sentral Staphylococcus epidermidis S. aureus Corynebacterium, group JK Mycobacterium Bacillus Candida Fusarium Trichosporon Tabel 49-14. Efek dari obat-obat inotropik dan vasopressor pada pasien sepsis Obat Tekanan darah Cardiac output Pengangkutan oksigen Dopamine Dobutamine 0 atau Norepinephrine 0 0 Epinephrine Vasopressin 0 0 Bahkan, walaupun tidak ditemukan keadaan hipotensi arterial, dosis “renal” dari dopamin dapat membantu mempertahankan produksi urin namun tidak menunjukkan adanya hasil yang lebih baik. Penggunaan kortikosteroid, naloxone, opsonins (fibronectin), dan antibodi monoklonal yang secara langsung dapat melawan lipopolisakarida pada syok septik ternyata mengecewakan, namun hambatan terhadap kaskade koagulasi yang ada justru menjanjikan. Salah satu obat, seperti protein C aktif, drotrecogin alfa, telah diterima FDA Amerika Serikat untuk penggunaan selama sepsis. Karena harga obat-obatan ini mahal dan banyak pertanyaan mengenai outcome jangka panjangnya, banyak ICU memiliki kriteria kapan obat-obatan ini dapat diberikan pada pasien sesuai hasil penelitian yang sebenarnya. (Tabel 49-15) PERDARAHAN SALURAN CERNA Perdarahan saluran cerna akut adalah penyebab umum yang membawa dating ke ICU. Pada usia lanjut (>60 tahun), kondisi komorbid, hipotensi, kehilangan darah yang nyata (> 5 unit), dan perdarahan berulang (rebleeding) setelah 72 jam meningkatkan mortalitas. Manajemen dilakukan secara simultan dan dilakukan evaluasi yang cepat dan identifikasi lokasi perdarahan dan stabilisasi.Walaupun volume resusitasi sama, para klinisi harus mampu membedakan antara perdarahan saluran cerna bagian atas dan bawah. Riwayat hematemesis menunjukkan adanya perdarahan saluran cerna di proksimal ligamentum Treitz. Melena biasanya mengindikasikan adanya perdarahan saluran cerna di proksimal caecum. Hematochezia (darah merah terang dari rektum) menunjukkan adanya perdarahan cepat dari saluran cerna bagian atas atau pada umumnya perdarahan saluran cerna bagian bawah. Kondisi ini biasanya dihubungkan dengan hipotensi. Adanya feses yang berwarna merah gelap biasanya disebabkan perdarahan yang lokasinya pada daerah antara usus halus distal dan kolon sebelah kanan. Paling sedikit 2 jalur intravena dengan jarum ukuran besar (14-16) harus dipasang dan sampel darah untuk pemeriksaan laboratorium (termasuk hematokrit, hemoglobin, jumlah trombosit, prothrombin time, dan activated partial thromboplastin time). Pasien harus diperiksa golongan darah dan dilakukan tes silang sampai sedikitnya 4-6 unit darah. Pedoman resusitasi cairan dibicarakan di Bab 29. Hematokrit serial berguna namun bisa tidak akurat menggambarkan kehilangan darah yang sebenarnya. Tekanan darah intraarterial harus diawasi. Kanulasi vena central berguna untuk akses vena dan pengukuran tekanan. Pemasangan selang nasogastric dapat membantu mengetahui sumber perdarahan saluran cerna atas jika saat diaspirasi nampak darah merah yang terang atau material ”coffee ground”; tidak adanya darah yang teraspirasi, bagaimanapun juga, tidak dapat memastikan bahwa perdarahan saluran cerna bagian atas tidak terjadi. Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas Lavage atau irigasi melalui selang nasogastric dapat membantu menilai kecepatan perdarahan dan memfasilitasi esofagogastroduidenoskopi (EGD). EGD sebaiknya dilakukan kapan saja untuk mendiagnosiss penyebab perdarahan. Kegagalan dalam memvisualisasi penyebab perdarahan menggunakan endoskopi karena perdarahan yang cepat memerlukan arteriografi. EGD dan arteriografi dapat juga digunakan untuk terapi yaitu untuk menghentikan perdarahan. Peyebab lazim dari perdarahan saluran cerna bagian atas, yang mengalami penurunan frekuensi, adalah ulcus doedenum, ulcus gaster, gastritis erosiva, dan varises esofagus. Gastritis erosiva dapat disebabkan oleh stress, konsumsi alkohol, aspirin, NSAID dan kemungkinan juga kortikosteroid. Penyebab yang jarang antara lain angiodisplasia, esofagitis erosiva, sindroma Mallory-Weiss, tumor gaster, dan fistula aortoenteric. Perdarahan dari ulcus pepticum (gaster atau duodenal) dapat dikoagulasi melalui EGD. Tindakan bedah biasanya diindikasikan untuk perdarahan yang berat (>5 U) dan perdarahan berulang. Penyekat reseptor H2 tidak efektif untuk menghentikan perdarahan, namun dapat mengurangi kecenderungan terjadinya perdarahan berulang. Pada arteriografi selektif terhadap pembuluh darah yang mengalami perdarahan dapat dilakukan infus vasopressin (0,15-0,20 U/menit) atau embolisasi arteri. Terapi yang paling efektif untuk gastritis erosiva adalah pencegahan. Penghambat pompa proton, penyekat reseptor H2, antasid, sukralfat, semuanya efektif untuk pencegahan. Banyak ahli gastroenterologi memilih pemberian rutin penghambat pompa proton. Jika perdarahan sudah terjadi, tidak ada terapi yang spesifik. Terapi endoskopi, baik dengan elektrokoagulasi maupun probe pemanas, adalah terapi non-bedah yang dapat menurunkan kebutuhan tranfusi darah, perdarahan berulang, lama perawatan di rumah sakit, dan kebutuhan tindakan bedah cito. Infus vasopresin intravena (0,3-0,8 U/menit) biasanya tidak efektif; infus vasopresin bersama nitogliserin dapat membantu menurunkan tekanan portal dan insidensi komplikasi terhadap jantung. Propanolol intravena juga dapat menurunkan tekanan vena porta dan menurunkan perdarahan variseal. Tamponade dengan metode balloning (Sengstaken-Blakemore, Minnesota, or Linton tubes) dapat digunakan sebagai terapi adjuvan namun biasanya membutuhkan intubasi trakeal elektif untuk melindungi saluran napas dari aspirasi. Tabel 49-15. Pedoman pemberian drotrecogin alfa pada orang dewasa Catatan: Jangan meresepkan jika sudah lebih dari 48 jam sejak pasien masuk kriteria sesuai di bawah ini Kultur kuman positif atau suspek terinfeksi yang sudah diobati Paling sedikit tiga dari empat kriteria systemis inflammatory respons syndrome di bawah ini: Temperatur dalam (core) >380C atau < 360C Frekuensi jantung >80 kali /menit Frekuensi napas >20 kali / menit atau PaCO2 <32mmHg Jumlah leukosit > 12.000/mm3 atau <4000 mm3 Paling sedikit terdapat disfungsi satu organ atau sistim yang diakibatkan sepsis Tidak ada kontraindikasi seperti di bawah ini: Efek samping telah timbul sebelumnya atau hipersensitivitas Terdapat perdarahan aktif yang diketahui yang dapat berasal dari mana saja Baru saja dioperasi (dalam 12 jam) Cedera kepala, tindakan bedah intrakranial atau spinal, atau stroke dalam 3 bulan terakhir Terdapat lesi intrakranial berupa massa, herniasi cerebral, atau neoplasma intrakranial Baru saja atau dijadwalkan menjalani kateter epidural (dalam 24 jam) Skor APACHE II kurang dari 25 Kondisi di bawah ini dapat meningkatkan risiko dari drotrecogin namun penilaian dengan memperhitungkan risiko dan keuntungan dapat diterima: Baru saja mengalami perdarahan saluran cerna (dalam 6 minggu) Trombositopenia (<30 x 109/L) atau international normalized ratio< 3 Baru saja menggunakan inhibitor glikoprotein IIb/IIIa atau trombolitik atau antikoagulasi penuh heparin tipe apapun atau warfarin Penyakit hepar kronik yang berat Gangguan perdarahan yang diketahui Kehamilan Malformasi arteriovena intrakranial atau aneurisma Kegagalan organ tunggal Pembedahan dalam 30 hari Perdarahan Saluran Cerna Bagian Bawah Penyebab umum dari perdarahan saluran cerna bagian bawah termasuk diverticulitis, angiodisplasia, neoplasma, inflammatory bowel disease, colitis iskemik, colitis infeksiosa, dan penyakit anorektal (hemorrhoid, fissura, atau fistula). Pemeriksaan rektum (rectal toucher), anoskopi, dan sigmoidoskopi biasanya dapat mendiagnosis lesi bagian paling distal. Sama seperti EGD, pada colonoskopi biasanya dapat dilakukan diagnosis definitif dan sering berguna untuk terapi. Scanning terhadap sel darah merah yang telah diberi label Technetium-99 dapat digunakan untuk mengidentifikasi sumber perdarahan jika colonoskopi tidak dapat menemukan sumber perdarahannya akibat persiapan yang kurang. Kauterisasi sumber perdarahan seringkali bisa dilakukan melalui colonoskopi. Jika colonoskopi tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan karena perdarahannya cepat, arteriografi selektif dapat digunakan untuk mengidentifikasi sumber perdarahan, serta secara bersamaan dapat dilakukan embolisasi atau infus vasopressin. Tindakan bedah dilakukan pada perdarahan yang berat atau perdarahan berulang. TERAPI NUTRISI Kepentingan untuk mempertahankan nutrisi adekuat pada pasien yang kritis tidak dapat terlalu ditekan. Malnutrisi berat menyebabkan disfungsi organ yang luas dan meningkatkan morbiditas dan mortalitas perioperatif. Pemenuhan nutrisi dapat meningkatkan penyembuhan luka, mengembalikan kemampuan imun, dan menurunkan morbiditas dan mortalitas pada pasien-pasien dalam keadaan kritis. Gambaran Umum Mengenai Nutrisi Mempertahankan massa tubuh yang normal, komposisi, struktur, dan fungsi membutuhkan asupan air, sumber energi, dan nutrien spesifik secara periodik. Nutrien yang tak dapat disintesis dari nutrien lain disebut ”esensial”. Sebenarnya, relatif sedikit nutrien esensial yang dibutuhkan untuk membentuk ribuan senyawa yang menysusn tubuh. Nutrien esensial yang diketahui termasuk di antaranya 8-10 asam amino, 2 asam lmak, 13 vitamin, dan sekitar 16 mineral. Energi, normalnya dihasilkan dari karbohidrat, lemak, dan protein endogen atau dari diet. Pemecahan tiga substrat ini menghasilkan ATP yang diperlukan untuk menjalankan fungsi seluler yang normal. Lemak dan karbohidrat yang berasal dari diet secara normal menyediakan sebagian besar kebutuhan energi tubuh. Protein yang berasal dari diet menyediakan asam amino untuk sintesis protein; bagaimanapun juga, jika persediaannya melebihi kebutuhan akan asam amino esensial dan non-esensial, protein juga berfungsi sebagai sumber energi. Jalur metabolik dari karbohidrat, lemak, dan protein sebagai substrat saling tumpang tindih sehingga beberapa jalur dapat saling berhubungan melalui senyawa intermediat (lihat gambar 34-30. Kelebihan asam amino dapat diubah menjadi karbohidrat atau prekursor asam lemak. Kelebihan karbohidrat disimpan sebagai glikogen di dalam hati dan otot. Saat simpanan glikogen tersaturasi (200-400 g pada orang dewasa), kelebihan karbohidrat diubah menjadi asam lemak yang disimpan sebagai trigliserid terutama pada sel-sel lemak. Kebutuhan Energi Normal Kebutuhan energi total sangat bervariasi dan tergantung oleh laju metabolisme basal (Basal Metabolic Rate=BMR), aksi dinamis spesifik (energi yang dibutuhkan untuk mencerna makanan), dan tingkat aktivitas orang tersebut. BMR adalah pemakaian energi yang diukur pada pagi hari segera setelah bangun tidur, 12 jam setelah makan terakhir, dan pada kondisi suhu yang netral. Secara klinis, pemakaian energi basal (Basal energy expenditure=BEE) dalam kilokalori dapat dihitung menggunakan persamaan Harris-Benedict, menggunakan berat dalam kilogram, tinggi dalam sentimeter, dan usia dalam tahun: BEE pria = 66 + (13,7 x berat[kg]) + (5 x tinggi[cm]) – (6,8 x usia) BEE wanita = 655 + (9,6 x berat[kg]) + (1,8 x tinggi[cm]) – (4,7 x usia) BEE meningkat akibat temperatur (13% tiap 0C) dan tingkatan beban yang harus ditanggung. (lihat selanjutnya) Penggunaan Substrat yang Spesifik Sesuai Organ Kemampuan untuk menyimpan glikogen dan trigliserida, jalur enzimatik, dan mekanisme transpor yang bervariasi membuat penggunaan substrat berbeda tiap organ. Neuron, sel darah merah, dan sel-sel pada medula ginjal normalnya hanya menggunakan glukosa. Hati, jantung, otot skeletal, dan korteks ginjal biasanya menggunakan metabolisme asam lemak untuk menghasilkan energi. Kelaparan Proses fisiologis dari kondisi kelaparan adalah kandungan protein dari jaringan tubuh yang esensial atau penting sangat sedikit. Karena kadar glukosa darah mulai menurun pada saat puasa, sekresi insulin berkurang, sedangkan glukagon meningkat. Glikogenolisis dan glukoneogenesis meningkat, terutama pada hepar serta juga sebagian kecil pada ginjal. Karena persediaan glikogen akan habis dalam waktu 24 jam, glukoneogenesis selanjutnya akan sangat meningkat. Hepar terutama menggunakan asam amino yang terdeaminasi (alanin dan glutamin) sebagai prekursor sdalam sintesis glukosa. Hanya jaringan saraf, medula ginjal, dan eritrosit yang terus menggunakan glukosa akibat efek hilangnya protein jaringan. Lipolisis pada jaringan lemak meningkat, sehingga lemak menjadi sumber energi utama. Gliserol dari trigliserid memasuki jalur glikolisis dan asam lemak dipecah menjadi asetil koenzim A (CoA). Asetil-CoA yang berlebihan menghasilkan terbentuknya badan keton (ketosis). Beberapa asam lemak dapat masuk ke jalur glukoneogenesis. Jika kelaparan bertambah lama, otak, ginjal, dan otot juga mulai menggunakan badan keton secara efisien. Nutrisi pada Kondisi Kritis Kondisi kritis perioperatif biasanya ditandai dengan kerusakan jaringan, respon stress neuroendokrin, dan cachexia. Respon terhadap kerusakan jaringan antara lain peningkatan sekresi katekolamin, kortisol, glukagon, tiroksin, angiotensin, aldosteron, hormon pertumbuhan, ACTH, hormon antidiuretik, dan thyroid stimulating hormone. Sekresi insulin pada saat-saat paling awal akan menurun namun kemudian meningkat perlahan akibat peningkatan hormon pertumbuhan. Katekolamin, glukagon, dan mungkin hormon pertumbuhan memacu glikogenolisis, sedangkan glukagon dan mugkin juga kortisol menginduksi glukoneogenesis. Hiperglikemia adalah suatu karakteristik dan menggambarkan peningkatan produksi glukosa dari hepar yang sebanding dengan penurunan penggunaan glukosa oleh jaringan perifer. Selain itu, penurunan toleransi terhadap beban glukosa terjadi, kemungkinan akibat penurunan sekresi insulin dan resistensi perifer terhadap kerja insulin. Kedua efek ini kemungkinan terjadi akibat peningkatan sekresi katekolamin, yang juga mamacu lipolisis. Baik sintesis protein maupun pemecahannya akan meningkat, namun pemecahannya lebih besar dari pembentukannya, sehingga protein jaringan akan berkurang. Salama sepsis, penggunaan karbohidrat dan lemak oleh otot terganggu, menghasilkan peningkatan pemecahan protein. Lebih jauh lagi, sel nampaknya akan lebih bergantung pada asam amino bercabang. Kadar glutamin dalam sirkulasi menurun. Glutamin adalah asam amino bebas di dalam tubuh yang paling banyak. Glutamin adalah senyawa intermediat yang penting pada banyak jalur metabolisme. Selain itu, sel-sel yang berproliferasi secara cepat, seperti pada sistem imun dan saluran cerna, menggunakan asam amino sebagai sumber energi. Pemberian glukosa selama penyakit yang akut gagal menekan pemecahan protein. Pemberian kalori dan protein yang adekuat dapat menurunkan namun tidak mencegah katabolisme protein pada pasien dengan faktor stress seperti ini. Penilaian Nutrisi Pasien Evaluasi status nutrisional adalah sentral dari terapi nutrisi pada pasien dengan kondisi kritis. Dengan penilaian subyektif secara global, klinisi memeriksa riwayat untuk mendeteksi penurunan berat badan, kebiasaan makan, dan gejala hipoproeinemia (edema) dan memeriksa pasien untuk menemukan hilangnya massa otot skeletal atau simpanan lemak, edema, atau ikterus. Pasien kemudian dilasifikasikan menjadi pasien dengan kondisi nutrisi yang normal, malnutrisi ringan atau berat. Cara lain, yaitu pengukuran antropometri, tes hipersensitivitas kulit, dan pemeriksaan laboratorium dapat digunakan untuk menentukan derajat malnutrisi dari pasien. Pasien membutuhkan penilaian yang tepat termasuk pasien dengan berat badan kurang dari 80% berat badan ideal atau berat badah berkurang lebih dari 10% dalam 6 bulan terakhir, pasien dengan kadar albumin serum <3 g/dL atau transferin serum <150 mg/dL, pasien dengan keadaan anergi pada kulit, dan pasien dengan jumlah limfosit total yang rendah (1200 sel/µL). Perbandingan antara berat badan dengan kriteria berat badan ideal dan pengukuran lipatan kulit biasanya dilakukan untuk mengetaui simpanan lemak tubuh. Pengukuran lingkar lengan atas dan ekskresi kreatinin dalam urin terhadap indeks tinggi badan menggambarkan massa protein otot skeletal. Pengukuran kadar albumin dan serum biasanya menggambarkan kemampuan dalam mensintesis protein, walaupun albumin serum adalah penanda yang lebih baik untuk menetahui derajat keparahan penyakit. Prealbumin, karena waktu paruhnya yang lebih pendek, maka dimonitor untuk mencoba membantu penilaian kecukupan anabolisme. Menghitung Kebutuhan Energi Kebutuhan kalori biasanya didapat dari rata-rata perhitungan persamaan Harris-Benedict (lihat atas). Beberapa klinisi mengalikan BMR dengan faktor stres menurut derajat kerusakan jaringan dan keparahan sakit: Faktor stres = 1-1,25 untuk kelaparan ringan = 1,25-1,5 untuk sakit sedang sampai berat = 1,5-1,75 untuk sakit berat Namun, sebagian besar ahli gizi memberikan pasien sakit kritis hanya 20-30 kkal/kg per hari karena pasien sakit kritis memiliki metabolisme seluler yang terganggu—glukosa dan asam lemak tidak dioksidasi secara komplit. Sebagai gantinya, senyawa antara (intermediate) metabolik diangkut dari sel kembali ke hati dimana zat-zat tersebut didaur ulang (siklus zat), meningkatkan kecepatan metabolisme lebih lagi. Menghitung Pengeluaran Energi Pengeluaran energi istirahat (resting energy expenditure/REE) [tidak sesungguhnya basal karena pasien dalam keadaan ’stres’] dapat dihitung menggunakan kalorimetri tidak langsung. Teknik ini bergantung pada pengukuran konsumsi oksigen dan produksi karbondioksida, menurut rumus berikut ini: REE = (3,94 x VO2) + (1,11 x VCO2) Perhitungan ini tidak akurat selama glukoneogenesis dan lipogenesis. Respiratory quotient (RQ), VO2/VCO2 , dapat mengindikasikan bahan bakar primer yang digunakan: RQ sebesar 1 menunjukkan penggunaan glukosa; hasil bagi (quotient) sebesar 0,7 menunjukkan oksidasi lemak. Nilai lebih dari 1 menunjukkan lipogenesis. Menghitung Kebutuhan Protein Kontras dengan pasien tanpa faktor stres, yang mana membutuhkan sekitar 0,5 g/kg/hari protein, pasien sakit kritis umumnya memerlukan 1,0-1,5 g/kg/hari. Meningkatnya asupan protein hingga > 1,5 g/kg/hari meningkatkan anabolisme dan katabolisme seperti yang disebut sebelumnya tidak ada peningkatan pada balans protein netto. NUTRISI ENTERAL Saluran gastrointestinal merupakan rute pilihan untuk bantuan nutrisi saat kesatuan fungsionalnya intak. Pemberian makan secara enteral dapat digunakan untuk memberi nutrisi lengkap atau tambahan. Nutrisi lengkap bersifat lebih sederhana, lebih murah, lebih tidak ribet, dan berhubungan dengan komplikasi yang lebih sedikit daripada nutrisi parenteral. Selain itu, nutrisi enteral tampak lebih baik dalam menjaga struktur dan fungsi GI daripada rute parenteral; penelitian juga menyarankan bahwa nutrisi enteral awal (1-3 hari) dapat mengurangi respon hipermetabolik sehingga meningkatkan respon host terhadap infeksi. Pemberian makan secara enteral kebanyakan diberikan sebagai infus kontinu melalui nasogastric atau nasoduodenal tube berdiameter kecil, gastrostomi, atau feeding jejunostomy tube. Terapi biasanya dimulai pada kecepatan 25 mL/hari dan ditingkatkan perlahan setelah pemberian beberapa hari sampai sasaran kalori dan protein yang diinginkan tercapai. Kebanyakan formula enteral mengandung campuran polimerik dari protein, lemak dan karbohidrat. Tersedia berbagai macam preparat. Pemilihan berdasarkan pada osmolalitas dan kandungan lemak. Beberapa formula tersusun dari formula dasar rendah residu. Formula dasar diindikasikan pada pasien dengan sindrom usus pendek (short bowel syndrome), fistula GI, dan inflammatory bowel disease dan mereka yang telah NPO (nil per os) selama berminggu-minggu; formula tersebut siap diserap dan memiliki residu rendah. Trigliserida rantai sedang (medium-chain triglycerides/MCTs) tersusun dari 8-10 asam lemak rantai karbon yang tidak memerlukan garam empedu atau enzim pankreas untuk absorbsi; minyak MCT diindikasikan untuk pasien dengan insufisiensi pankreas dan kolestasis. Diare merupakan salah satu problem yang paling umum terjadi pada pemberian makan secara enteral dan biasanya berhubungan, baik dengan hiperosmolalitas larutan atau intoleransi laktosa. Distensi gaster merupakan komplikasi lain yang meningkatkan resiko regurgitasi dan aspirasi pulmonal; duodenal atau jejunostomy tube seharusnya mengurangi kejadian ini. Distensi abdomen progresif atau volume residu gaster yang besar merupakan indikasi ileus dan secepatnya harus dilakukan penghentian pemberian makan secara enteral. NUTRISI PARENTERAL Nutrisi parenteral total (total parenteral nutrition/TPN) diindikasikan apabila saluran GI tidak dapat digunakan atau bila absorbsi tidak adekuat. Formula TPN menggunakan larutan hiperosmolar terdiri dari asam amino, glukosa, dan lemak yang dicampur menjadi satu. Sifat dasar hipertonik dari larutan ini memerlukan akses vena sentral. Elektrolit, mineral, dan preparat multivitamin ditambahkan. Larutan glukosa parenteral memberikan hanya 3,4 kkal/g (dibandingkan dengan 4 kkal/g untuk karbohidrat kering) karena konsentrasi glukosa larutan tersebut terdapat dalam bentuk monohidrat. Lemak diberikan dalam bentuk emulsi lemak yang dapat di-infus secara terpisah apabila tidak dicampur dengan larutan glukosa-asam amino. Emulsi lemak tersedia baik dalam 10% (1,1 kkal/mL) atau 20% (2 kkal/mL). Kegagalan untuk memberikan lemak setidaknya satu kali seminggu dapat mengakibatkan defisiensi asam lemak essensial, yang mana bermanifestasi sebagai dermatitis, alopecia, hepatomegali (fatty liver), dan defek imunitas. Untuk meng-infus jumlah kalori yang adekuat pada volume yang sedikit, lemak seringkali diberikan setiap hari. Tabel 49—16. Komplikasi total parenteral nutrition. Berkaitan kateter Pneumothorax Hemothorax Kilothorax Hidrothorax Emboli udara Tamponade jantung Thrombosis Vena subclavia Vena cava Thromboemboli pulmo Sepsis kateter Metabolik Azotemia Disfungsi hepatik Kolestasis Hiperglikemi Koma hiperosmolar Ketoasidosis diabetik Produksi CO2 berlebih Hipoglikemi (akibat interupsi infus) Asidosis atau alkalosis metabolik Hipernatremi Hiperkalemi Hipokalemi Hipokalsemi Hipofosfatemi Hiperlipidemi Pankreatitis Sindrom emboli lemak Anemia Besi Folat B12 ? Tembaga Defisiensi vitamin D Defisiensi vitamin K Defisiensi asam lemak essensial Hipervitaminosis A Hipervitaminosis D Jumlah asam amino yang diberikan ditentukan oleh perkiraan kebutuhan protein (lihat atas). Kalori lemak umumnya harus dihitung sebesar 30-40% dari kebutuhan kalori yang diinginkan. Mengandalkan glukosa secara berlebihan mengeksaserbasi masalah-masalah dengan hiperglikemi dan meningkatkan produksi CO2. Peningkatan produksi CO2 dapat menjadi suatu masalah dalam menghentikan pemakaian ventilator mekanik pada pasien dengan cadangan udara pulmonal yang menurun. Komplikasi TPN adalah berhubungan dengan metabolik atau akses vena sentral (Tabel 49—16). Pemberian makan berlebihan (overfeeding) dengan jumlah glukosa berlebih dapat meningkatkan kebutuhan energi dan produksi karbon dioksida; respiratory quotient dapat melebihi 1 karena lipogenesis. Memberi makan berlebihan dapat membawa kepada jaundice kolestatik reversibel. Peningkatan ringan transaminase dan alkali fosfatase serum dapat menunjukkan infiltrasi lemak di hepar yang diakibatkan oleh pemberian makan berlebihan. TPN dapat dimodifikasi untuk pasien dengan gangguan hepatik atau renal yang signifikan. Mengubah beban asam amino dapat menguntungkan pada pasien dengan encephalopati hepatik. Konsentrasi asam amino plasma cenderung untuk berubah pada pasien ini: fenilalanin dan methionin biasanya meningkat, sebaliknya asam amino rantai bercabang (leusin, isoleusin, dan valin) berkurang. Formulasi asam amino untuk pasien dengan penyakit hati (HepatAmine) oleh karena itu kaya akan asam amino rantai bercabang tetapi rendah akan asam amino aromatik. Pasien dengan encephalopati hepatik dapat dicobakan HepatAmine, yang mana dilanjutkan bila terdapat peningkatan status mental. Kandungan protein tidak lagi dikurangi pada pasien dengan ARF. Dengan ketersediaan CRRT, lebih baik untuk memberi makan pasien ini protein dengan jumlah adekuat (1,0-1,5 g protein/kg/hari). Total volume TPN, balans asam-basa, dan kandungan potasium harus diubah berdasarkan penilaian pasien. Pengawasan Pasien pada TPN Inisiasi TPN memerlukan pengawasan metabolik ketat. Masalah paling sering adalah hiperglikemi. Peningkatan bertahap kecepatan infus menurunkan derajat hiperglikemi dan memberikan waktu yang cukup untuk peningkatan sekresi insulin endogen. Pasien dengan faktor stres seringkali memerlukan tambahan insulin terhadap larutan TPN. Penghentian TPN tiba-tiba dapat menyebabkan hipoglikemi akibat kadar insulin yang bersirkulasi tinggi, tetapi ini bukan masalah yang sering terjadi apabila pasien tidak diberi makan berlebihan; pada kasus ini, 10% glukosa dapat digantikan sementara dengan TPN dan secara bertahap dikurangi. Pengukuran glukosa serum umumnya diukur setiap 4 jam sampai kadarnya stabil. Pengukuran lain (elektrolit, BUN, kreatinin serum) dilakukan setiap hari. Konsentrasi kalsium, fosfat, dan magnesium dan tes hati (termasuk prealbumin) dapat dicek tiap minggu. Hitung sel darah lengkap (termasuk hitung jenis) sebaiknya juga diawasi. Klirens lemak dapat dicek dengan mengukur kadar trigliserida serum apabila tidak ada kejadian lipemia atau khawatir dengan pankreatitis atau bila pasien memiliki riwayat memiliki konsentrasi lipoprotein abnormal. Studi balans nitrogen 24 jam kadang digunakan pada pengecekan keberhasilan bantuan nutrisi: Balans nitrogen = input – output Nitrogen output = (UNN x 1,2 x volume urine) + 2 g Dimana UUN = urinary urea nitrogen concentration/konsentrasi nitrogen urea urine (g/L). Dua gram pada rumus di atas mewakili kehilangan nitrogen fekal dan integumen. UUN dikalikan dengan 1,2, sebab nitrogen urea hanya mewakili 80% kehilangan nitrogen. Idealnya, TPN harus menghasilkan balans nitrogen positif, tetapi hal ini jarang, apabila pernah, didapatkan pada pasien yang sakit kritis. Manajemen Anestesi pada Pasien yang Mendapat TPN Pasien yang mendapat TPN seringkali memerlukan prosedur bedah. Mereka memerlukan evaluasi preoperatif yang teliti karena banyaknya komplikasi potensial yang dapat dihubungkan dengan TPN (Tabel 49—6). Abnormalitas metabolik relatif umum terjadi dan umumnya harus dikoreksi preoperatif. Hipofosfatemi merupakan komplikasi serius dan seringkali tidak diketahui yang dapat berperan terhadap terjadinya kelemahan otot dan gagal napas. Saat infus TPN secara tiba-tiba dihentikan atau dikurangi saat perioperatif, hipoglikemi dapat terjadi. Pengukuran konsentrasi glukosa darah secara berkala oleh karena itu diperlukan pada kejadian seperti ini selama anestesi umum. Di lain pihak, apabila larutan TPN dilanjutkan tidak diubah, hiperglikemi berlebih yang menyebabkan koma nonketotik hiperosmolar atau ketoasidosis (pada pasien diabetes) dapat terjadi. Respon stres neuroendokrin terhadap bedah kadangkala memperburuk intoleransi glukosa. Beberapa klinisi secara rutin mengurangi kecepatan infus TPN, sebaliknya yang lain menggantinya dengan 10% larutan glukosa; namun, dengan praktek sekarang yang tidak memberi makan berlebih pasien, seringkali aman untuk menghentikan TPN sama sekali. Tanpa melihat apakah infus TPN dilanjutkan, dikurangi, digantikan dengan 10% dextrose, atau dihentikan, terapi selanjutnya sebaiknya berdasarkan pengukuran glukosa darah. Konsentrasi glukosa darah sebaiknya dijaga antara 100 sampai 150 mg/dL. Yang terakhir, untuk mengurangi kemungkinan sepsis kateter, keutuhan sistem kateter infus TPN umumnya tidak boleh dirusak oleh injeksi obat. Infus terpisah sebaiknya digunakan untuk injeksi preparat anestesi dan pemberian cairan dan darah perioperatif lain. NUTRISI PARENTERAL PERIFER Saat larutan asam amino 3-4% ditambahkan ke larutan dextrosa 5-10%, larutan hasilnya masih hipertonik tapi umumnya dapat diinfuskan melalui vena perifer tanpa iritasi. Infus simultan emulsi lemak 1% melalui kateter intravena yang sama mengurangi konsentrasi dan memberikan kalori tambahan. Pembatasan volume membatasi intake kalori pada nutrisi parenteral perifer hingga maksimal 800-1200 kkal/hari, yang mana hasilnya memuaskan bagi mayoritas pasien. DISKUSI KASUS: WANITA MUDA DENGAN KESADARAN KABUR Seorang wanita 23 tahun dibawa ke rumah sakit dengan kesadaran kabur dan irasi lambat (7 kali napas/menit). tekanan darah 90/60 mmhg dan nadi 90 kali/menit. Ia ditemukan di rumah di atas tempat tidur dengan botol-botol kosong diazepam, acetaminophen dengan kodein, dan fluoxetin berada di sampingnya. Bagaimana diagnosis overdosis obat ditegakkan? Diagnosis sangkaan overdosis obat biasanya harus ditegakkan dari riwayat, keadaan saat kejadian, dan setiap saksi. Tanda dan gejala dapat tidak membantu. Konfirmasi suspek overdosis obat atau minum racun biasanya memerlukan tes laboratorium untuk zat yang dicurigai terdapat di cairan tubuh. Overdosis yang disengaja (meracuni diri sendiri) merupakan mekanisme yang paling sering terjadi dan tipikal terjadi pada dewasa muda yang depresi. Menelan berbagai macam obat merupakan hal yang umum. Benzodiazepin, anti-depresan, aspirin, acetaminophen, dan alkohol merupakan obat yang paling umum diminum. Overdosis tidak sengaja kadangkala terjadi pada penyalah guna obat intravena. Umumnya bahan yang disalahgunakan meliputi opioid, stimulan (kokain dan amphetamine), dan halusinogen (phencylcidine [PCP]). Anak yang lebih muda kadangkala secara tidak sengaja menelan bahan pembersih rumah tangga yang bersifat alkali (contohnya pembersih saluran), asam, dan hidrokarbon (contohnya produk petroleum). Keracunan organofosfat (parathion dan malathion) biasanya terjadi pada orang dewasa setelah pemaparan agrikultural. Overdosis dan keracunan lebih jarang terjadi sebagai percobaan pembunuhan. Langkah-langkah apa yang tepat dalam menangani pasien ini? Tanpa melihat tipe obat atau racun yang diminum, prinsip perawatan suportif awal adalah sama. Jalan napas bebas dan ventilasi adekuat dan oksigenasi harus dicapai. Kecuali diindikasikan lain, terapi oksigen (100%) mungkin sebaiknya dilakukan. Hipoventilasi dan refleks jalan napas menurun memerlukan intubasi trakea dan ventilasi mekanik. Banyak klinisi secara rutin memberikan nalokson (hingga 2 mg), dextrose 5% (50 mL), dan thiamin (100 mg) secara intravena kepada semua pasien dengan kesadaran kabur/menurun atau koma hingga diagnosis ditegakkan; hal ini mungkin membantu mengeksklusi atau menangani overdosis opioid, hipoglikemi, dan sindrom Wernicke-Korsakoff. Pemberian dextrose dapat dihilangkan apabila glukosa darah dapat diketahui kadarnya dengan fingerstick. Pada kasus ini, intubasi harus dilakukan sebelum nalokson karena depresi respirasi sepertinya disebabkan karena kodein dan diazepam. Spesimen darah, urin, dan cairan gaster sebaiknya diambil dan dikirim untuk skrining obat. Darah juga dikirim untuk pemeriksaan hematologi rutin dan biokimia (termasuk fungsi hati). Urine biasanya diambil dari kateterisasi kandung kemih, dan cairan lambung dapat diaspirasi dari nasogastric tube dan harus dilakukan setelah intubasi untuk menghindari aspirasi pulmonal. Sebagai alternatif, materi muntah dapat diperiksa untuk kandungan obat pada pasien yang sadar. Hipotensi umumnya harus ditangani dengan cairan intravena kecuali pasien tampak mengalami oedem pulmo; inotrop mungkin diperlukan pada beberapa kejadian. Aktivitas kejang dapat terjadi akibat hipoksia atau aksi farmakologis suatu obat (antidepresan trisiklik) atau racun. Aktivitas kejang tampaknya tidak terjadi pada pasien ini karena ia meminum diazepam, antikonvulsan yang umum digunakan. Perlukah flumazenil diberikan? Flumazenil umumnya tidak diberikan pada pasien yang overdosis benzodiazepin maupun antidepresan dan mereka yang memiliki riwayat kejang. Kebalikan aksi antikonvulsan benzodiazepin dapat menimbulkan aktivitas kejang pada beberapa kejadian. Selain itu, karena merupakan kasus dengan nalokson dan opioid, waktu paruh flumazenil lebih rendah dibandingkan benzodiazepin. Walaupun begitu, lebih sering dipilih untuk melakukan ventilasi pasien hingga efek benzodiazepin menghilang, pasien mendapatkan kesadarannya kembali, dan depresi pernapasan telah tertanggulangi. Perlukah antidot lain diberikan? Karena pasien juga meminum acetaminophen yang tidak diketahui kuantitasnya (paracetamol), pemberian N-asetilcystein (NAC; Mucomyst) perlu dipertimbangkan. Toksisitas acetaminophen adalah karena deplesi glutathion hepatik, mengakibatkan akumulasi zat antara (intermediate) metabolik toksik. Toksisitas hepatik biasanya dihubungkan dengan ingesti lebih dari 140 mg/kg acetaminophen. NAC mencegah kerusakan hepatik dengan beraksi sebagai donor sulfihidril dan mengembalikan kadar glutathion hepatik. Apabila pasien dicurigai menelan asetominophen sejumlah dosis toksik, NAC dosis awal (140 mg/kg secara oral atau nasogastric tube) perlu diberikan bahkan sebelum kadar plasma acetaminophen tercapai; dosis tambahan diberikan sesuai kadar plasma yang diukur. Apabila pasien tidak bisa menoleransi pemberian NAC secara oral atau gastrik, apabila pasien sedang hamil, atau apabila resiko hepatotoksisitas tinggi, NAC harus diberikan secara intravena. Tindakan apa yang dapat membatasi toksisitas obat? Toksisitas dapat dikurangi dengan menurunkan absorbsi atau meningkatkan eliminasi obat. Absorbsi GI terhadap bahan yang diingesti dapat dikurangi dengan mengosongkan isi lambung dan memberikan karbon aktif. Kedua metode tersebut efektif sampai 12 jam setelah ingesti. Apabila pasien diintubasi, lambung diirigasi dengan hati-hati untuk menghindari aspirasi pulmonal. Muntah dapat dirangsang pada pasien sadar dengan sirup ipecac 30 mL (15 mL pada anak-anak). Irigasi lambung dan merangsang muntah umumnya dikontraindikasikan untuk pasien yang menelan bahan-bahan berbahaya atau hidrokarbon karena resiko tinggi aspirasi dan memperburuk luka di mukosa. Karbon aktif 1-2 g/kg diberikan secara oral atau dengan nasogastric tube dengan diluent. Karbon secara ireversibel mengikat hampir semua obat dan racun di usus, membuat obat dan racun tersebut dapat tereliminasi di feses. Faktanya, karbon dapat menyebabkan gradien difusi negatif antara usus dan sirkulasi, membuat obat atau racun secara efektif tersingkir dari tubuh. Alkalinisasi serum dengan bikarbonat sodium untuk overdosis antidepresan trisiklik menguntungkan karena, dengan meningkatkan pH, pengikatan protein ditingkatkan; sodium menurunkan inhibisi saluran sodium, dan apabila kejang terjadi alkalinisasi mencegah kardiotoksisitas diinduksi asidosis. Metode lain apa yang dapat meningkatkan eliminasi obat? Metode termudah untuk meningkatkan eliminasi obat adalah diuresis yang dibuat. Sayangnya, metode ini terbatas penggunaannya untuk obat yang ikatan proteinnya tinggi atau memiliki volume distribusi besar. Mannitol atau furosemide dengan saline dapat digunakan. Pemberian bersama alkali (sodium bikarbonat) meningkatkan secara lemah eliminasi obat bersifat asam seperti salisilat dan barbiturat; alkalisasi urine membuat bentuk terionisasi obat tersebut terperangkap di tubulus renal dan meningkatkan eliminasi lewat urine. Hemodialisis umumnya memiliki peran terbatas pada tipe ini;

Tidak ada komentar:

Posting Komentar